Senin, 20 September 2010

Dicari Kapolri dan Jaksa Agung Penegak HAM!

Selasa, 14 September 2010 | 04:30 WIB
USMAN HAMID

Di tengah pemberitaan seputar arus mudik masyarakat ke kampung halamannya, tiba-tiba Presiden SBY menyampaikan pidato di hadapan para pemimpin media massa dan disiarkan langsung hampir di semua stasiun televisi.

Presiden SBY menyampaikan pidato menyikapi delapan isu yang jadi percakapan publik di media, dari isu penegakan hukum sampai bencana alam gunung meletus dan potensi gempa bumi. Khusus isu terkait penegakan hukum, Presiden menyampaikan rencana pergantian Kapolri dan Jaksa Agung, pemilihan Ketua KPK, serta penguatan Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan.
Sulit dimungkiri, substansi yang disampaikan Presiden cenderung hanya mengonfirmasi wacana yang berkembang di media massa. Ada beberapa catatan menarik. Pertama, barangkali baru kali ini seorang Presiden memberi perhatian kepada Komisi Kepolisian Nasional, khususnya dalam pergantian petinggi Polri. Meski pendasaran pendirian komisi ini amat strategis, kesan penelantaran, bahkan oleh kepolisian sendiri, amat terlihat. Keberadaannya yang kritis membuat Komisi Kepolisian Nasional kerap dinilai sebagai lawan ketimbang mitra kepolisian.
Ke depan Presiden harus memastikan tak hanya anggaran yang dilepaskan dari pos anggaran satu atap dengan kepolisian guna menjamin independensi, tetapi juga kewenangannya diperkuat dalam mengontrol kinerja kepolisian agar lebih akuntabel.
Kedua, percepatan pergantian Kepala Polri meski Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengakhiri masa baktinya pada Oktober. Menurut Presiden, nama calon yang diusulkan sangat baik, bebas dari perkara hukum dan HAM. Percepatan dilakukan demi urgensi penegakan hukum melawan korupsi dan terorisme.
Ketiga, dibukanya kemungkinan pengganti Jaksa Agung Hendarman Supandji yang berasal dari kalangan nonkarier. Ini tantangan besar di tengah minimnya jaksa berprestasi karena integritas dan keahliannya.
Empat keutamaan
Siapa pun yang ditunjuk Presiden, empat keutamaan universal pemimpin penegak hukum harus terpancar: berintegritas, bertanggung jawab, diakui, dan tepercaya. Dahulu sosok ini diwakili Jaksa Agung R Soeprapto dan Kapolri Hoegeng.
Betapapun sulit, sosok mendatang harus diupayakan semaksimal mungkin berintegritas pribadi yang tinggi dan berkepribadian jujur sehingga memancarkan wibawa keteladanan bagi aparat di bawahnya. Inilah bekal utama membangun integritas penegak hukum.
Landasannya adalah integritas pribadi: riwayat yang bersih dari korupsi, pelanggaran HAM, dan penyalahgunaan kekuasaan supaya ia dihormati publik. Karena itu, Presiden sudah benar merujuk lembaga Komnas HAM, PPATK, atau KPK. Ini baru pertama dalam wacana pergantian Kapolri dan Jaksa Agung. Ke depan, mekanisme vetting sejenis ini perlu lebih dilembagakan.
Ini juga menyangkut integritas institusional, bertalian dengan sikap dan kemampuan menjaga institusi penegak hukum sebagai institusi yang bekerja atas supremasi hukum yang adil, netral dari kepentingan pragmatis kekuasaan politik, serta imparsial dan responsif pada kepentingan publik. Ia berdiri di atas semua kelompok kepentingan.
Misalnya, peka terhadap rasa keadilan, khususnya bagi masyarakat marjinal (miskin, minoritas, dan minim akses sosial-politik). Penegakan hukum harus terasa sebagai adil. Di Papua, misalnya, penggunaan tuduhan makar merugikan citra hukum: keadilan dan akibatnya mempersempit peluang inisiatif damai.
Kepekaan juga dibutuhkan mengingat adanya produk hukum yang diskriminatif dan sejumlah perkara besar yang belum dituntaskan, seperti nasib berkas penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/ 1998, Tragedi Mei 1998, dan Talangsari 1989. Jaksa Agung yang baru harus berkemauan dan berkemampuan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM itu.
Selain integritas, keutamaan lainnya adalah bertanggung jawab. Akuntabilitas kepolisian dan kejaksaan merosot. Sebabnya, kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang diduga melibatkan aparatnya terkesan dibiarkan dan diperparah oleh ketiadaan mekanisme koreksi internal, bahkan resistensi terhadap institusi semacam KPK dan Satgas Antimafia.
Entitas KPK atau Satgas Antimafia hanya bersifat sementara, sebatas perkakas politik selama transisi menuju demokrasi. Ia tak lagi diperlukan jika ada keberhasilan merestorasi kejaksaan dan kepolisian. Untuk itu, diperlukan pembenahan radikal. Dengan sendirinya, diperlukan pemimpin yang kuat pengakuannya, baik secara internal maupun komunitas hukum keseluruhan.
Syarat keutamaan yang keempat adalah tepercaya. Pemolisian dan penegakan hukum adalah urusan dan kepentingan banyak pihak. Kepercayaan dari segala pihak adalah faktor penting bagi upaya terus memperbaiki institusi kejaksaan dan kepolisian. Caranya tak bisa lagi bertindak secara linier, tetapi harus bertindak dalam kedaruratan. Kepercayaan itu tak sekadar menjaga nama baik, tetapi juga mendatangkan keadilan dalam kenyataan hukum dan kehidupan politik.
Akhirnya, pidato Presiden harus diarahkan untuk memilih hulubalang baru yang memenuhi empat keutamaan itu. Menjelang setahun kabinetnya, hulubalang itu harus secara tangkas dan berani mendongkrak kinerja dua lembaga penegak hukum negeri ini sehingga perang melawan kejahatan bisa betul-betul dimenangkan. Tak hanya mendamaikan keadaan, tetapi juga membersihkan mafia kejahatan serta menegakkan tiang-tiang hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Usman Hamid Aktivis Kontras
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/04301448/dicari.kapolri.dan.jaksa.agung.penegak.ham

Tidak ada komentar:

Posting Komentar