Sabtu, 18 Desember 2010

Beras Tak Kunjung Beres

Beras Tak Kunjung Beres
Rabu, 1 Desember 2010 | 02:49 WIB

Toto Subandriyo
Gonjang-ganjing harga beras beberapa hari terakhir telah melahirkan polemik terbuka antara Kementerian Pertanian dan Perum Bulog.

Meski Angka Ramalan (Aram) III Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa secara nasional produksi padi 2010 akan mencapai 65,98 juta ton gabah kering giling, Perum Bulog dinilai kurang maksimal dalam menyerap gabah dan beras petani.
Kementerian Pertanian menuding Perum Bulog kurang sigap membeli gabah dan beras hasil panen musim rendeng 2010. Padahal, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Perberasan telah dilengkapi dengan tabel rafaksi pembelian gabah dan beras di luar kualitas seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Tahun 2010. Jadi, sebenarnya Bulog telah diberi keleluasaan beli gabah petani sesuai dengan kualitas yang ada.
Perum Bulog balik menuding bahwa kinerja Kementerian Pertanian dalam peningkatan produksi padi kurang baik. Meski areal panen meningkat, karena kondisi iklim kurang menguntungkan, produktivitas turun. Perum Bulog juga menuding penyebab penyerapan gabah petani rendah adalah produksi padi tahun ini tak sesuai dengan target yang ditentukan. Kementerian Pertanian mematok target peningkatan produksi 3,2 persen, tapi Aram III BPS memperkirakan kenaikan 2,46 persen.
Polemik seperti ini bukan kali pertama terjadi. Beberapa bulan lalu, DPR geram atas kinerja Bulog menstabilkan harga pangan menjelang puasa dan Lebaran. Bahkan, beberapa tahun lalu, Ketua Umum Dewan Pembina Dewan Beras Nasional Agung Laksono pernah menyarankan agar pemerintah merestrukturisasi peran dan fungsi Bulog terkait kebijakan stabilisasi harga beras.
Kembali ke semangat awal
Dalam posisi Bulog seperti saat ini, hampir mustahil mengharapkan Bulog dapat menjalankan fungsinya sebagai stabilisator harga kebutuhan pokok seperti sebelum krisis ekonomi 1998. Saat ini status Bulog sudah berubah melalui Peraturan Pemerintah No 7/2003, dari lembaga pemerintah nondepartemen menjadi Perum atas usul IMF.
Status Perum telah bikin Bulog tak ubahnya mesin ekonomi liberal. Lembaga ini akan bergerak jika ada keuntungan ekonomi. Harga kebutuhan pokok diserahkan pada mekanisme pasar. Sungguh sulit membayangkan sebuah lembaga dapat menjalankan dua peran sekaligus: sebagai lembaga berorientasi untung dan sebagai lembaga nirlaba (sosial).
Melihat peran Bulog yang kian jauh dari rakyat yang melahirkannya, sudah saatnya lembaga ini dikembalikan pada semangat awal pembentukannya: melindungi petani dari keterpurukan harga jual hasil panen mereka, dan melindungi konsumen miskin dan kaum marjinal dari melambungnya harga pangan tak terkendali. Konsep manajemen pangan seperti itu diadopsi dari formula Saleh Affif dan Leon Mears pada tahun 1967. Ada lima prinsip dalam formula itu.
Pertama, ditetapkannya harga dasar yang memberi insentif harga jual gabah dan beras petani sehingga mereka tetap bergairah melakukan usaha tani. Untuk keperluan ini, pemerintah mengeluarkan Inpres Kebijakan Perberasan yang memuat mekanisme harga dasar gabah. Namun, rezim harga dasar gabah yang menjadi roh perlindungan petani akhirnya direduksi menjadi harga pembelian pemerintah. Dalam kondisi ini pemerintah (Bulog) mudah lepas tangan jika terjadi gejolak harga gabah dan beras yang merugikan petani. Mazhab stabilisasi yang semula diperankan pemerintah bergeser pada mazhab ekonomi pasar.
Sangat genting
Bukan hanya itu, Inpres Perberasan ini lebih menekankan mekanisme pembelian pemerintah. Akibatnya, stok pangan pemerintah menjadi sangat genting. Ketahanan pangan republik ini selalu ditegakkan dengan kebijakan ad hoc seperti sekarang ini dilakukan Bulog dengan impor beras 600.000 ton.
Kedua, perlu adanya harga maksimum untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga tak terkendali. Jika mekanisme harga maksimum dapat berfungsi dengan baik, tak perlu terjadi gonjang-ganjing harga beras seperti beberapa hari terakhir ini.
Ketiga, perlu adanya selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum untuk lebih merangsang perdagangan oleh swasta. Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar. Kelima, perlu stok penyangga yang dikuasai pemerintah untuk kebutuhan stabilisasi harga di saat tertentu, misalnya pada musim paceklik.
Menghadapi harga beras saat ini, pemerintah harus bertindak lebih bijak. Langkah efektif adalah mempercepat distribusi raskin, sedangkan operasi pasar merupakan pilihan terakhir. Pertimbangannya, raskin dijual murah Rp 1.600 per kg karena mendapat subsidi, volumenya cukup besar sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Operasi pasar sendiri selain bervolume sangat terbatas, harganya juga tinggi Rp 6.400 per kg, jadi tak efektif meredam gejolak harga.
Satu hal yang perlu diingat: dalam konteks pembangunan nasional, kegiatan operasi pasar dan impor beras harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi peningkatan produksi secara nasional. Bukan sekadar mengatasi masalah dalam negeri sesaat. Kegiatan ekonomi itu dilakukan sebagai kegiatan berskala nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses produksi berkelanjutan.
Kita pernah diingatkan Proklamator Soekarno saat peletakan batu pertama pembangunan IPB: ”Tiap tahun zonder ketjuali, zonder pauze, zonder ampun, soal beras ini akan datang; dan akan datang crescendo, makin lama makin hebat, makin lama makin ngeri, selama tambahnja penduduk jang tjepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnja bahan makanan jang tjepat pula!”
Toto Subandriyo Anggota Dewan Pembina HKTI Kabupaten Tegal, Jateng
http://cetak.kompas.com/read/2010/12/01/02492086/beras..tak.kunjung.beres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar