Rabu, 29 September 2010

Memilih Jaksa Agung

Selasa, 28 September 2010 | 03:43 WIB
Oce Madril
Siapa calon Jaksa Agung yang akan dipilih Presiden SBY, masih simpang siur.
Selama ini beredar beberapa nama, baik dari internal maupun eksternal kejaksaan. Banyak kalangan berharap Jaksa Agung kali ini berasal dari luar kejaksaan (nonkarier). Alasannya sederhana, kinerja Kejaksaan Agung diyakini berjalan lebih baik di bawah kepemimpinan sosok dari kalangan eksternal atau dari luar institusi kejaksaan.

Berdasarkan hukum, pengangkatan Jaksa Agung merupakan hak prerogatif Presiden. Dalam Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ditegaskan, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal ini sangat jelas menyatakan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden. Tak seperti jabatan lain, Panglima TNI, Kepala Polri, atau pimpinan KPK yang perlu persetujuan DPR, Jaksa Agung dapat langsung diangkat oleh Presiden bahkan tanpa persetujuan DPR sekalipun. Presiden pun dapat mengangkat calon, baik dari pejabat karier maupun nonkarier.
Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, jabatan Jaksa Agung didominasi kalangan luar kejaksaan. Pada masa Orde Baru, 1964-1990, Jaksa Agung selalu berasal dari kalangan militer. Baru pada 1990 kalangan internal kejaksaan mendapatkan giliran.
Pasca-Reformasi, dari tujuh Jaksa Agung sampai saat ini, lima merupakan pejabat nonkarier. Jika pada masa Orde Baru militer diberdayakan untuk memastikan loyalitas tunggal kepada Presiden, pasca-Reformasi kebutuhannya demi memastikan implementasi program reformasi institusional dan perbaikan kinerja penegakan hukum. Kebutuhan akan reformasi yang membuat pejabat nonkarier selalu mendapatkan tempat di Kejagung.
Karut-marut kejaksaan
Di setiap momen pergantian Jaksa Agung, selalu terjadi perdebatan terkait calon karier atau nonkarier. Munculnya desakan agar Presiden memilih calon nonkarier lebih banyak didasarkan pada kekecewaan publik terhadap kinerja Jaksa Agung karier. Contohnya, pergantian Jaksa Agung dari MA Rachman ke Abdul Rahman Saleh (2004). Saat itu, ada tuntutan kuat dari publik agar Presiden mengangkat Jaksa Agung dari luar kejaksaan. Alasannya, kinerja MA Rachman sangat mengecewakan dan diduga terlibat korupsi karena memiliki harta kekayaan tak wajar dan tak dapat dipertanggungjawabkan.
Sekarang kondisinya hampir sama. Selama tiga tahun dipimpin jaksa karier, kinerja korps Adhyaksa ini sangat mengecewakan. Antara lain karena berbagai kasus korupsi kakap yang ditangani gagal terungkap. Kejaksaan juga disebut berperan dalam banyak kasus korupsi yang diputus bebas oleh pengadilan karena lemahnya dakwaan. Maraknya praktik mafia hukum juga menjadikan institusi ini tidak agung lagi. Mafia hukum yang terjadi di kejaksaan sudah masuk kategori problem institusional.
Kejaksaan juga sering melakukan blunder kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Di antaranya, tren penetapan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus korupsi. SP3 ini jelas bermasalah karena alasan SP3 selama ini terlalu mengada-ada.
Oleh karena itu, dikhawatirkan jadi ranah mafia hukum. Kejaksaan juga dianggap tidak tertib hukum. Data KPK menyebutkan, pejabat di Kejagung jadi pejabat negara yang paling abai menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK. Dari 8.636 pejabat di lembaga ini, baru 5.091 (58,95 persen) yang menyerahkan laporan (Kompas, 23/9).
Deretan permasalahan itu jadi bukti lemahnya kepemimpinan Jaksa Agung saat ini. Kondisi ini harus segera dibenahi. Momentum pergantian Jaksa Agung harus dimanfaatkan secara tepat. Presiden dapat melakukan penyegaran di tubuh Kejagung, dengan sekaligus mengganti unsur pimpinannya karena dua hal.
Pertama, kinerja Kejagung saat ini tidak menunjukkan pencapaian yang signifikan dalam penegakan hukum antikorupsi. Alih-alih memperbaiki kinerja, kejaksaan malah semakin terperosok dan memburuk. Kedua, unsur pimpinan Kejagung saat ini telah kehilangan kepercayaan publik. Beragam peristiwa kontroversial dan kebijakan yang tidak populis telah mengikis rasa kepercayaan publik terhadap pimpinan Kejagung.
Mereka telah kehilangan dukungan moral sehingga cukup sulit diharapkan untuk mampu mengangkat citra dan kinerja dalam rentang waktu kepemimpinan SBY jilid II. Karena itu, penggantian jajaran pimpinan Kejagung perlu dilakukan demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi SBY jilid II.
Presiden patut mempertimbangkan pengangkatan Jaksa Agung nonkarier. Jika perlu, juga terhadap jaksa agung muda karena UU Kejaksaan (Pasal 24) membolehkannya. Kehadiran jaksa nonkarier diharapkan mampu memperbaiki kinerja dan citra kejaksaan. Sebab, kinerja kejaksaan merupakan cermin kinerja penegakan hukum pemerintahan SBY, terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Karena itu, Presiden jangan sampai salah pilah dan pilih Jaksa Agung.
Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM; Master Student Governance and Law Program Nagoya University, Jepang
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03431563/memilih.jaksa.agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar