Senin, 20 September 2010

TAJUK RENCANA

Selasa, 21 September 2010 | 03:19 WIB
Kemiskinan dan Korupsi

Upaya Indonesia menurunkan angka kemiskinan dalam 10 tahun terakhir tergolong kurang mengesankan. Jumlah orang miskin masih tetap tinggi.
Sekalipun ada sejumlah kemajuan dalam mengurangi kemiskinan ekstrem dan bahaya kelaparan, secara keseluruhan persoalan kemiskinan masih menjadi isu serius bagi bangsa Indonesia. Sempat muncul optimisme, program Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) tahun 1990-2015 menjadi momentum penting bagi Indonesia bersama sekitar 150 negara berkembang lainnya untuk mengurangi kemiskinan secara drastis.

Namun, satu dasawarsa setelah MDGs dicanangkan, kemajuan upaya mengentaskan orang miskin di Indonesia kurang mengesankan. Isu kemiskinan, yang tidak juga surut itu, akan menjadi salah satu bahan yang harus dilaporkan Indonesia kepada PBB dalam sidang evaluasi MDGs tanggal 20-22 September di New York, yang diikuti sekitar 150 negara berkembang peserta program MDGs.
Masih tersisa lima tahun untuk delapan sasaran MDGs, yang mencakup pengurangan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, pengurangan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pengurangan penyakit, pelestarian lingkungan, serta kerja global soal pembangunan.
Khusus tentang upaya pengurangan angka kemiskinan, Indonesia termasuk kedodoran. Berdasarkan ukuran kemiskinan nasional, angka kemiskinan mencapai 15,1 persen atau 27,2 juta orang tahun 1990, 14,15 persen atau 32,5 juta orang tahun 2009, sementara tahun 2010 berada di posisi 13,33 persen atau 31,7 juta penduduk.
Di balik angka statistik yang mengacu pada ukuran 1 dollar AS per hari itu, terdapat realitas hidup yang lebih rumit. Apakah masih valid ukuran kemiskinan dengan 1 dollar AS per hari yang ditetapkan 10 tahun lalu, sementara harga-harga terus naik dari waktu ke waktu. Tidak kurang dari Utusan Khusus MDGs Nila Djuwita Moeloek mempertanyakan kualitas hidup dengan uang 1 dollar AS per hari, apalagi yang kurang dari 1 dollar AS. Juga tidak lebih baik keadaan mereka yang berpendapatan sedikit di atas 1 dollar AS per hari. Potret kemiskinan itu tak hanya terlihat di pedesaan, tetapi juga di daerah kumuh perkotaan.
Para pengamat cenderung berpendapat, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi karena salah urus. Tata kelola pemerintahan yang tidak efektif dan efisien serta birokrasi yang korup membuat Indonesia sulit berkembang maju. Pekan lalu Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan mengingatkan bahaya korupsi di Indonesia yang dapat menghambat proses kemajuan.
Peringatan IMF sekaligus memperlihatkan, tidak banyak kemajuan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sering muncul sinisme, sudah miskin, korup pula. Korelasi keduanya sangatlah jelas. Perilaku korupsi pejabat telah menyengsarakan rakyat. Kemiskinan dan korupsi merupakan kombinasi buruk bagi pencitraan Indonesia.
Tantangan Generasi Baru Korut
Korea Utara selalu menarik. Barangkali hanya negeri ini saja di dunia ini yang hingga sekarang masih sangat tertutup dan senantiasa menyimpan teka-teki.
Karena itu, apa pun yang terjadi di Korut selalu menarik perhatian dan menjadi bahan analisis. Dua isu yang selama ini menjadi daya pikat Korut adalah program nuklir dan peluncuran peluru kendali. Masalah program nuklir hingga kini belum dapat diselesaikan dan soal peluru kendali setiap kali muncul apabila hubungan dengan Korea Selatan memburuk.
Isu lain yang tak kalah menarik menyangkut suksesi kepemimpinan nasional. Korut, yang meski nama resminya Republik Demokratik Rakyat Korea, memilih model suksesi yang non-demokratis. Mereka memilih model pewarisan, sistem keluarga.
Ada memang parlemen, Majelis Rakyat Tertinggi. Namun, parlemen Korut yang sebenarnya lebih sebagai ”tukang stempel” saja. Apa yang ditentukan Kim Jong Il akan disepakati begitu saja. Hal itu sama dengan ketika Pemimpin Besar Korut Kim Il Sung pada tahun 1973 mengangkat Kim Jong Il sebagai calon penggantinya. Parlemen menyetujui meski Kim Jong Il baru benar-benar menjadi pemimpin Korut 20 tahun kemudian.
Partai pun, Partai Buruh Korea yang berkuasa, juga akan mengiyakan saja keinginan Kim Jong Il. Beberapa hari silam, Partai Buruh Korea mengadakan kongres pertama sejak 30 tahun silam untuk memberikan dukungan pada penunjukan calon ahli waris takhta Korut, Kim Jong Un, anak ketiga atau termuda Kim Jong Il.
Kim Jong Un yang diperkirakan lahir pada tahun 1983 atau 1984 pernah mengikuti pendidikan di Sekolah Internasional Berne, Swiss, dan diberitakan bisa berbahasa Inggris dan Jerman. Kim Jong Un ini pula yang beberapa pekan lalu diajak Kim Jong Il ke Beijing.
Penunjukan Kim Jong Un yang diamini Partai Buruh Korut menjadi jawaban terhadap pertanyaan tentang suksesi kepemimpinan Korut. Terpilihnya Kim Jong Un pun memberikan banyak arti bagi masa depan Korut. Paling tidak diperkirakan bahwa Kim Jong Un yang pernah mengalami pendidikan Barat memiliki pemikiran yang berbeda, atau gagasan-gagasan yang berbeda, untuk membawa Korut keluar dari krisis ekonomi berkelanjutan.
Kim Jong Un bisa jadi bersikap dan berpikiran lebih pragmatis karena tuntutan zaman. Pengalamannya pergi ke China bersama ayahnya akan membuka mata dan pikirannya bahwa reformasi ekonomi seperti yang dilakukan China sangat dibutuhkan Korut untuk menyelamatkan rakyatnya dari kemiskinan.
Kiranya tidak ada pilihan lain bagi Korut untuk mengikuti jejak China, ”saudara tuanya”, apabila ingin keluar dari belitan kesulitan ekonomi. Hal itu diharapkan akan dilakukan oleh Kim Jong Un di masa depan.
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/21/03192345/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar