Senin, 20 September 2010

Pembatasan BBM Bersubsidi

Oleh Paul Sutaryono
Selasa, 21 September 2010
 

Pemerintah berencana membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi mobil pribadi mulai Oktober 2010. Sesungguhnya, masalah apa saja yang bakal mencuat di permukaan apabila kebijakan itu diberlakukan? Dan, bagaimana mengatasinya?
Sebelumnya pemerintah akan membatasi BBM bersubsidi untuk sepeda motor yang ternyata menyerap jutaan liter per hari. Mana datanya?
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menjelaskan, jumlah kendaraan bermotor di Tanah Air termasuk sepeda motor terus meningkat sehingga berdampak pada peningkatan jumlah konsumsi BBM bersubsidi. Saat ini rata-rata konsumsi premium setiap kendaraan sekitar 2 liter per hari. Dengan jumlah sepeda motor 35 juta unit, maka dalam sehari konsumsi BBM bersubsidi bisa mencapai 70 juta liter.
Jika tidak dibatasi, konsumsi BBM bersubsidi akan membengkak menjadi 40,1 juta kiloliter (kl). Sementara kuota yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010 yaitu 36,5 juta kl. Berdasarkan data BPH Migas, konsumsi premium tahun ini akan meningkat sekitar 9,34% menjadi 23,3 juta kl (Koran Jakarta, 2 Juni 2010).
Namun, setelah mendengar berbagai pandangan publik, pemerintah membatalkan rencana pembatasan BBM untuk sepeda motor atau mundur teratur.
Kiat Membatasi

Nah, sekiranya nanti rencana pembatasan BBM bersubsidi untuk mobil pribadi itu akan terlaksana, faktor apa saja yang layak dipertimbangkan?
Pertama, pembatasan tahun pembuatan mobil pribadi. Sudah seharusnya pemerintah menentukan pembatasan tahun pembuatan mobil pribadi. Katakanlah, mobil pribadi dengan tahun pembuatan mulai 2000 ke atas. Begitu juga pembatasan untuk mobil dengan CC besar. Kalau tidak dibatasi, pemilik mobil pribadi dengan tahun pembuatan tempo dulu bakal makin terbebani biaya hidup.
Jangan pernah lupa bahwa tidak semua pemilik mobil pribadi termasuk orang berpunya. Artinya, mereka sesungguhnya ingin menikmati kendaraan layak meski belum memiliki tingkat pendapatan yang memadai. Coba bayangkan kalau pemilik mobil tahun 1980 diharuskan mengonsumsi pertamaks dengan harga Rp 6.250 per liter yang sebelumnya menggunakan premium (Rp 4.500 per liter). Alhasil, biaya hidup akan makin meningkat.
Kedua, penyediaan atau pelayanan transportasi umum yang aman, cepat, dan dengan harga terjangkau. Dengan kalimat terang benderang, rakyat kecil memiliki mobil sendiri karena tidak merasa nyaman dengan transportasi umum. Sebut saja, bus, kereta api listrik (KRL), kereta api disel (KRD), metromini dan mikrolet. Transportasi umum dan massal masih belum memberikan jaminan keamanan, kecepatan, dan harga terjangkau. Proyek busway yang kini ditawarkan kepada masyarakat Ibu Kota, misalnya, hingga kini masih menjadi kontroversi karena menyita sebagian jalan umum dan berdampak memacetkan arus lalu lintas.
Sejatinya tugas pemerintah yang utama adalah menyediakan fasilitas transportasi umum dengan kondisi demikian. Pemerintah bukan hanya menaikkan tarif dasar listrik (TDL) yang akan mengakibatkan kenaikan tarif KRL (kereta rel listrik) yang akhirnya ditunda selama tiga bulan. Dan, kini pemerintah akan membatasi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi yang bisa mengakibatkan potensi risiko lainnya. Apa bentuknya?
Ketiga, penurunan tingkat penjualan mobil baru. Kalau kebijakan pembatasan BBM bersubsidi untuk mobil pribadi jadi dijalankan, hal itu sangat dicemaskan bakal memangkas tingkat penjualan mobil. Ini bagai bola salju.
Artinya, ketika penjualan mobil anjlok, maka kredit mobil oleh bank nasional langsung maupun melalui perusahaan pembiayaan (multifinance) akan ikut merosot. Padahal, kredit perbankan ke multifinance mencapai Rp 54,08 triliun hingga kuartal I 2010 atau meningkat 7,66% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 50,23 triliun. Dan, selama ini kredit bank masih menjadi andalan bagi multifinance.
Keempat, program bahan bakar gas (BBG). Pemerintah sudah sepatutnya melanjutkan program langit biru. Dengan bahasa lebih bening, pemerintah perlu meneruskan program bahan bakar gas (BBG) sebagai substitusi BBM. Penggunaan BBG bakal mampu menekan polusi udara.
Program langit biru itu agaknya tertelan oleh aneka isu politis yang membuat pusing pemerintah, misalnya kasus Bank Century dan dana aspirasi rakyat. Sebagai akibatnya, konversi dari minyak tanah ke BBG, misalnya, menjadi terbengkalai. Sudah semestinya pemerintah menggenjot program langit biru sambil terus menggali kemungkinan terdapatnya sumur-sumur baru untuk eksplorasi minyak dan gas. ***
Penulis adalah pengamat ekonomi, mantan praktisi perbankan 
http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar