Kamis, 28 Oktober 2010

Sebuah Ruang Kosong

Rabu, 08 September 2010 01:51 |
Ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim

Nina, melihat pameran foto ini, matanya seperti dihantam. Padahal foto ini menurut beberapa orang tak patut dipuji. Nina betul-betul terperangkap. Lama sekali dia terpanah di depan sebuah foto, yang menshoot sebuah ruangan luas, di mana langit-langitnya seperti berlapis-lapis dan tidak ada habis-habisnya.

Nina, merasakan sesuatu yang aneh, hadir di lubuk hatinya, dia ingin tahu lebih dekat obyek foto ini. Menurut fotografernya, ruangan kosong ini terletak di sebuah pantai yang menjorok ke laut. Sebuah ruangan kosong, yang selalu diterpa oleh sinar matahari, nampak mencorong, sehingga tanah di sekitarnya kelihatan retak-retak dan kemerah-merahan. Masih menurut fotografer, dia sendiri tidak tahu mengapa mengambil sudut itu. Yah, begitu saja seperti orang mengigau.
Keingintahuan Nina semakin mencuat, sehingga dia selalu mem­bicarakannya kepada orang-orang yang sangat dicintainya, yaitu papa, mama, dan kedua kakaknya. Mereka merasa keheran-heranan dengan sikap Nina.
“Bagaimana kamu bisa melakukan perjalanan ke sana, karena se­bentar lagi kamu harus menyelesaikan skripsimu!” kata keluarganya, serentak.
Nina, mendengarkan ucapan itu dengan perasaan sedih. Lantas, Nina merasa seperti orang yang tengah patah hati saja, padahal tak ada sesuatu yang berubah dalam kehidupannya.
Suatu saat, tanpa terkendalikan lagi, dia sudah mempersiapkan untuk perjalanan itu. Persis akan berangkat, papa muncul di jendela mobil.
“Kamu seperti kesurupan saja, sebaiknya cepat pulang, Non. Kalau ada apa-apa tolong telepon aku! Aku menduga kamu cuma kelelahan, dalam pembuatan skripsimu. Karena kau memilih topik yang sulit.”
Nina, menyentuh tangan papa yang sangat dicintainya. Sesung­guhnya, dia bangga dengan papanya. Papanya tidak pernah memukulnya seperti papa Etik, atau berselingkuh seperti papanya Rozi.
“Saya pulang, sehari sebelum ulang tahun Papa. Saya janji.”
Papanya tersenyum. Alangkah senangnya mendengarkan itu, untuk telinga lelaki yang sudah berusia 54 tahun.
Nina mencium tangan papa. Dia selalu ingat cerita papa, ketika mama mengandung anak ketiga, dia sudah merasa bahwa bayi yang akan dilahirkannya adalah perempuan!
“Ketika kaulahir, aku merasa orang yang paling bahagia. Karena, kau seorang bayi perempuan yang cantik. Dan aku sudah membayarnya kepada mamamu, dengan sebentuk cincin berlian.”
Nina, senang mendengar cerita yang selalu diulang-ulang itu. Bahkan mama mengatakan kepada Nina, “Papamu, kadang-kadang keterlaluan. Dia kelewat memanjakan kamu. Untungnya, abang-abang­mu tidak cemburu.”
***
Perjalanan ini tidak dilakukannya secara bergegas. Dia bisa menik­mati segala yang ada di udara, sinar matahari bahkan debu-debu yang bertebaran.
Di satu tempat, di mana Nina membeli bensin, sambil menunggu untuk dilayani, dia menggumam sendiri, “Sudah banyak yang saya lihat, peristiwa hidup campur baur, tanpa perasaan takjub, saya jalani kehi­dupan satu persatu seperti jam yang sudah pasti detik dan menitnya.”
“Sesungguhnya semua orang bilang, hidupku mudah, karena aku anak walikota! Tapi, bisa jadi aku melihatnya dari sisi lain. Aku selalu melihat keganasan kekuasaan itu, sekalipun papa selalu ingin tampil bijaksana. Karena papa dibesarkan oleh sebuah partai, di mana beliau harus memenuhi kebutuhan partai dan rakyat secara berimbang. Hal itu tidak mudah. Kadang-kadang aku tahu, papa merasa capek karena papa seperti didukung beramai-ramai ke sebuah puncak gunung dan diharap memikul beban itu sendiri! Kedua kakakku, belajar di mancanegara. Aku tidak ingin pergi jauh dari papa, karena aku tahu, akulah yang bisa menghiburnya kalau papa begitu capek. Sekalipun tentu saja ada mama, kami sepertinya membagi ruang dengan mama. Mama lebih banyak membicarakan hal-hal domestik kepada papa. Sebaliknya, papa lebih senang mendiskusikan masalah-masalah yang ada di kota ini denganku. Sekalipun kadang-kadang, kami tidak selalu sepaham. Tapi, sering papa bilang kepadaku, “Seandainya Indonesia bisa demokratis, aku ingin kau menjadi Indira Gandi negeri ini. Tapi, kadang-kadang aku lebih suka kau menjadi tehnokrat saja. Karena itu lebih aman dari intrik-intrik. Kautahu, sejak muda aku sudah terbiasa dengan intrik-intrik itu. Dan aku tidak suka putriku, jadi tidak bahagia dengan intrik-intrik itu.”
Sebenarnya, Nina menganggap dirinya bisa menjadi walikota.
Sekarang, Nina melanjutkan perjalanan. Pemandangan di daerah sekitar pantai ini menghunjam matanya. Dia melirik ke jam tangan yang melekat di tangannya. Pada jam begini, biasanya Nina nongkrong di kantin sambil ngobrol dengan beberapa teman. Tapi hari ini dia sendirian saja. Dia masih ingat beberapa gosip tentang papanya. Tentu saja, setiap gosip lebih banyak buruknya. Seandainya, dia bisa meng­hantam setiap orang yang menggosipkan papanya. Yah setiap orang tahu dia putri kesayangan bapak walikota. Dan banyak orang men­dekatinya. Tetapi, Nina selalu mendengarkan nasihat papanya, dia akan selalu menjawab seperti ini, “Kalau Bapak ingin berurusan dengan Papa, silahkan maju sendiri ke kantor.”
Sesungguhnya, kadang-kadang dia jenuh juga menjadi anak walikota, sekalipun dia begitu bangga. Kedua abangnya pergi dari kota ini, karena tidak suka pada pandangan masyarakat terhadap mereka, sebagai putra pejabat, yang rasanya setiap hari disorot oleh publik. Mereka merasa tidak bebas. Nina tidak merasa keberatan, bukankah tidak semua orang bisa menjadi walikota, seperti papanya.
Sekarang tercium olehnya bau laut. Sebetulnya, dia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, kecuali foto ruang kosong yang setiap saat menghambur, dia merasa kepayahan. Sekali lagi dilihatnya dirinya baik-baik. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Bersama angin pagi, akan disongsongnya sebuah masa depan, tapi mengapa dia membiarkan dirinya terjebak oleh gosip-gosip liar, padahal di sekolah dia selalu belajar rasional. Dan selalu diingatnya omongan papa, “Kalau kita jadi beringin, pasti lebih banyak angin yang bertiup di seputar kita.”
Nina selalu merasa ucapan papa itu sebuah pelajaran yang menarik. Terdengar pekikan burung-burung di laut sambar-menyambar. Nina ketakutan. Maka dilajukan mobilnya dengan cepat. Sepi meng­gumpal. Dia kaget, sepertinya terjebak, merasa sulit untuk mengatur nafasnya.
“Saya seorang realistis dan tahu aturan permainan waktu. Saya bukan seorang romantis yang suka bermimpi. Masa remaja saya sudah lewat. Sekarang, saya sudah jadi perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang lebih suka membaca buku politik, sosial, budaya dan mendiskusikan itu, dengan papa.”
Yah, dia sudah lama berhenti dugem. Kini, dia betah berjam-jam ngobrol dengan papanya. Mereka sepaham bahwa undang-undang peme­rintahan kadang-kadang sulit mengakomodir kemauan rakyat. Sehingga, baik papa maupun dirinya sepakat bahwa demo yang dilakukan oleh banyak kalangan di negeri ini, hanya karena sulit mencari titik pers­amaan. Dan ini terkadang bisa melubangi kekuasaan papa.
Nina semakin mempercepat laju mobilnya.
Malam mulai tiba. Pekik-pekik burung bercampur dengan deru mobilnya.
Pada malam ini, sebuah ruang kosong sudah terpampang di depan matanya. Dia betul-betul terhisap, dan tanpa sadar menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini terpantul di ruang kosong itu. Bukan pada sebuah pesta. Nina menganggap ruang kosong yang berlapiskan kayu ini mencetuskan satu kegembiraan di mana-mana. Dia merasa sangat betah tinggal di sini. Semuanya seperti sudah menyatu dalam dirinya, bagaikan menjadi belahan badan bagian kanan dan kirinya.
Dia mondar-mandir di ruang ini. Dompetnya terbuka. Foto papa dengan baju seragam walikotanya terloncat dari dalam tasnya. Maka Nina cepat-cepat menutup dompet itu erat-erat. Lantas, Nina duduk santai di sini dan terharu. Dia tergelitik untuk merekam momen-momen yang indah di sini, tapi tak jadi dijepretnya momen-momen itu. Sementara di luar ruang ini terdengar suara hiruk-pikuk: seorang perempuan dengan kerut-merut di wajahnya dan sangat mirip dirinya, berteriak-teriak bercampur dengan tangisan.
“Kamu tahu, anak saya perampok!” katanya tandas dan melengking.
Dengan geram, Nina mendorong perempuan tua itu keluar dari ruangan ini, karena dia butuh istirahat tanpa diganggu oleh siapa pun.
Semilir angin laut menyapu tubuh Nina, sehingga Nina tertidur dengan nyenyaknya tanpa perlu memakai obat tidur lagi.
Sesaat, perempuan tua itu muncul lagi di depannya dan berkata dengan sangat lantang, kacau-balau. “Bayangkan, anakku sudah kuberi segala-galanya, tapi yang terlahir dari rahimku cuma seorang perampok. Percaya atau tidak, perampok itu mirip kamu!”
Nina jadi sangat benci. Dengan sekuat tenaganya, dia mendorong perempuan tua itu.
“Kalau ke sini lagi, akan kubunuh kamu!”
Perempuan tua itu menangis, sedangkan Nina jadi kelagapan.
“Setiap orang bilang saya rasional. Telah saya masuki perguruan tinggi teknik, namun saya lebih suka belajar ilmu-ilmu sosial. Papa bangga sekali denganku. Dua kakakku lebih dekat dengan mama, yang suka hal-hal yang bersifat ringan, musik pop, belanja baju dan lain-lainnya. Sebetulnya koran kemarin sungguh menyakitkanku. Aku tahu papa tidak seburuk itu. Dia lelaki yang mencintai keluarganya, tidak akan pernah mempergunakan jabatan untuk kepentingan keluarganya.”
“Di sini, aku betul-betul ketakutan, apakah papa seorang penjahat dalam jabatannya. Sesungguhnya, aku tidak mempercayai hal itu. Media massa bisa saja dibayar oleh lawan politik papa. Bukankah sekarang media massa dan media elektronik sangat bisa membentuk citra orang, menjadi siapa saja.”
Nina merasa kecapaian berfikir, kepingin sekali dia menghibur dirinya sendiri. Di tengadahkan kepalanya ke atas langit-langit, yang berlapis-lapis, bukan suatu gambaran yang terpisah-pisah, seperti yang dilihatnya sehari-hari. Perasaan Nina jadi kosong.
Udara di ruang ini, sepertinya tidak sehat. Nina, merasa tidak enak badan, kepalanya pening. Akhir-akhir ini, dia sering pening dan hampir pingsan.
Ruangan kosong ini jadi baur dengan foto papanya. Nina tersentak, semua yang dilihat kian lama kian terpisah-pisah. Kepingin sekali, dia tidak berbuat apa-apa, kekalutan mencekam. Matanya terbelalak, ruang kosong ini kembali menyatu dengan sendirinya.
Nina menganggap tidak perlu berlama-lama untuk berada di sini. Kemudian dia memotret beberapa kali, matanya berkabut. Nina menjalankan mobilnya lagi dengan pelan, menyusuri pantai yang diterpa matahari dan pekik burung-burung kalang-kabut.
Beberapa hari kemudian, kita melihat foto Nina yang dilatar­belakangi oleh sebuah ruang kosong di beberapa media massa dan elektronik. Kemarin, dia mengadakan jumpa pers, “Saya tahu, papa tidak pernah berbuat kejahatan dalam menjalankan jabatannya. Beliau sangat paham, kadang-kadang tidak bisa mengakomodir semua kehen­dak rakyat. Hal itu yang menjadi titik kelemahan beliau, dan lawan-lawan politiknya memancing di air keruh. Sehingga, kewajiban kami sekeluarga mengambil pengacara untuk menegakkan tali yang basah. Dan berharap para pecundang itu, lebih bisa menuding dirinya sendiri. Atau jelasnya, hukum yang akan berbicara nanti di pengadilan, bisa adil dan tahu siapa yang bersalah. Sekali lagi saya tegaskan, papa saya bukan pecundang.”
Kemarin, media massa bilang, papanya tersangka korupsi!***
http://horisononline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=117:sebuah-ruang-kosong&catid=4:cerpen&Itemid=5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar