Minggu, 19 September 2010

"Penyakit Belanda"?

Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB
Muhammad Chatib Basri
Tingginya pertumbuhan ekspor komoditas kita di satu sisi dan terpuruknya industri manufaktur di sisi lain mengingatkan saya akan obrolan rutin dengan Max Corden sepuluh tahun yang lalu di Cellar Café University House, Australian National University, di Canberra.

Waktu itu saya mahasiswa pemula, sedangkan Corden adalah nama besar dalam teori ekonomi. Corden—bersama Peter Neary—adalah ekonom yang membangun model standar untuk analisis Penyakit Belanda atau Dutch Disease.
Saya ingat: dengan sabar tetapi bersemangat ia menjelaskan soal Dutch Disease dan relevansinya terhadap Indonesia. Argumen Corden sederhana: kenaikan harga komoditas atau resources boom dapat mengurangi daya saing sektor industri sehingga terjadilah deindustrialisasi. Prosesnya: kenaikan harga komoditas primer (seperti tambang dan komoditas) akan mendorong produksi di sektor tersebut. Kenaikan produksi akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Akibatnya, tenaga kerja harus diambil dari sektor lain, seperti manufaktur. Implikasinya: tingkat upah pekerja di sektor manufaktur meningkat—karena sebagian pekerjanya berpindah ke sektor tambang dan komoditas.
Akibatnya, produksi manufaktur—terutama padat karya—akan menurun. Itu yang disebut sebagai resource movement effect. Selain itu, kenaikan harga komoditas juga akan meningkatkan pendapatan orang sehingga pengeluaran untuk barang-barang nontradable (barang yang hanya bisa dikonsumsi di tempat ia dihasilkan) juga meningkat. Peningkatan harga barang nontradable ini akan mendorong apresiasi riil dari nilai tukar. Akibatnya, industri manufaktur menjadi tak kompetitif. Ini yang disebut spending effect.
Pendeknya, Dutch Disease ditandai oleh: (i) apresiasi nilai tukar riil; (ii) melemahnya ekspor manufaktur; (iii) naiknya tingkat upah. Karakteristik itu sepintas cocok dengan apa yang kita alami saat ini, mirip seperti yang disampaikan Corden kepada saya lebih dari sepuluh tahun lalu.
Asal istilah ”Penyakit Belanda” atau Dutch Disease adalah krisis ekonomi di Belanda pada tahun 1960-an menyusul ditemukannya ladang gas alam di Laut Utara pada tahun 1959. Istilah itu pertama kali diperkenalkan oleh majalah The Economist tahun 1977 untuk menggambarkan kemerosotan sektor manufaktur di Belanda.
Dalam ilmu ekonomi, Dutch Disease adalah suatu konsep yang menjelaskan kaitan nyata antara peningkatan dalam eksploitasi sumber-sumber daya alam dan penurunan dalam sektor manufaktur. Teorinya, peningkatan pendapatan dari sumber daya alam (atau masuknya bantuan asing) akan mendeindustrialisasi ekonomi suatu bangsa, yaitu dengan meningkatkan nilai tukar uang sehingga membuat sektor manufaktur kurang kompetitif dan layanan publik terjerat dengan kepentingan bisnis: kriminalitas perusahaan milik negara.
Terlalu pagi
Apakah Indonesia terkena Dutch Disease? Mungkin terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun, laporan IMF tentang Indonesia akhir Agustus lalu mengatakan: tidak ada bukti Indonesia mengidap Dutch Disease. Alasannya: industri manufaktur yang bermasalah hanyalah industri padat karya, sedangkan yang padat modal masih relatif baik kinerjanya. Selain itu, kenaikan upah di sektor manufaktur juga baru terjadi akhir-akhir ini dan bukan sejak harga komoditas meningkat.
Saya tak sepenuhnya sepakat dengan argumen ini. Kita bisa melihat bahwa apresiasi riil memang terjadi. Kita juga melihat industri padat karya terus memburuk kinerjanya. Kita juga melihat bahwa pertumbuhan tenaga kerja dan tingkat upah di sektor pertambangan meningkat tajam sejak tahun 2003. Studi Papanek, Basri, dan Schydlowsky (2010) juga menunjukkan bahwa upah industri (dalam dollar AS) naik lebih dari dua kali lipat dalam periode 1998-2009.
Apresiasi riil telah mengakibatkan aktivitas ekonomi bergeser dari sektor tradable menuju nontradable. Lihat saja dalam komposisi PDB, sumber pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2003 didominasi oleh sektor nontradable. Investasi dan sumber daya bergeser dari industri pengolahan yang padat karya menuju ke sektor jasa atau perdagangan atau nontradable serta sektor tambang dan komoditas. Semua karakteristik ini mirip dengan gejala Dutch Disease.
Mengapa industri padat karya terpuruk dan orang cenderung menjadi pedagang atau bergerak di sektor primer? Penjelasannya sederhana: peran Indonesia dalam industri padat karya di pasar internasional amat kecil. Kita tak bisa mendikte harga (price taker). Karena itu, jika biaya produksi meningkat—misalnya karena menguatnya nilai tukar rupiah, meningkatnya upah (dalam dollar), mahalnya biaya logistik, peraturan ketenagakerjaan, ekonomi biaya tinggi—produsen tidak bisa menaikkan harga atau membebankan biaya itu kepada konsumen.
Mengapa? Jika menaikkan harga, produk Indonesia tak lagi kompetitif. Pasar kita akan diambil oleh China, Vietnam, atau Banglades. Pengusaha terjepit: di satu sisi ia tak dapat menaikkan harga, di sisi lain biaya produksi meningkat. Apa yang bisa dilakukan? Menurunkan margin keuntungan. Siapa yang mau berusaha jika keuntungannya terus tergerus? Maka, tak ada insentif melakukan investasi di sektor industri padat karya. Akibatnya, industri padat karya terus terpuruk. Terjadilah deindustrialisasi.
Sebaliknya, di sektor komoditas primer, seperti batu bara atau kelapa sawit, peran Indonesia cukup penting di pasar internasional. Kita mampu memengaruhi harga internasional. Implikasinya: kenaikan biaya produksi dapat dibebankan kepada konsumen di luar negeri tanpa perlu khawatir kehilangan pasar. Karena itu, margin keuntungan tetap dapat dipertahankan. Hal yang sama terjadi pada sektor nontradable. Di sini tak ada kompetisi dari impor. Pengusaha dapat membebankan kenaikan biaya produksinya kepada konsumen sehingga margin keuntungannya terjaga. Karena itu, dalam situasi seperti ini, pengusaha lebih memilih untuk menjadi pedagang dan bukan industrialis. Lebih baik pindah ke sektor nontradable atau sektor primer. Terjangkit Dutch Disease- kah kita?
Menjaga daya saing
Lepas dari apakah Indonesia menderita Dutch Disease atau tidak, Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan bahwa apresiasi riil nilai tukar rupiah yang terus terjadi ini cenderung mendorong ekspor kita semakin terkonsentrasi pada produk primer, sedangkan industri manufaktur akan semakin terpuruk.
Jika industri padat karya tak dapat menyerap tenaga kerja, pekerja akan terus tertinggal di sektor pertanian, akibatnya produktivitas pertanian akan semakin menurun. Produktivitas yang menurun akan mendorong tingkat upah riil menjadi lebih rendah.
Implikasinya: daya beli akan memburuk. Ini tak bisa dibiarkan. Tak ada pilihan lain kecuali membuat industri padat karya bergerak. Untuk menghindari Dutch Disease, dibutuhkan dua hal: membuat nilai tukar menjadi kompetitif dan kedua memperbaiki pasar tenaga kerja. Tentu kita tidak bisa membuat nilai tukar lebih kompetitif dengan mendepresiasi nilai tukar rupiah. Yang bisa dilakukan adalah menjaga agar inflasi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing kita. Di sini saya melihat bahwa kehati-hatian Bank Indonesia dalam menjaga inflasi menjadi amat penting.
Kemampuan pemerintah menjaga daya saing juga amat penting. Implikasinya: revisi UU Ketenagakerjaan, pembangunan jalan dan pelabuhan, serta pembebasan lahan menjadi keharusan dan benar benar diimplementasikan. Beranikah dan sanggupkah pemerintah melakukan ini?
Saya jadi ingat risalah ekonom Stephen Magee yang mengatakan: yang paling buruk dan membingungkan adalah kebijakan yang efisien secara politik, tetapi tak efisien secara ekonomi. Ungkapan Magee seperti menyindir kita.
Muhammad Chatib Basri Pendiri CReco Research Institute
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/13/04412357/penyakit.belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar