Senin, 20 September 2010

Membangun Tradisi Politik yang Sehat

Selasa, 14 September 2010 | 04:29 WIB
Siswono Yudo Husodo

Tokoh senior Singapura, Lee Kwan Yew, adalah yang pertama menganjurkan agar masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperpanjang, setidaknya menjadi tiga periode, agar terjadi kontinuitas atas konsep pembangunan yang diletakkannya.

Juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menjadi figur sentral yang menggulirkan wacana amandemen UUD 1945 untuk memungkinkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali. Alasannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup baik dalam memimpin negara dan masih dicintai rakyat.
Wacana itu segera menjadi kontroversi di panggung politik nasional. Reaksi penolakan bermunculan dari berbagai kalangan. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum lalu menyatakan bahwa wacana yang digulirkan Ruhut Sitompul bukanlah garis kebijakan partai.
Karena wacana tersebut dilontarkan oleh yang terhormat Saudara Ruhut Sitompul dan lalu disanggah oleh yang terhormat Saudara Anas Urbaningrum, dua- duanya politisi dari Partai Demokrat, menurut hemat saya, ada tiga kemungkinan. Pertama, yang bersangkutan tulus melihat bahwa belum ada tokoh pengganti yang lebih baik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua, dia mencuri start agar kalau berhasil akan dicatat sebagai pelopor gerakan mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketiga, tindakannya bersifat test the water, menjajaki.
Saya tak tahu mana yang benar, tetapi sangatlah tidak tepat mengubah konstitusi agar memberi jalan bagi seseorang, betapa baiknya pun orang tersebut. Karena dukungan tidak bergaung, situasinya agak memojokkan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saya juga yakin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menginginkan dirinya dipilih untuk ketiga kalinya.
Membangun tradisi politik
Presiden, yang berarti pemimpin eksekutif (pemerintahan) yang bisa sekaligus kepala negara suatu negara republik atau kepala negara saja di negara bersistem parlementer, adalah istilah yang disebutkan Plato, murid terpandai Socrates, dalam bukunya The Republic, 400 tahun sebelum Masehi. Plato dalam buku itu menyebutkan bahwa tiang negara adalah guru dan anggota parlemen; mereka harus lulusan universitas, suatu predikat yang waktu itu merupakan orang yang bukan saja intelektual, tetapi juga bijak dan bermoral.
Presiden di republik yang masa baktinya lama umumnya di negara-negara berkembang dan pergantiannya melalui proses yang keras; revolusi, pemakzulan, atau penggulingan. Presiden di negara-negara maju maksimal dua kali masa jabatan, masing- masing empat atau lima tahun.
Indonesia pernah memiliki dua presiden dengan masa jabatan yang panjang. Presiden Soekarno selama tahun 1945-1967 meskipun periode 1949-1959 beliau adalah Presiden selaku Kepala Negara di bawah sistem parlementer. Selanjutnya, Pak Harto selama 1967-1998.
Amerika Serikat, yang merdeka pada tahun 1776, sampai sekarang setelah 235 tahun hanya ada satu presiden yang lebih dari dua kali masa jabatan, yaitu Franklin Delano Roosevelt. Akan tetapi, masa bakti ketiganya tak penuh karena meninggal dunia. Sejak 1776, pembatasan masa jabatan presiden dua kali karena tradisi yang diwariskan presiden pertama, George Washington. Baru pada tahun 1951 masa jabatan presiden AS dibatasi dua periode melalui amandemen konstitusi.
Washington seorang jenderal yang memimpin perang kemerdekaan AS (1776-1781). Setelah mundur sebagai pemimpin militer, pada tahun 1787 ia dipercaya memimpin konvensi delegasi 12 negara bagian, menyusun konstitusi di Philadelphia. Pada tahun 1789 Washington menjadi presiden pertama dan tahun 1793 terpilih untuk periode kedua. Dia pensiun tahun 1797 setelah menolak untuk dipilih kembali menjadi presiden.
Kalau dia mau, komandan-komandan pasukannya mau menjadikannya raja.
Suatu masyarakat, lebih-lebih suatu bangsa, agar kehidupannya tertib, di samping diatur dengan konstitusi dan hukum serta demokrasi, tak kalah pentingnya adalah membangun tradisi politik yang sehat. Di AS, keputusan George Washington untuk cukup dua kali menjadi presiden telah menjadi tradisi. Dan, bagi Indonesia, adalah amat penting membangun tradisi politik yang sehat karena kita melihat sedang berkembang pesat feodalisme politik, politik uang/politik transaksional/pragmatisme politik. Dengan kondisi sosial budaya bangsa kita yang paternalistik, berkembangnya feodalisme politik dan politik uang/politik transaksional itu sangat membahayakan masa depan Indonesia.
Di era Presiden Soekarno, sentralisasi politik nasional terasa sekali karena kewibawaan beliau yang besar sebagai Bapak Bangsa. Nyaris tak ada figur dan lembaga yang dapat mengimbangi pengaruh politik Presiden Soekarno sehingga segenap inisiatif politiknya mengenai negara dan bangsa selalu dipatuhi seperti Dekrit 1959, gagasan Nasakom, tak adanya pemilu dan praktik demokrasi terpimpin pada tahun 1959-1967.
Dalam 32 tahun kekuasaan Presiden Soeharto, sentralisasi kekuasaan ditopang oleh berbagai mesin politik yang terkoordinasi dengan baik. Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun, tetapi makin lama makin terasa bahwa personalisasi atas kekuasaan negara di tangan presiden kian meluas. Lamanya masa kekuasaan telah membuat kekuasaan negara makin terkristalisasi di tangan presiden dan orang-orang dekatnya. Semua kekuatan politik dan ekonomi perlu membangun akses pada presiden. Pola di pusat kekuasaan ditiru di daerah-daerah. Sampai pernah MPR diisi oleh kerabat elite pusat dan daerah. Mobilitas sosial vertikal melalui jalur politik dan kepemimpinan masyarakat terhambat karena akses politik dimonopoli oleh orang-orang tertentu.
Feodalisme politik
Proses reformasi menghentikan sejenak kecenderungan itu. Dengan semangat membangun demokrasi, sistem politik dibuka untuk partisipasi yang luas dan pembatasan masa jabatan pejabat eksekutif di semua tingkatan menjadi salah satu indikatornya.
Untuk jabatan presiden, dengan amandemen pertama, telah diberlakukan pembatasan masa bakti presiden dua kali, melalui perubahan Pasal 7 UUD 1945.
Sayangnya, belakangan ini kecenderungan feodalisme politik kembali menguat. Membangun dinasti politik seolah menjadi obsesi elite politik Tanah Air sekarang ini. Kita menyaksikan bupati yang digantikan keluarganya. Saya yakin, apabila Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak membatasi masa jabatan, dengan segala cara, termasuk dengan politik uang, banyak bupati dan gubernur yang menjabat terus-menerus hingga akhirnya dipaksa turun oleh proses yang keras.
Pragmatisme politik di tingkat elite telah diikuti rakyat. Kegiatan politik transaksional, dengan menarik imbalan material untuk setiap dukungan politik, adalah hal yang ditemui di mana-mana sekarang ini. Dengan kondisi rakyat kita cukup banyak yang masih miskin dan berpendidikan kurang, upaya membangun dinasti politik tidaklah sulit.
Filipina adalah contoh negara yang lambat kemajuannya karena dikuasai oleh keluarga-keluarga kaya yang juga dinasti politik, baik tingkat daerah maupun nasional. Klan-klan politik lokal menjadi broker yang menopang kekuatan politik nasional. Negara itu dikuasai aliansi elite politik pusat-daerah yang memanipulasi proses demokrasi. Membangun kesadaran bersama mengenai pembatasan masa jabatan presiden dua kali tetap harus dilanjutkan.
Setiap bangsa perlu mengenal kelemahannya sendiri serta belajar dari kesalahan masa lalunya dan adalah tanggung jawab besar dari setiap generasi untuk membangun tradisi politik yang anggun. Gajah mati meninggalkan gading, negarawan mati meninggalkan tatanan, sistem, dan tradisi yang unggul.
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/04293936/membangun.tradisi.politik.yang.sehat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar