Kamis, 28 Oktober 2010

Terobosan Budaya dan Kemandirian Energi

Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:43 WIB
Jika budaya adalah rajutan kepompong yang melahirkan kupu-kupu, banyak dari kita yang tetap jadi ulat, gagal bermetamorfosis menjadi kupu-kupu karena budaya tak mendukung. Manusia dan budaya adalah dua entitas yang dapat saling memengaruhi.

Masyarakat yang hidup dengan warisan budaya ratusan tahun dapat berubah karena ada individu-individu yang membuat terobosan, inovasi, dan menginterpretasi ulang hal-hal yang dianggap tabu dan berisiko. Tanpa mereka, tidak akan ada kemajuan peradaban.
Para pionir itu mengandalkan pengetahuan (akal) yang digerakkan motivasi etis. Salah satu fungsi pengetahuan adalah melakukan prediksi sehingga dapat dicari cara untuk menghindar dari hal yang tidak diinginkan atau mencapai hal yang diharapkan.
Dalam hal antisipasi, bangsa ini sering mengalami kegagalan. Ruang budaya kita lebih berorientasi masa kini yang cenderung bersifat eksploitatif. Padahal, tindakan eksploitatif mengabaikan nilai etis.
Dua budaya
Kita terimpit oleh dua lempeng budaya. Pertama, modernitas dari Barat yang menghasilkan kebiasaan instan, melemahkan kemampuan kreasi, menciptakan kecepatan yang meninggalkan kedalaman, dan merayakan artifisial sehingga konsumtivisme dapat pijakan.
Kedua, budaya Timur yang tidak egaliter meninggalkan kultur upeti, bertransformasi menjadi sikap asal bapak senang dan penghormatan kepada mereka yang berharta dan berkuasa. Kedua ekses negatif itulah yang terus muncul di ruang budaya kita.
Pertengahan tahun 1970-an, Indonesia menikmati nilai ekonomi yang luar biasa dari produksi minyak bumi. Kita menjadi pengekspor minyak dan negara mendapat masukan signifikan dari sektor migas. Para petinggi turut berlumur duit minyak.
Gedung-gedung baru di Jakarta hampir semua dimiliki Pertamina, perusahaan negara yang berkuasa penuh terhadap produksi dan distribusi minyak. Maka bangsa ini pun terbuai kisah negeri yang kaya cadangan minyak bumi. Saat itu tidak diceritakan bahwa sumber energi fosil itu bersifat terbatas dan tidak dapat dibarui.
Lancung sudah, narasi menggerakkan perilaku. Dengan harga minyak yang murah, terjadi konsumsi energi yang tanpa batas yang sayangnya tidak untuk produksi sehingga energi terbuang percuma. Banyak sektor kemudian terjerat pada kebutuhan minyak bumi: transportasi, industri dan rumah tangga, juga bahan- bahan dasar sintetis menggunakan olahan minyak bumi.
Sebagai pengekspor minyak, Indonesia tergabung dalam OPEC. Mimpi buruk bagi setiap negara anggota OPEC adalah peak oil, titik puncak kemampuan produksi minyak suatu negara. Ini berarti, selanjutnya akan menurun grafik produksinya.
Titik balik bagi Indonesia terjadi tahun 2004. Angka konsumsi minyak, yang memenuhi 50 persen kebutuhan energi dalam negeri, lebih besar jumlahnya daripada angka produksi. Indonesia pun keluar dari OPEC dan menjadi importir minyak.
Saat harga minyak melampaui 100 dollar AS tahun 2008, banyak pabrik berhenti berproduksi, pasokan listrik menurun, dan subsidi semakin memberatkan anggaran negara. Oleh karena itu, kenaikan harga minyak berdampak ekonomi paling berat pada lapisan masyarakat terbawah.
Keamanan energi
Oleh sebab itu, membicarakan minyak berarti masuk ke wilayah geopolitik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa invasi militer atau konflik di wilayah Timur Tengah, Amerika Latin, atau Afrika dilatarbelakangi oleh kepentingan minyak. Minyak dan gas merupakan cadangan strategis, yang vital bagi ketahanan ekonomi dan energi. Semua negara yang memiliki konsep keamanan nasional pasti menempatkan keamanan energi (energy security) sebagai poin utama.
Energi diperlukan untuk menggerakkan negara, mulai dari rumah tangga, industri, transportasi, hingga alat pertahanan. Kepentingan nasional bukanlah perkara tabu di era globalisasi ini. Sejumlah negara, seperti China, Amerika Serikat, bahkan Malaysia, lebih banyak mengonsumsi minyak dari ladang-ladang minyak di luar negeri. Mereka menahan diri untuk tidak mengeksploitasi cadangan dalam negerinya. Save the best for last.
Mungkin urusan petrodollar adalah kegiatan manusia yang paling sarat kepentingan. Ia menggurita ke sektor industri, lembaga keuangan, kepala negara, juga kursi perwakilan rakyat. Pada 2001, DPR pernah mengeluarkan Undang-Undang Migas yang mencantumkan klausul bahwa hasil produksi migas dari bumi Indonesia hanya boleh 25 persen untuk kepentingan dalam negeri. Undang-undang tersebut kemudian direvisi lewat keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap menjadi misteri mengapa ada pasal yang sama sekali tidak berpihak pada kepentingan dalam negeri.
Demi ketahanan ekonomi, perusahaan minyak nasional seharusnya dibentuk berdasarkan prinsip: hak atas sumber-sumber minyak dan mineral, hak-hak ekonomis (hak mengelola, memproduksi, dan mengalokasikan hasil produksi), memperoleh imbal balik yang lebih besar dari produksi minyak dan gas.
Sesuatu yang terbatas pasti akan habis jika dikonsumsi terus- menerus dan ketergantungan akan menciptakan perhambaan.
Cadangan tipis
Saat ini cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 10-15 tahun ke depan. Kelangkaan akan minyak dan gas bumi adalah keniscayaan. Mereka yang tidak memiliki sumber energi akan hidup bergantung kepada negara lain. Saat itu terjadi, tidak perlu lagi bicara kedaulatan negara.
Jika demikian proyeksinya, seluruh pengetahuan harus dimaksimalkan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Tepat kiranya langkah strategis Pertamina yang mengincar ladang-ladang minyak di luar negeri. Termasuk pula percepatan pembangunan pengolahan minyak bumi menjadi minyak siap pakai (oil refinery) di dalam negeri. Optimismenya, pada 2015 Indonesia akan berhenti menjadi importir minyak.
Peluang inovasi dan uji coba sumber energi yang baru juga harus dimulai. Sebab, akan terjadi pergeseran konsumsi energi di masa depan. Penelitian dan pengembangan akan sumber energi yang baru harus mendapat dukungan karena akan menyelamatkan ketahanan nasional di masa depan.
Kebutuhan akan sumber energi adalah keniscayaan lain dari peradaban manusia. Akan tetapi, sukar membayangkan visi kepentingan nasional dari elite politik dan pejabat publik yang terimpit dari dua lempeng budaya di atas, seperti yang semakin sering kita lihat dan dengar. Dalam hal ini, tampaknya perlu generasi baru yang imajinasinya melewati horizon budaya saat ini, seperti semangat Sumpah Pemuda yang melihat jauh ke depan, melampaui batas kesukuan mereka.
Salah seorang pembicara menyatakan: zaman batu hilang bukan karena batunya habis, zaman perunggu lenyap bukan karena perunggunya tiada, demikian pula halnya era minyak bumi. Ia akan berlalu karena daya kreasi generasi sekarang mampu menciptakan sumber energi lain. Sumber energi yang lebih baik dan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/04432830/terobosan.budaya.dan.kemandirian.energi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar