Minggu, 19 September 2010

CALAK EDU Melek Aksara

Senin, 20 September 2010 00:01 WIB

Melek aksara (literacy) adalah harapan semua orang agar bisa dihargai. Sebagai sebuah pemenuhan hasrat kemanusiaan, melek aksara sebanding dengan harapan setiap individu di muka bumi ini untuk ikut serta dalam meningkatkan partisipasi sosial. Jika partisipasi sosial meningkat, dominasi satu golongan terhadap golongan lainnya pasti akan berkurang, kekerasan menurun, dan kesejahteraan hidup manusia di dunia ini menjadi lebih mungkin untuk diwujudkan. Dalam bentuk yang paling formal, melek aksara adalah tujuan dan agenda paling mendasar dari proses pendidikan.
Begitu pentingnya melek aksara ini, Los Angeles Times (2009) pernah memuat laporan khusus tentang ini dengan menyebut melek aksara sebagai sebuah keterampilan yang dapat mendorong tercapainya cita-cita negara dalam berdemokrasi. "No skill is more crucial to the future of a child, or to a democratic and prosperous society, than literacy." Melek aksara dengan demikian merupakan tumpuan masa depan anak-anak sekaligus tumpuan kehidupan demokrasi di seluruh dunia. Tak ada satu pun negara di dunia ini, baik penganut sistem demokrasi terbuka maupun tertutup, yang tak menyebutkan soal melek aksara sebagai isu politik dan kemanusiaan sekaligus.
Abdul Qadeer Khan, ilmuwan dan ahli nuklir kontroversial asal Pakistan bahkan banyak menginisiasi program-program buta aksara dalam kampanye program-program nuklirnya. Baginya program nuklir dapat menjelma menjadi lapangan pekerjaan masif yang dapat menyejahterakan rakyat banyak. Dengan meyakini hadis Nabi bahwa kemiskinan merupakan pangkal kekafiran dan kebodohan, Khan percaya bahwa akar kemiskinan, sikap tidak toleran, kebencian, dan kekerasan adalah kebodohan. "Hatred, intolerance, poor hygienic conditions and violence all have roots in illiteracy," tegas Khan. Karena itu, tugas setiap orang, pemerintah, dan masyarakat untuk mengatasi kebodohan.
Jika melek aksara identik dengan kecerdasan, sedangkan buta aksara (illiteracy) adalah kebodohan, dalam dunia pendidikan kedua terminologi ini harus serius dikaji, baik secara budaya maupun sosial. Sebab jika kondisi ini hanya dimaknai dengan ketidakmampuan baca-tulis semata, idiom tentang ragam kecerdasan (multiple intelligence) ala Gardner (2006) pastilah tak mendapat rujukan. Karena itu ada baiknya juga jika terminologi buta aksara juga diimbangi dengan melihat sisi lain dari ragam bakat dan minat masyarakat, terutama dalam berkomunikasi antarsesama mereka.
Duta UNESCO di Indonesia, Arief Rahman Hakim, pernah mengusulkan agar pemerintah Indonesia memiliki lima strategi untuk mempercepat pengentasan masyarakat dari buta aksara hingga 5% dari total penduduk pada 2015. Pertama, pemetaan jumlah penyandang buta aksara secara tepat. Kedua, perluasan informasi dan sosialisasi pentingnya melek aksara. Ketiga, pemberdayaan sekolah formal dan nonformal bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Keempat, program pendidikan membaca secara inovatif melalui kegiatan di luar sekolah. Kemudian, kelima, menjalin kemitraan dengan UNESCO.
Yang menarik dari tawaran strategi yang tak pernah muncul ke permukaan secara publik adalah pemetaan. Selain itu, redefinisi kata buta aksara juga harus dilakukan dengan benar karena menyangkut kondisi sosial-budaya masyrakat Indonesia yang tinggal lebih banyak di perdesaan. Pentingnya pemetaan dan redefinisi buta aksara akan membuat program pemerintah lebih fokus dalam membuat dan menjalankan program penurunan buta aksara.
Salah satu contoh menarik Edu temukan dalam diri Halimah, seorang wanita 77 tahun yang terbilang sukses membesarkan dan mendidik anak-anaknya sebagai single parent sejak tahun 1965. Halimah tak bisa baca-tulis huruf Latin, tapi bisa membaca huruf Arab alias mengaji. Keterampilan berdagangnya juga sangat bagus. Jika definisi buta aksara adalah semata kemampuan baca-tulis Latin, Halimah termasuk dalam kategori buta aksara. Halimah tak sengsara atau miskin. Dengan kepandaiannya mengaji dan berdagang, dia menjadi pengusaha yang cukup sukses di kampungnya.
Ada banyak orang serupa Halimah yang memiliki kemampuan membaca huruf Arab, huruf China, huruf Sanskerta, dan Pegon, tapi tak bisa menulis. Mereka mungkin eksis dalam dunianya seperti menjadi petani, pedagang, dan sebagainya. Pentingnya dilakukan redefinisi dan pemetaan buta aksara secara komprehensif adalah sebuah keniscayaan, agar angka-angka buta aksara tidak menjadi komoditas politik para pejabat negara yang hanya peduli dengan jumlah program agar anggaran menjadi berlipat ganda. Melek dan buta aksara adalah persoalan kemanusiaan sepanjang masa, angka dan logika semata tak akan mampu mencerna sepenuhnya.

Ahmad Baedowi
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/20/169494/68/11/Melek-Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar