Rabu, 29 September 2010

Lahirnya Generasi Baru Pembalik Krisis

Selasa, 28 September 2010 | 03:41 WIB
Catatan untuk Alexander Supelli
Hendro Sangkoyo
Tulisan ini catatan pribadi menyambut tulisan Alexander Supelli (Kompas, 19/6) dengan judul ”Hilangnya Sebuah Generasi”.

Tulisan itu menuturkan keprihatinan tentang ketidakpedulian kita di Indonesia untuk menghubungkan corak kehidupan sosial kepulauan lewat penguasaan perhubungan udara. Menurut dia, kemampuan produktif industri penerbangan Indonesia dapat menjadi ukuran seberapa jauh kita mengerti dan menyambut kebutuhan vital itu.
Tanpa terjebak keangkuhan profesi keteknikan atau kepercayaan berlebihan pada kedigdayaan teknologi, Alex Supelli mengajukan kasus terputusnya ikhtiar belajar bangsa Indonesia menguasai kecakapan produksi pesawat terbang, dalam konteks bangkit dan runtuhnya industri pesawat terbang Nusantara 15 tahun silam. Tidak sulit menunjukkan bahwa karut-marut transportasi publik tersebut juga terjadi di laut dan di ruang yang paling kita kenal: daratan.
 Seperti tersirat di artikel tersebut, ironi yang ia tunjukkan—yaitu tumpulnya penglihatan tentang pentingnya mengerti, menguasai dan mengawaki sistem transportasi udara sipil kita sendiri—menohok banyak titik dalam dinamika krisis sosial-ekologis di Indonesia.
Catatan harian media-publik selama bertahun-tahun berkelimpahan dengan bukti tentang ketidakmampuan kita mengurus keselamatan dan keamanan manusia, apalagi kelangsungan rerantai proses alami di kepulauan dan perairan Indonesia.
Ingkari warga
Di sepanjang masa kembang ekonomik sejak akhir 1960-an, satuan wilayah pengurusan sungai rusak parah satu demi satu. Penguatan pengurusan penggunaan ruang daratan dan perairan telah menghasilkan rezim penataan ruang hidup yang kita bolehkan mengusir warganya, merusak sistem-sistem ekologis penopangnya, serta melepaskan kendali atas tanah dan wilayah yang vital bagi reproduksi sosial-ekologis pada skala pulau, termasuk sistem-sistem transportasinya.
Di pulau-pulau penghasil pangan utama, terus berlangsung pengerutan syarat kelayakan kemanusiaan dari nafkah pertanian pangan, pengerutan luas wilayah, serta ketersediaan air produksi tani. Percepatan pengurasan sumber-sumber energi primer fosil serta percepatan konsumsi energi berlangsung di luar rasionalitas publik untuk keadilan pemanfaatan tenaga dan keamanan energi jangka panjang.
Barangkali puncak dari ironi itu adalah fantasi bahwa masa depan terletak pada pembesaran ekonomi kelautan kita. Namun, dari 137 teluk dan 47 selat penting, wilayah vital bagi warga Indonesia yang hidup dari sabuk perairan pesisir dan pengurusan jalur perhubungan laut tidak banyak yang kita urus dengan baik. Bahkan, pembongkaran bahan mentah industrial maju ke garis depan terakhir: perairan pesisir dan laut dalam.
Ekonomika hidup bersama
”Ini bukan soal nasionalisme, bukan juga soal profit versus pengembangan SDM, tetapi mengatur masa depan hidup bersama. Itulah makna luas oeconomicus”.
Kritik di penutup tulisannya itu ia tujukan bukan saja pada profesi dan industri penerbangan yang digelutinya dalam konteks politik kebangsaan, tetapi pada soal yang lebih mendasar. Makna luas ekonomika tengah bangkit menjadi gugatan generasi baru yang peduli arah perluasan ekonomik pada skala bumi sampai kampung serta berbagai tawaran pemecahan semu dari krisis.
Bermula terutama di sekolah- sekolah ekonomi utama di Perancis sepuluh tahun silam, kritik mahasiswa terhadap ”ekonomika-autistik” itu menolak reproduksi sistem bertutur dominan tentang rerantai ekonomik. Ini termasuk puja-puji mengenai pertumbuhan nilai uang dari perluasan produksi-konsumsi dan nilai uang dari pendapatan per kepala, lewat pemodelan matematika yang tidak mengacu pada kenyataan, serta terus memperdalam krisis bagi kehidupan rakyat di tiap negeri.
Tulisan Alex menggugat ketidakteguhan kita untuk belajar mengurus kehidupan bersama, seperti kasus industri kendaraan udara, yang menyiratkan kerdilnya nyali kita merumuskan dan menyepakati syarat-syarat yang harus ditegakkan dan diadili di seluruh rerantai pengurusan publik dan pembesaran produksi-konsumsi bahan dan energi.
Awan hitam telah lama menggantung. Kita seperti dalam ketenangan sebelum badai datang. Dari mana kita mesti mulai merintis jalan menuju kehidupan cerah? Kalimat penutup di atas sekaligus mengajukan jalan keluar. Pembaruan harus dilakukan di lubuk krisis terdalam. Pemecahan akan datang dari pembaruan sikap pikir kita tentang konteks kemanusiaan dari rerantai produksi-konsumsi, bukan dari hiruk-pikuk mengingkari vitalitas solidaritas kemanusiaan.
Alex baru saja berangkat meninggalkan orang-orang terdekat dan yang hidupnya tersentuh olehnya. Dia meninggalkan sebuah kehidupan yang dia abdikan pada dunia penerbangan dengan cara mengesankan: lewat perjalanan penerbangan terakhirnya. Selamat terbang, Kawan.
Hendro Sangkoyo Pelajar di Sekolah Ekonomika Demokratik, sebuah jejaring riset antarnegeri untuk pembalikan krisis
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03414962/lahirnya.generasi.baru.pembalik.krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar