Senin, 20 September 2010

Risiko RAPBN 2011

Selasa, 14 September 2010 | 04:29 WIB
Anggito Abimanyu

Pada 16 Agustus lalu, di hadapan Sidang Paripurna DPR dan DPD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011. RAPBN 2011 disusun berdasarkan tema yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2011, yakni ”Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah”.
Tema tersebut dicerminkan dengan sasaran kuantitatif pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, inflasi 5,3 persen, tingkat pengangguran 7 persen, dan tingkat kemiskinan 11,5 persen. Sasaran ini secara umum jelas lebih baik daripada tahun sebelumnya (2010) dan tetap konsisten dengan sasaran jangka menengah RPJM 2010-2014 yang sudah dicanangkan.
Realistis, tetapi berisiko
Meskipun realistis, RAPBN 2011 disusun dengan risiko yang tidak kecil.
Pertama, risiko pelambatan pertumbuhan global. Ada indikasi awal krisis utang di Eropa mulai memberikan sentimen negatif di sektor riil. Stimulus fiskal membuat defisit anggaran di hampir semua negara di dunia mengakibatkan utang naik secara signifikan. Keadaan ini mengganggu proses pemulihan ekonomi global.
Kedua, risiko nilai tukar dan external shock. Di pasar uang dan pasar modal domestik, fenomena akhir-akhir ini seperti meningkatnya capital flow jangka pendek, kepemilikan surat utang dan saham oleh asing, jumlah utang jangka pendek khususnya swasta memberikan indikasi bahwa perekonomian Indonesia memiliki risiko external shock yang meningkat.
Ketiga, risiko sasaran inflasi tahunan dipicu oleh kenaikan harga beras. Fakta menunjukkan bahwa fluktuasi harga beras terjadi karena keterbatasan cadangan/stok beras yang dikuasai Bulog. Dengan jumlah cadangan selama ini 1 juta-2 juta ton beras, harga beras sangat mudah digoyang oleh spekulan. Idealnya, jumlah cadangan beras berada pada 3 juta-5 juta ton beras sehingga memungkinkan Bulog untuk melakukan operasi pasar yang memadai pada waktu terjadinya paceklik atau gagal panen. Jika tidak ada tambahan, tekanan pada inflasi akan berulang dan kemiskinan menjadi ancaman serius.
Keempat, kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Kenaikan TDL dan HET pupuk adalah kebijakan yang tepat untuk menyehatkan APBN sekaligus merasionalkan tarif listrik dan harga pembelian pupuk. Meski demikian, karena penghematan dananya cukup signifikan dan tidak disediakan anggaran pengganti (cadangan risiko fiskal), apabila kebijakan tersebut ditolak atau direduksi oleh DPR (dan pengusaha), APBN 2011 memiliki risiko dan tekanan pembiayaan yang serius.
Kelima, eksekusi percepatan pencairan dana DIPA kementerian dan lembaga. Meskipun dalam tiga tahun terakhir rasio pencairan DIPA sudah mencapai di atas 90 persen, lebih dari 50 persen di antaranya terjadi pada akhir kuartal ketiga dan kuartal keempat. Komposisi belanja barang juga masih lebih tinggi dibandingkan belanja modal. Keterlambatan dan kepincangan komposisi tersebut memengaruhi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter dan inflasi, serta penyerapan lapangan kerja.
Pencegahan risiko
Meskipun risiko RAPBN 2011 cukup serius, berbagai upaya internal harus dilakukan oleh pemerintah bersama DPR untuk membuat APBN 2011 kredibel, berfungsi, dan dapat dipercaya.
Pertama, momentum pertumbuhan terus didorong dan stabilitas makro, khususnya inflasi, harus dijaga. Bank Indonesia perlu memperbaiki struktur dana- dana jangka pendek yang masuk dan menjaga fluktuasi nilai tukar dengan menghitung tingkat daya saing perekonomian regional. Target pertumbuhan 6,3 persen sudah realistis, maksimum dapat dioptimalkan lagi pada tingkat 6,4 persen, dengan ekspansi anggaran dan insentif investasi tambahan yang nyata. Cadangan stok beras harus ditambah melalui tambahan dana alokasi APBN untuk mengurangi spekulasi harga beras di pasar.
Kedua, pembahasan RAPBN 2011 harus diupayakan benar-benar dengan mengingat risiko ekonomi global tersebut serta kemampuan eksekusi dalam belanja negara. Fiscal space yang masih ada dari sisi perpajakan, cukai, dan penerbitan SBN dapat dioptimalkan. Rasio perpajakan pusat 12 persen terhadap PDB, plus 2 persen pajak daerah, memang sudah hampir setara dengan negara tetangga. Meski demikian, dengan pertumbuhan ekonomi nominal sebesar 11,6 persen, pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 12,9 persen masih memungkinkan dioptimalkan, paling tidak dengan tambahan 0,1 persen dari PDB atau sekitar 7 triliun rupiah. Optimalisasi tersebut dapat berasal dari intensifikasi PPh orang pribadi dan PPh badan untuk sektor-sektor yang tergolong undertax. Penerimaan cukai juga masih dapat ditingkatkan dengan kenaikan tarif cukai sesuai dengan tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok.
Penerbitan SBN juga masih dapat ditambah terutama dari SBN (Surat Berharga Negara) dan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), khususnya di kelompok investor ritel dan domestik. Potensi demand SBN dari domestik, baik bank maupun bukan bank, serta ritel (ORI) masih terbuka. Seri penerbitan SBSN ritel (SUKRI) yang baru dua saja masih terbuka untuk ditambah. Maka, tambahan penerbitan SBN sebesar 0,1 persen dari PDB atau sekitar Rp 7 triliun masih realistis.
Ketiga, perlu disediakan anggaran risiko revisi kenaikan TDL dan HET supaya tidak terjadi krisis fiskal. Dengan adanya kenaikan fiscal space tersebut, dapat dialokasikan sebagian untuk dana risiko revisi kenaikan TDL dan HET. Namun, menurut saya, kenaikan TDL dan HET sebaiknya tetap dilakukan dengan besaran dan waktu yang mempertimbangkan momentum pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri. Tingkat TDL yang berada di bawah biaya pokok penjualan (BPP) PLN membuat subsidi listrik terus terjadi dan terjadi inefisiensi ekonomi. Upaya untuk menambah energi primer (fuel mix) dari batu bara dan gas harus menjadi prioritas utama sehingga tekanan kenaikan TDL akan berkurang.
Keempat, eksekusi belanja APBN dan infrastruktur terus dipacu jika tidak menghendaki adanya ekonomi kepanasan (overheating). Upayakan tidak ada perubahan DIPA dalam APBN-P yang sering menghambat pencairan DIPA di tengah jalan dan memberikan kebijakan reward dan punishment bagi penyelesaian APBD di daerah. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah diharapkan dapat mempercepat tender dua bulan sebelum dimulai tahun anggaran sehingga tidak ada lagi keterlambatan pencairan seperti sekarang.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa APBN adalah jangkar dari perekonomian. APBN mengamankan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. APBN 2011 harus dapat mengurangi risiko yang meleset dari rencana. Untuk itu, perlu langkah-langkah pencegahannya. Situasi perekonomian global yang volatil dan labil sekarang dan ke depan juga menambah risiko APBN kita.
Kredibilitas APBN 2011 terletak pada kemauan politik DPR dan pemerintah untuk merumuskannya bersama-sama. Jangan sampai APBN yang selama ini sudah mampu menjalankan fungsinya terganggu oleh keinginan sesaat, kemauan sendiri atau kelompok, dan populis belaka.
Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/04291125/risiko.rapbn.2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar