Sabtu, 18 Desember 2010

Pemulihan Pascaerupsi Merapi

Pemulihan Pascaerupsi Merapi
Rabu, 1 Desember 2010 | 02:48 WIB

Mudrajad Kuncoro
Erupsi Gunung Merapi telah berdampak luar biasa. Awan panas, hujan abu, dan hujan kerikil mengakibatkan 356.816 penduduk mengungsi dan 270 lainnya tewas.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Yogyakarta menaksir total kerugian Rp 5 triliun. Inilah bencana terburuk Merapi sejak 1870. Setelah masa tanggap darurat selesai, yang terpenting adalah strategi percepatan pemulihan ekonomi keempat kabupaten yang paling menderita: Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali.
Erupsi Merapi telah menghancurkan rumah, sekolah, lingkungan, dan infrastruktur ekonomi. Semakin cepat upaya pemulihan dilakukan, semakin rendah kerugian. Itu sebabnya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X meminta agar pemulihan ekonomi berjalan satu paket dengan masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pascatanggap darurat ada tiga aktivitas utama yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi dari daerah bahaya pada radius 5 kilometer dari puncak Merapi.
Kedua, program back to school bagi siswa SD, SMP, dan SMA di daerah bencana karena 217 sekolah rusak. Di tiga kecamatan yang paling rawan bencana di Sleman, jumlah siswa lebih dari 3.289 anak, padahal 20 TK, 29 SD, 7 SMP, dan 3 SMA rusak. Mereka bisa dibuatkan sekolah darurat atau disalurkan ke sekolah terdekat yang aman.
Ketiga, pemberian initial capital atau modal awal untuk para pengungsi yang telah kembali ke rumah masing-masing untuk memulai aktivitas ekonominya. Tidak hanya sapi yang perlu diganti rugi, tapi juga tanaman salak pondoh, cabai, ikan, dan sektor lain yang rusak.
Pekerjaan sektor publik
Disaster Response Unit dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM mengusulkan dua kegiatan, yaitu penyediaan pekerjaan di sektor publik dan membuka akses pendapatan bagi usaha mandiri.
Pekerjaan di sektor publik bisa berupa proyek padat karya, seperti pembangunan penampungan sementara. Dengan asumsi, jumlah pekerja 15-20 orang pada setiap 200 pengungsi, jumlah total pekerja yang berpotensi difasilitasi aktivitas ini 26.500- 35.250 orang. Jika mereka mendapat upah Rp 20.000 per hari, maka dalam tiga bulan diperkirakan memakan biaya Rp 67,5 miliar.
Fasilitasi akses pendapatan bagi usaha mandiri adalah bantuan pemerintah agar usaha mikro, kecil, dan menengah petani dan peternak bisa segera bangkit.
Akibat erupsi, dilaporkan 21 perusahaan di Kabupaten Sleman tidak beroperasi sehingga 5.845 pekerja dirumahkan sementara. Selain itu, ribuan karyawan di 284 hotel dan penginapan di kawasan wisata Kaliurang terpaksa dirumahkan, demikian juga para pedagang di lima pasar tradisional, 22 pengusaha rumah makan, dan 584 pemilik kios yang belum bisa membuka usaha karena ditutupnya kawasan wisata itu.
Bantuan sebaiknya tidak hanya modal awal, tetapi juga pendampingan dan pelatihan. Usulannya adalah kredit dengan bunga murah dari dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN. Dengan asumsi ada 10.000 unit usaha yang bisa difasilitasi, dibutuhkan dana Rp 15 miliar untuk tiga bulan.
Hasil observasi menunjukkan, pertama, kebanyakan UMKM tidak bisa bangkit sendiri tanpa bantuan. Ini karena aset banyak hancur dan lembaga keuangan enggan menerima agunan dari daerah bencana.
Kedua, kendala utama yang dihadapi adalah ketiadaan modal kerja. Untuk bangkit, UMKM membutuhkan terobosan aturan agunan dan kredit mikro. Di tengah kehancuran fasilitas produksi dan penurunan nilai aset 25-60 persen dan aturan perbankan yang sekarang, tak banyak UMKM di daerah Merapi yang ”layak” menurut
perbankan. Memang banyak bank menawarkan kredit mikro tanpa agunan, tetapi prosedur kredit dinilai masih berbelit dan bunganya tinggi.
Survei lapangan menunjukkan, kebutuhan modal kerja bagi usaha mikro dan kecil umumnya di bawah Rp 20 juta dan usaha menengah minimal Rp 500 juta.
Akselerasi pemulihan
Hingga kini, ada perbedaan persepsi pemerintah dan masyarakat korban dalam menilai risiko bencana. Ini akibat perbedaan dalam menilai tingkat bahaya (hazard) dan tingkat kerentanan (vulnerability) sebagai penentu risiko bencana.
Masyarakat menganggap kawasannya memiliki tingkat kerentanan rendah dan lebih cenderung melihat dari sisi bahaya. Awan panas Gunung Merapi berbahaya dan dapat merenggut jiwa. Sebaliknya, pemerintah menganggap kawasan permukiman masyarakat Merapi mempunyai tingkat kerentanan tinggi sehingga mempertimbangkan kebijakan relokasi.
Tentunya akan amat bijaksana apabila pemerintah berkomunikasi dengan masyarakat di daerah bencana, menanyakan apa keinginan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah perlu menyosialisasikan beberapa pilihan berdasarkan masukan dari para pakar vulkanologi, geologi, ekonomi, antropologi, dan pembangunan wilayah. Partisipasi masyarakat di kawasan rawan bencana amat dibutuhkan dalam disaster recovery planning.
Dalam konteks inilah formulasi grand design strategi percepatan pemulihan ekonomi pascaerupsi Merapi yang berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) mendesak untuk disusun. Ciri utama PEL menitikberatkan pada kebijakan endogenous development: menggunakan potensi sumber daya manusia, institusional, dan fisik setempat.
Penyusunan PEL perlu menggunakan setidaknya tiga pendekatan. Pertama, pendekatan sektoral yang intinya mengidentifikasi sektor, subsektor, dan komoditas andalan apa yang dapat menjadi lokomotif penggerak ekonomi rakyat. Prioritaskan bidang yang berorientasi ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, menjadi ikon daerah, dan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, agroindustri salak pondoh, pembenihan dan budidaya ikan, pertanian cabai, dan peternakan sapi. Ini karena sebagian besar penduduk di kawasan Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan hidup sebagai petani, peternak, dan pembudidaya ikan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Sleman, jumlah mereka 68.024 orang.
Kedua, pendekatan spasial, yang intinya mempertimbangkan di mana lokasi kecamatan, desa, dan dusun yang hancur dan rentan awan panas, lava, dan lahar dingin Merapi. Identifikasi ulang daerah rawan bencana ini untuk perubahan tata ruang.
Ketiga, pemasaran daerah. Problem terbesar DIY dan Jateng adalah merosotnya citra daerah ini di mata investor dan wisatawan. Untuk itu, perlu strategi pemulihan citra. Paket wisata lava tour bisa ditawarkan sejalan dengan pengembangan jalur evakuasi dan infrastruktur.
Saya menyarankan pembentukan Forum Multistakeholders untuk menghilangkan sekat-sekat dan fanatisme sektoral.
Manajemen bencana
Selanjutnya pemerintah SBY- Boediono perlu mengkaji ulang manajemen bencana kita. Sejak penetapan status Siaga, mestinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pemerintah sudah bergerak menyusun skenario rencana penanganan bencana, minimal distribusi jaminan hidup serta penentuan lokasi pengungsian.
Periode tanggap darurat menunjukkan masih diterapkannya perencanaan yang reaktif, yang masih bertitik berat pada upaya mengurangi dampak buruk kerugian bisnis/industri/masyarakat terhadap perekonomian daerah. Harus disadari, Indonesia berada dalam zona Ring of Fire dan rawan beragam bencana.
Karena itu, yang dibutuhkan adalah perencanaan proaktif, yang membentuk sistem masyarakat yang responsif dalam jangka panjang. Tanggap darurat harus diubah jadi tanggap bencana, di mana mitigasi dan minimisasi risiko bencana dirancang matang, ditambah pendekatan kontingensi agar fleksibilitas terhadap perubahan. Rumusan grand design pemulihan pascaerupsi Merapi perlu ditindaklanjuti dengan implementasi nyata.
Mudrajad Kuncoro Guru Besar dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Ketua Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi ISEI Cabang Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/12/01/02483657/pemulihan.pascaerupsi.merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar