Senin, 15 Agustus 2011

Analisis Ekonomi: Meperkokoh Daya Tahan

Faisal Basri

Analisis Ekonomi: Meperkokoh Daya Tahan

OPINI | 15 August 2011 | 04:40
Oleh Faisal Basri

”Capitalism without failure is like religion without sin—It just doesn’t work.” (anonim)

Hampir semua negara telah menerapkan kapitalisme. Segala urusan diserahkan kepada pasar. Miliaran orang berjibaku di pasar. Yang kuat memangsa yang lemah. Yang besar melahap yang kecil.
Begitulah para pelaku pasar bertindak, mengumbar syahwat kebinatangannya (animal spirit). Batas kepuasan adalah langit. Melipatgandakan laba dalam waktu singkat adalah kebanggaan walau dengan tipu muslihat.
Kita tak bisa lagi membayangkan perekonomian dunia yang tenang dengan hanya riak-riak kecil. Krisis demi krisis akan menghadang dan kian kerap. Apalagi sekarang yang menjamur adalah jenis financially driven capitalism, yang lebih mengisap dengan intensitas yang meninggi berlipat ganda.
Negara kewalahan meredam nafsu para pemangsa finansial. Regulasi sudah majal untuk bisa menundukkan keserakahan. Lembaga-lembaga internasional masih mencari bentuk-bentuk pengaturan baru.
Kapitalisme sedang digugat. Formula alternatif sudah mulai bermunculan. Namun, dalam jangka menengah, tampaknya kita masih akan menghadapi dominasi kapitalisme dalam wujudnya yang serakah seperti sekarang ini.
Seiring dengan itu, terjadi pergeseran keseimbangan kekuatan dunia. Negara-negara maju tak lagi mampu mempertahankan dominasinya. Masalah-masalah internal yang mereka hadapi mengurangi kemampuan melakukan penyesuaian struktural.
Mereka tak lagi mampu mempertahankan perilaku lebih besar pasak daripada tiang. Mereka harus berubah. Mereka harus mengurangi keborosannya. Mereka tak bisa terus-menerus menambah utang. Itulah yang sedang dihadapi Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
Kesadaran untuk mengubah tabiat buruk sudah muncul. Pemotongan anggaran negara tak terelakkan. Di beberapa negara maju, penyesuaian struktural menimbulkan ongkos sosial yang tinggi. Ketimpangan yang kian menjadi-jadi sebagai konsekuensi logis dari financially driven capitalism telah menimbulkan disharmoni sosial. Sungguh, dunia membutuhkan sistem alternatif yang lebih memuliakan manusia.
Tak ada pilihan lain bagi kita, kecuali memperkokoh landasan dan meningkatkan daya tahan perekonomian domestik. Namun, jangan pula kita bereaksi berlebihan. Salah satu reaksi yang bisa jadi salah kaprah adalah penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa upaya pemerintah yang selama ini mengurangi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan tindakan yang tepat (Kompas, 9 Agustus 2011, halaman 17).
Kita berbeda dengan negara-negara maju yang dililit utang. Utang negara-negara maju terus membengkak, sementara penduduk kian menua. Konstitusi Uni Eropa menetapkan batas nisbah utang terhadap PDB adalah 60 persen, tetapi kebanyakan negara Eropa sudah jauh melampaui batas itu.
Jika hanya satu negara yang mengalami gagal bayar, Uni Eropa masih bisa mengatasinya secara kolektif. Namun, jika terjadi di banyak negara, niscaya mereka tak lagi memiliki kapasitas untuk menanganinya secara simultan. Negara-negara maju tak lagi punya kemewahan untuk mengatasi krisis baru yang masif.
Sementara itu, nisbah utang kita terhadap PDB meluncur turun hingga mencapai aras yang sangat rendah, bahkan terendah di dunia setelah China. Pada tahun 2010 nisbah utang pemerintah terhadap PDB hanya sekitar 25 persen. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang India (sekitar 76 persen), Brasil (sekitar 65 persen), Malaysia (lebih dari 60 persen), Filipina (sekitar 50 persen), dan Thailand (di atas 40 persen).
Pemerintah masih memiliki kapasitas untuk menambah utang mengingat struktur penduduk kita sangat muda dan sekitar dua pertiga dari total penduduk adalah yang berusia kerja.
Utang dibutuhkan untuk memperkuat landasan daya saing perekonomian agar lebih kokoh dalam menghadapi gejolak. Dengan landasan perekonomian yang semakin kokoh dan pembangunan infrastruktur yang memadai, penduduk usia kerja akan kian produktif dan daya saing perekonomian akan membaik.
Dengan basis perekonomian seperti itu, nisbah pajak bisa ditingkatkan sehingga dalam jangka menengah dan jangka panjang kemampuan pemerintah untuk membayar utang akan meningkat lebih cepat ketimbang beban pembayaran bunganya.
Ditambah dengan ”darah segar” yang berasal dari dana yang terhimpun dari Sistem Jaminan Sosial Nasional, kita akan bertambah kokoh dalam menghadapi gejolak perekonomian dunia. Kemandirian finansial pun akan lebih kokoh.
Kemandirian finansial juga akan memberikan kesempatan lebih leluasa bagi kita untuk mengolah kekayaan alam guna menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi sehingga bisa mempercepat kemakmuran rakyat yang lebih merata.
Industrialisasi yang kembali menderu kencang pada gilirannya semakin memperkokoh daya tahan kita dari gejolak harga-harga komoditas yang kian tak menentu.
Sumber: Kompas cetak, Senin, 15 Agustus 2011, halaman 15. http://cetak.kompas.com/read/2011/08/15/03121667/memperkokoh.daya.taha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar