Kamis, 28 Oktober 2010

Berpengetahuan, Itu Soalnya!


Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:42 WIB

Pengantar Redaksi:

Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia tanggal 22 Oktober 2010 menyelenggarakan diskusi panel bertema ”Indonesia Incorporated: Semangat Sumpah Pemuda 1928 dan Kemandirian B angsa” menampilkan pembicara Karen Agustiawan (Direktur Utara Pertamina), Putri Kuswisnu Wardani (PT Mustika Ratu), Yoos Lutfi (Koperasi Tanggung Renteng), Yudi Latif, dan Rocky Gerung, dipandu Sukardi Rinakit. Hasilnya dapat dibaca dalam tiga tulisan di halaman 6 dan 7 hari ini, yang dirangkum oleh wa r t awan ”Ko m p a s ” Salomo Simanungkalit serta Chris Panggabean dan Zuhairi Misrawi dari LMI.
***
Mari meneropong masa depan Indonesia mulai dari energi! Ketergantungan kita pada minyak bumi amat tinggi: 52 persen energi yang kita pakai saat ini bersumber pada minyak bumi, teratas di antara bahan lain. Sementara itu, menurut US Geological Survey Oil and Gas Journal (1995-2000), kurang dari lima tahun sejak saat ini perut pertiwi sudah tak lagi mengandung minyak bumi.
Bersama Amerika Serikat, Australia, Ekuador, Inggris, Kanada, Mesir, dan Norwegia, Indonesia tinggal menghitung hari. Cadangan minyak buminya akan habis. Kurang dari lima tahun! China dan India—dua dari 11 negara—masih 15 tahun lagi. Brasil, Meksiko, dan Rusia—tiga dari sembilan negara—lumayan lega bisa bernapas: 50 tahun lagi.
Yang pertama hendak dikaitkan dengan fakta ini adalah keterangan bahwa energi merupakan tangan kanan bagi politik. Semua orang tidak bisa hidup tanpa energi. Kita perlu sejumlah kalori agar mampu memikirkan politik, sanggup mengucapkan kebudayaan, dan bisa bertengkar secara intelektual. Di dalam filsafat politik, terpenuhi dulu energinya baru seseorang bisa jadi warga negara. Dengan kata lain, energi dan warga negara adalah satu kompatibilitas.
Fakta itu menghimpun kecemasan kita, bahkan membawa kita tidak pada optimisme sebab di saatnya minyak bumi sebagai salah satu sumber energi akan habis, akan punah di saat ketergantungan kita padanya paling tinggi, menyusul gas alam (29%), batu bara (15%), tenaga air (3%), dan geotermal (1%) seperti yang dicatat Pertamina. Pemakaian sumber energi terbarukan setakat ini masih nol persen.
Jika minyak bumi diproyeksikan akan habis dari perut pertiwi kurang dari lima tahun, pada kenyataannya nanti habis itu bisa lebih lekas. Pasalnya, proyeksi yang dilakukan oleh US Geological Survey Oil and Gas Journal (1995-2000) itu belum melibatkan beberapa variabel politik, misalnya minyak akan dirampok menjelang tahun 2014 untuk kepentingan politik, menyogok ”sarang ular” di Senayan. Variabel ini tidak boleh dihindarkan sebab kita hidup di dalam masyarakat yang hampa akan saling-percaya.
Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, dan Norwegia tentu tak akan cemas sebab sejarah mengajarkan bahwa zaman batu berakhir bukan karena batu habis, zaman perunggu berkesudahan bukan lantaran perunggu sirna, tetapi manusia dengan pengetahuannya mencari kemungkinan lain. Bangsa-bangsa yang disebut di atas berhasil sintas sebab pengetahuan dan kebudayaan terbukti selama ini telah berhasil mengurangi kebergantungan mereka kepada alam. Pada bangsa-bangsa yang sadar betapa penting kedudukan ilmu pengetahuan untuk menjadi bangsa yang sintas di atas bumi, minyak bumi habis adalah energi pendorong untuk menemukan kemungkinan akan energi alternatif.

Pohon keindonesiaan
Bila hendak tak cemas, apa dasar bagi Indonesia? Belajar dari bangsa-bangsa maju berkat pengetahuan, bangsa ini pada saat ini perlu merevitalisasi semangat pembentuk Indonesia. Perlu ditegaskan, eksistensi Indonesia tidak bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Keindonesiaan itu bersumber pada Sumpah Pemuda dan pohon keindonesiaan adalah pohon kesadaran pentingnya pengetahuan. Pada akar tunjangnya, keindonesiaan itu adalah pergerakan kaum muda, yang mulai digagas anak-anak STOVIA di awal abad ke-20.
Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia Volume 14 Tahun 1905, Abdul Rivai mendefinisikan kaum muda sebagai semua orang Hindia—muda atau tua—yang tak lagi berkeinginan mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya bersemangat mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu.
Istilah pemuda kemudian dikaitkan dengan pengetahuan. Pemuda Pelajar, Jong Java, Jong Sumatra, dan lain-lain bukan merujuk kepada sembarang pemuda, tetapi pemuda yang berilmu, pemuda terpelajar. Jenis pemuda macam inilah yang berikrar melahirkan apa yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda dan bisa dicek: peserta Sumpah Pemuda adalah kaum muda terpelajar dengan kualitas keilmuan.
Sedini awal dasawarsa pertama abad ke-20, ruang publik modern yang telah muncul secara embrionik pada akhir abad ke-19 mulai terbentuk dan dikonsolidasikan. Dasawarsa pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum inteligensia Indonesia dalam bidang pers vernakular. Pada dasawarsa ini anggota kaum inteligensia Indonesia yang sebelumnya bekerja untuk industri pers asing mulai sanggup mendirikan pers yang sepenuhnya mereka miliki dan kelola sendiri. Para jurnalis-inteligensia yang paling terkemuka ketika itu adalah mantan pelajar sekolah dokter Jawa, STOVIA. Dua di antaranya adalah Abdul Rivai (lahir pada 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Jadi, model-asal ruang publik modern di sini tumbuh dari aktivitas yang dijalankan oleh inteligensia sebagai sebuah strata baru dalam masyarakat. Media, klub, dan organisasi sosial politik pada awal pertumbuhan ruang publik ini digagas, diorganisasikan, dan dijalankan kaum inteligensia.
Bersamaan dengan kemunculan ruang publik inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Mereka memasuki pendidikan sistem Eropa berkat kegigihan kaum guru memperjuangkan perluasan akses pendidikan bagi bumiputera. Dengan modal pengetahuannya, kaum muda menjebol kelembaman dengan ”menemukan” politik melalui proses mimikri dari subyek-subyek kolonial hingga merumuskan visi dan ideologi perjuangan.
Apa yang mereka perjuangkan? Kemerdekaan bangsa. Dalam alam pikiran keindonesiaan, kemerdekaan pun mengandung prasyarat pengetahuan. Kata merdeka berasal dari kata dalam bahasa Kawi/ Sanskerta maharddhika yang berarti ’rahib’ atau ’keramat, sangat bijaksana, sangat berilmu’. Dari segi ini jelaslah perjuangan kemerdekaan memantulkan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan dengan memperkuat modal pengetahuan, memperkuat kebijaksanaan.
Surutnya keilmuan
Demokrasi permusyawaratan meletakkan keutamaan diskusi dengan kekuatan argumentasi berlandaskan daya-daya konsensus (hikmat kebijaksanaan) di atas keputusan berdasarkan pemungutan suara. Dalam demokrasi permusyawaratan yang menjunjung tinggi nalar pengetahuan dan kebijaksanaan, sesengit apa pun konfrontasi gagasan yang berkembang, selalu tersedia mekanisme penyelesaian konflik secara damai, selalu terbuka untuk menghasilkan sintesis yang bermutu. Konflik merupakan sumber energi dari kehidupan intelektual dan konflik intelektual dibatasi oleh dirinya sendiri.
Ketika kekuatan argumentasi berhenti, yang berlangsung adalah dua kemungkinan yang destruktif: (1) toleransi negatif yang mengarah pada politik dagang sapi untuk kepentingan jangka pendek, (2) kekuatan logika akan diganti dengan logika kekuatan yang menutup proyek demokrasi dengan anarkisme jalanan. Di sinilah titik genting perkembangan demokrasi di Indonesia: gelombang pasang kebebasan demokratis beriringan dengan gelombang surutnya modal pengetahuan.
Surutnya modal pengetahuan juga merupakan kehilangan terbesar bangsa Indonesia ketika dunia perekonomian mengarah pada tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi manusia Indonesia saat ini mendapatkan ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman pertama datang dari konsep kebermanfaatan lembaga pendidikan yang bermuara pada pemujaan akan budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap kepentingan material dan praktis. Perguruan tinggi sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami peluluhan kegairahan intelektual, tergerus dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme.
Ancaman kedua berupa terpaan luas dan liat multimedia, khususnya televisi yang bias kelisanan dan kemaharajalelaan ketika literasi rapuh dan kesastraan terpinggirkan dan itu menguatkan budaya kedangkalan, melemahkan fungsi keberaksaraan.
Gelombang surut modal pengetahuan juga merupakan kehilangan terbesar ciri keindonesiaan justru ketika dunia perekonomian makin mengarah pada ekonomi kreatif yang mengandalkan modal kreatif-inovatif pengetahuan. Dalam The Rise of the Creative Class, teoretikus kajian urban Richard Florida menyatakan bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik, tanah dan tenaga manusia, melainkan bersandarkan pada intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas.
Jika bangsa ini ingin merevitalisasi elan vitalnya seperti yang pernah dihidupkan para pendiri bangsanya, tak ada jalan lain: modal pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran sosial secara kolektif. Terbukti bahwa kemajuan suatu bangsa tak bisa hanya bertumpu pada modal sumber daya alam. Yang terpenting justru modal sumber daya insani. Kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/04425570/berpengetahuan.itu.soalnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar