Senin, 31 Agustus 2009

Fi Zhilal al-Qur'an Di Bawah Naungan Alquran

Minggu, 30 Agustus 2009 pukul 01:35:00

Fi Zhilal al-Qur'an Di Bawah Naungan Alquran


Kitab ini ditulis Sayyid Quthb ketika berada di balik jeruji besi. Ia menjadikan kitab ini sebagai sarana dakwah.

Pasca-Revolusi Mesir tahun 1952, hubungan antara Dubbath al-Ahrar (serdadu pembebasan) pimpinan Jamal Abdul Nasir dan organisasi Ikhwan al-Muslimin terus memanas. Ikhwan al-Muslimin dicurigai pihak penguasa akan mendirikan negara Islam. Bahkan, tokoh-tokohnya dituduh bersekongkol hendak menggulingkan Jamal dari kursi kepresidenan.Perselisihan itu mengantarkan tokoh-tokoh organisasi Ikhwan al-Muslimin ke bilik penjara. Di antara mereka adalah Hasan Hudaybi, Abdul Qadir Awdah, Syekh Muhammad Farghali, dan Sayyid Quthb.

Dalam artikelnya berjudul A Critical Reading of Sayyid Quthb's Qur'anic Exegesis , Umej Bhatia, peneliti di Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Harvard, AS, mengatakan, dalam kondisi sosial dan politik itulah karya-karya Sayyid Quthb tentang pergerakan melawan penguasa tiran harus dipahami. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran) merepresentasikan gagasan-gagasan pergerakan tersebut.

Umej Bhatia menilai Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an menyajikan cara baru menafsirkan Alquran yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid Quthb memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan Alquran sebagai pijakan utama melakukan revolusi politik dan sosial.

Menurut Umej, pemikiran Sayyid Quthb sangat dipengaruhi oleh dua ulama agung sebelumnya, yakni Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridla. Tafsir Al-Manar karya kedua ulama tersebut, lebih memfokuskan penafsiran Alquran dalam konteks sosial masyarakat, ketimbang mengupas makna kata per kata.''Akan tetapi, Sayyid Quthb selangkah lebih maju daripada kedua pendahulunya itu. Ia berhasil mengolaborasikan teori-teori sosial Barat ke dalam pesan-pesan agung Alquran,'' kata Umej.

Penilaian serupa juga disampaikan oleh Dr Ahzami Samiun Jazuli, pakar tafsir Alquran dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Ahzami, tafsir yang ditulis oleh Sayyid Quthb ini merupakan tafsir haraki (tafsir pergerakan) atau tafsir dakwah. Sang ulama tidak menggunakan manhaj (metode) penulisan tafsir seperti ulama-ulama terdahulu, misalnya tafsir tahlili (tafsir analitis) yang memulai penafsiran dari penjelasan kata di dalam ayat Alquran.

''Sayyid Quthb tidak menjelaskan panjang lebar makna kata di dalam suatu ayat. Tidak pula menerangkan secara detail aspek-aspek fiqhiyyah (hukum-hukum fikih), karena pembahasan semacam itu sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab tafsir klasik,'' jelas Ahzami.

Alquran bagi Sayyid Quthb, lanjut Ahzami, merupakan kitab pedoman hidup yang komprehensif ke arah kehidupan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, ia menamai tafsirnya itu Fi Zhilal al-Qur'an , supaya umat Islam benar-benar berada dalam tuntunan dan naungan Alquran.

Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an merupakan hasil dari dinamika akademis dan dinamika politik dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual yang mendekati Alquran dari perspektif ilmu pengetahuan. Tetapi, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan, kata Ahzami, kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan dakwah.

Dr Muchlis Hanafi, ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, melihat fenomena Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, ada beberapa aspek yang menonjol di dalam karya Sayyid Quthb itu. Di antaranya, al-zauq al-adabi (ketinggian nilai sastra). Sayyid Quthb, menurut Muchlis, menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dengan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga, punya kekuatan magnetik dan pengaruh yang besar terhadap pembacanya.

Kelebihan lainnya, menurut Muchlis, adalah al-wihdah al-maudhu'iyyah (kesatuan tema). ''Setiap surat yang ia tafsirkan diawali dengan mukadimah. Dan, mukadimah itu menjelaskan secara komprehensif isi surah sehingga tampak benang merah dan kesatuan tema sebuah surat,'' papar Muchlis.

Metode ini bukanlah hal baru dalam tradisi penafsiran Alquran, tetapi Sayyid Quthb berhasil menggunakannya dengan sangat baik. Saat ini dapat disaksikan sebuah tafsir kontemporer yang bernilai tinggi. Namun demikian, tafsir ini tidak serta-merta lolos dari kritik para pegiat tafsir.
Dari segi metodologi, banyak yang menilai Sayyid Quthb melanggar tata aturan penafsiran Alquran yang dianut oleh para ulama salaf. Ia terlalu banyak menggunakan akal daripada merujuk pada Alquran, hadis Nabi, dan tradisi para sahabat.

Fenomena perbedaan pendapat dalam penafsiran, menurut Ahzami, adalah hal yang lumrah. ''Kalau ada yang mengatakan Sayyid Quthb banyak berpedoman pada akal, bukan berarti ia tidak menggunakan dalil dari Alquran dan hadis sama sekali. Pun, demikian dengan tafsir ulama klasik. Meskipun tafsir mereka masuk dalam kategori tafsir bil ma'tsur (tafsir dengan pedoman Alquran dan sunah), mereka juga menuangkan pendapat-pendapat pribadinya sesuai dengan pemahaman akalnya,'' jelas Ahzami.

Ide-ide revolusioner

Umej Bhatia berpendapat bahwa penjara dan penyiksaan berperan penting dalam membentuk karakter pemikiran Sayyid Quthb. Di samping mengalami penyiksaan, ia juga menyaksikan penderitaan rekan-rekan seperjuangannya di tempat yang sama. Umej Bhatia memakai istilah prison perspective (perspektif penjara) bagi perspektif Sayyid Quthb dalam penafsiran Alquran. Yaitu, sebuah cara pandang korban keganasan rezim otoriter terhadap realitas sosial politik di masanya.

Kepahitan pengalaman politik Sayyid Quthb, mendorongnya menyerukan konsep Hakimiyatullah (kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana diusung oleh Abu al-'Ala al-Maududi di Pakistan. Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu sesuai dengan doktrin Alquran.

Untuk itu, menurut Sayyid Quthb, perlu ada gerakan At-Thali'ah al-Islamiyah , yaitu menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah; mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide pergerakan dan perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah tafsirnya pada surat al-An'am.

Ia memaparkan konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam; menyeru kepada para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; menancapkan akidah agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang ditetapkan Allah SWT. ''Orang-orang yang tidak memiliki akidah adalah pribadi-pribadi jahiliah. Kejahiliahan mereka memenuhi akal, pikiran, dan hati,'' kata Sayyid Quthb menegaskan. rid



Menawarkan Pemecahan Problem Umat


Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ditulis oleh Sayyid Quthb selama kurang lebih 15 tahun, yaitu sejak tahun 1950-an hingga 1960-an. Pada mulanya, ia mulai menulis tafsirnya itu atas permintaan rekannya yang bernama Said Ramadhan, redaktur majalah Al-Muslimun yang terbit di Kairo dan Damaskus.

Said Ramadhan meminta Sayyid Quthb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran Alquran yang terbit satu kali dalam sebulan. Sang mufasir menyambut baik permintaan itu dan memberi nama rubrik tersebut Fi Zhilal al-Qur'an . Tulisan pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fatihah, kemudian surat al-Baqarah.

Namun, pemuatan tulisan di majalah Al-Muslimun itu tidak berlangsung lama. Sayyid Quthb menghentikan kontrak kerja sama dengan majalah itu, karena memutuskan untuk menyusun satu kitab tafsir sendiri yang juga diberi nama Fi Zhilal al-Qur'an .

Karyanya lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bab al-Halabi. Penerbitan pertamanya tidak langsung berjumlah 30 juz, namun setiap satu juz. Setiap juznya terbit dalam dua bulan sekali. Proses penyempurnaan penafsiran selanjutnya ia selesaikan di dalam penjara.

Edisi pertama dalam bentuk 30 juz diterbitkan pada tahun 1979. Sejak saat itu, persebarannya meluas hingga mencapai hampir seluruh negara Muslim di dunia. Umej Bhatia mencatat kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Melayu.

Di negara-negara Arab, volume penjualan tafsir Fi Zhilal al-Qur'an bak kacang goreng. Selama bertahun-tahun, kitab tersebut menjadi best seller . Menurut cerita Syekh Abdullah Azzam, pada pertengahan 1980-an jika di Libanon ada percetakan mulai bangkrut, pemiliknya mencetak Fi Zhilal al-Qur'an dan juga buku-buku Sayyid Quthb yang lain, percetakan tersebut dapat terhindar dari kebangkrutan.

Gaya bahasa dan kualitas penafsiran Sayyid Quthb merupakan daya pikat utama bagi para pembaca untuk menyelami samudra ilmu Alquran. Di dalamnya, tersaji konsep-konsep Islam modern tentang jihad atau perjuangan, masyarakat jahiliah dan Islam, serta ummah .

Konsep-konsep tersebut menumbuhkan kesadaran baru akan gerakan sosial-politik berdasarkan doktrin Islam. Tak ayal, banyak peneliti Barat yang melabeli Sayyid Quthb sebagai pengusung ide radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, atau atribut-atribut yang menjurus pada nuansa kekerasan lainnya.

Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an sesungguhnya mengajak pembaca menyelami ilmu dan hikmah di dalam Alquran. Nilai-nilai luhur Alquran, hadis nabawi, dan tradisi sahabat dijelaskan dengan bahasa beraroma sastra yang indah, kemudian dikaitkan dengan situasi dan kondisi saat ini.

Tentang konsep umat, Sayyid Quthb mengutarakan bahwa pembentukan pribadi umat harus berdasarkan keimanan yang kokoh, optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah, dan rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang diutus Allah di muka bumi ini. Segala permasalahan umat, menurutnya, harus dicarikan solusinya dari kitab Allah SWT dan sunah Nabi.

''Keimanan berimplikasi pada sikap pasrah dan menyerah kepada hukum-hukum Allah. Jiwa-jiwa yang tulus akan menerima segala sistem hukum dan perundangan Islam secara sukarela. Tidak terdetik satu penentangan pun sejak aturan tersebut dikeluarkan. Juga, tak ada sedikit pun keengganan untuk melaksanakan ketika hukum itu diterima,'' kata Sayyid Quthb dalam mukadimah surat al-An'Am.

Secara umum, tema yang ditekankan dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an meliputi gagasan tentang hubungan antarsesama manusia. Allah SWT, menurutnya, menghendaki sebuah bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan dan cinta kasih. Konsep ini menghindarkan terbentuknya kekuasaan tiran yang menebarkan kebencian, kebodohan, dan kekafiran. rid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar