Senin, 20 September 2010

Para Pencari Harapan

Selasa, 14 September 2010 | 04:31 WIB
Yanuar Rizky

Majalah Newsweek mengungkapkan hasil survei tentang 100 negara terbaik dunia. Indonesia berada di peringkat ke-73, di bawah negara tetangganya, yaitu Singapura (20), Malaysia (37), Thailand (58), dan Filipina (63).

Kok bisa? Padahal, pemerintahan SBY selalu mengatakan negeri ini masuk G-20 dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata- rata. Newsweek menggunakan pertanyaan sederhana dalam survei, ”Bila Anda lahir hari ini, negara mana yang bisa memberikan peluang terbaik bagi Anda untuk hidup secara sehat, aman, sejahtera, dan bergerak bebas?”
Pertanyaan sejenis sering dilontarkan banyak pihak kepada saya tatkala mereka merasa pidato angka-angka statistik terasa tidak berkorelasi dengan kehidupan mereka. Misal, buruh menanyakan, ”Bagaimana mungkin upah ini direm di bawah inflasi, sedangkan kalau mengikuti inflasi saja nombok upahnya.”
Betul, data statistik (makro) adalah kumulatif data individual (mikro). Namun, jangan lupakan kualitas hidup tak bisa digeneralisasi ke data kuantifikasi kumulatif. Ada faktor ketimpangan yang harus kita pertimbangkan.
Ekonomi dalam arti kesejahteraan berkualitas bukanlah angka-angka, tetapi jiwa para pemilik angka-angka itu sehingga mazhab yang saya sukai dan selalu saya pakai dalam kerangka analisis ”telusuri detailnya agar kita tahu perilakunya”.
Pertumbuhan dan kesejahteraan
Marilah mencoba meneropong suasana batin ekonomi rakyat sekarang ini. Presiden SBY dalam nota keuangan 2011 menyatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi 6,3 persen dan inflasi 5,3 persen. Inflasi adalah kenaikan harga-harga dan data sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia bertumpu ke konsumsi. Maka, meroketnya hargalah yang memicu pertumbuhan itu sendiri.
Benar, kita masih punya selisih positif 100 poin antara angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi agregat. Artinya, pertumbuhan bersih bisa diasumsikan hanya 1 persen. Saya termasuk orang yang dalam pencarian nafkahnya ”usaha sendiri”, dan ketika mendengar pidato Presiden tak merasa ada harapan akan ada hal besar yang bisa dipicu bagi dunia usaha.
Apa kita diarahkan jadi bangsa konsumen? Karena data tren impor barang konsumsi menunjukkan angka yang meningkat dari waktu ke waktu. Siapa yang diuntungkan? Tetap pemain lama, para importir barang konsumsi. Tak heran, banyak pula pihak bertutur skeptis ”kalau pertumbuhan yang inflatoir berarti tanpa pemerintah bekerja pun akan tumbuh”.
Pembelaan ekonom mainstream tentu tersedia, yaitu jika saat inflasi ekonomi masih bisa tumbuh berarti denyut ekonomi masih bekerja. Benar, tetapi masalahnya apakah data makro itu dikarenakan ”yang kaya tambah kaya, menutupi angka penurunan kemiskinan kelompok tengah dan miskin” ataukah ”sejatinya secara kumulatif dan relatif merata karena terjadi peningkatan daya beli?”
Survei Newsweek mewakili jawaban persepsi yang terjadi adalah ”ketimpangan”, jauh di bawah negara-negara tetangga. Kalau saya dikatakan provokatif, jawaban diserahkan kepada masing- masing pembaca ”apakah Anda lebih sejahtera? dan apakah Anda melihat harapan dari angka-angka dalam pidato RAPBN 2011?”
Saya coba menerka-nerka. Jika Anda pemegang deposito yang tak terpakai konsumsi, maka Anda akan menutupi inflasi dari bunga deposito. Lalu, jika Anda bermain saham, maka keuntungan ”pesta gorengan” saham bisa membuat Anda mencapai angka positif jauh di atas inflasi.
Apalagi jika Anda juga bermain di pasar uang. Karena data menunjukkan gorengan saham elastis dengan fluktuasinya rupiah di pasar uang dollar AS. Namun, pernahkah kita berpikir berapa persentase masyarakat yang bisa punya deposito, saham, dan valas?
Faktanya, banyak orang yang kerjanya cari utangan. Di mana, terjadi kenaikan kredit konsumsi sebesar 2,32 persen pada tahun 2009 (Rp 436,99 triliun) dari 2008 (Rp 367,12 triliun). Bagi Anda yang masih dipercaya berutang, berkontribusi menyumbangkan pertumbuhan ekonomi (konsumsi) dengan ”gali lubang tutup lubang”.
Bom waktu
Jadi, ini semacam bom waktu pertumbuhan. Karena konsumsi cenderung impor, yang tampak dari peningkatan biaya moneter Bank Indonesia sebesar 5,61 persen pada tahun 2009 (Rp 22,47 triliun) dari 2008 (Rp 21,27 triliun).
Itu artinya penguatan mata uang rupiah terhadap dollar AS yang dibanggakan ternyata berbiaya tinggi. Di sinilah benang merahnya, net importir menyebabkan inflasi ditekan dengan operasi pasar (moneter) yang ”menjaga” nilai tukar rupiah.
Siapa yang untung? Tentu para pemain di pasar keuangan sehingga kenaikan kekayaan kumulatif ”permainan orang kaya” menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan. Apa yang masih bisa berutang tambah sejahtera? Faktanya, data statistik perbankan BI menunjukkan, selisih suku bunga kredit konsumsi atas bunga deposito lebih tinggi pada tahun 2009 (789,8 poin) daripada tahun 2008 (518,5 poin).
Jadi, semua tentu ingin mendapatkan madu permainan di pasar uang dan bursa saham. Namun, jika penikmat kesejahteraan dari mesin pasar itu terbatas karena duitnya nombok konsumsi, apa adil? Itulah tugas pemimpin, yaitu memberikan harapan, bukan statistik dan wacana kesejahteraan.
Sayang, saya tak mendengar stimulus fiskal seperti yang dikatakan Presiden Obama dalam nota keuangannya berupa insentif dan disinsentif perpajakan bagi perbankan yang menggerakkan usaha sektor riil.
Pemerintah seharusnya menggunakan kekuasaannya sebagai pemegang saham Bank BUMN untuk mengalirkan dana ke sektor riil dengan bunga yang lebih rendah serta memberi insentif pajak bagi bank swasta yang mengikutinya.
Sayangnya, itu tidak saya temukan dalam nota keuangan Presiden Yudhoyono, malahan saya membaca, privatisasi lebih luas di bank BUMN akan segera dilakukan. Kalau Singapura dan Malaysia semakin memperbesar kepemilikan di bank, mari kita introspeksi ”rasa terluka” dengan negara tetangga, salah siapa? Pemimpin tak boleh sibuk dengan dirinya sendiri agar bangsa ini terbebas dari masalahnya sendiri.
Yanuar Rizky Analis, Koordinator Partner Aspirasi Indonesia Research Institute
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/04310326/para.pencari.harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar