Senin, 15 Agustus 2011

Di Tengah Episentrum Krisis AS

Di Tengah Episentrum Krisis AS

Minggu, 14 Agustus 2011 09:04 WIB
Oleh: 
Penurunan rating Amerika Serikat yang dirilis S&P dari AAA menjadi AA+ pada 5 Agustus 2011 berdampak pada pelemahan berbagai indeks di AS, Eropa serta Asia di sesi penutupan perdagangan minggu pertama Agustus 2011. Pasar saham Asia dibuka langsung anjlok pada perdagangan, Jumat, 5 Agustus 2011. Kekhawatiran melanda Asia setelah malam sebelumnya indeks Dow Jones AS ditutup  turun 4,3 persen. Indeks S&P 500 turun 4,8 persen dan indeks saham teknologi Nasdaq melemah 5,1 persen. Pasar saham Eropa juga dibuka melemah, indeks FTSE 100 London turun 3,43 persen, DAX Jerman turun 3,4 persen, dan CAC Perancis turun 3,9 persen.
Pasar saham Asia hampir seluruhnya ditutup melemah. Tokyo melemah 3,72 persen atau 171,1 poin menjadi 4.105,4, Seoul turun 3,7 persen atau 74,73 poin menjadi 1.943,7. Dalam empat hari terakhir indeks Seoul telah melemah 10,5 persen. Indeks  Sydney selama empat hari terakhir juga melemah hingga 8,72 persen. Di Indonesia sendiri pada akhir penutupan perdagangan (5 Agustus 2011), IHSG melemah 200,443 poin atau 4,86 persen menjadi 3.921,6. Indeks LQ 45 melemah 36,81 poin menjadi 693,29. Sedangkan indeks Kompas100 merosot 46,98 poin menjadi 893,72. Pada sesi pertama, indeks sempat terjungkal hingga 212 poin atau 5,15 persen menjadi 3.910.

Kondisi ini sebenarnya merupakan imbas dari semakin buruknya kondisi ekonomi Amerika dan Eropa yang diterpa persoalan utang negara yang telah memasuki fase "kronis". Kekuatiran akan potensi gagal bayar (default) negara-negara seperti Amerika dan beberapa negara di Eropa mulai mendekati ramalan sebagian kalangan ketika Senat Amerika Serikat menyetujui kesepakatan peningkatan batas utang pemerintah federal beberapa waktu lalu. Utang Amerika Serikat naik menjadi U$ 14, 58 triliun setelah pagu utang pemerintah dinaikkan sebesar lebih dari U$ 400 miliar karena diyakininya kemungkinan gagal bayar Amerika terhadap para kreditornya (China sebagai kreditor terbesar). Dengan demikian total utang AS (U$ 14,58 triliun) melampaui produk domestik bruto (PDB) tahun anggaran 2010 yang hanya U$ 14,53 triliun. Hal ini kemudian menjadi alasan S&P menurunkan peringkat utang AS menjadi AA+.

Gambaran porsi utang AS terhadap PDB (>100 persen) menempatkan AS masuk kelompok negara berutang besar, seperti Jepang (229 persen dari PDB), Yunani (152 persen),  Jamaika (137 persen), Italia (120 persen), Irlandia (114 persen), dan Islandia (103 persen) akan tetap menjadi kekuatiran dunia yang berpotensi mengancam ekonomi dunia (sebagai akibat contagius effect). Di sisi lain, fenomena ini dapat juga menjadi signal pergeseran keseimbangan baru ekonomi dunia, dan kemungkinan terbesar akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi negara-negara seperti China, Indonesia, Thailand, Taiwan,  Korea Selatan, dan lain sebagainya. Kemungkinan ini dapat dilihat dari semakin besarnya porsi pangsa PDB negara-negara berkembang (emerging) terhadap PDB dunia di saat negara-negara maju (developed) menunjukkan trend yang menurun (The Economist, 4 Agustus 2011)

Pada hari yang sama (5 Agustus 2011), Presiden SBY segera menggelar rapat kabinet untuk membahas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pasca penurunan peringkat utang AS. Rapat kabinet menghasilkan kesimpulan bahwa kondisi ekonomi Indonesia relatif aman dari ancaman krisis ekonomi AS dengan pertimbangan struktur ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan semester pertama sebesar 6,5 persen, cadangan devisa yang semakin kuat, pertumbuhan sektor non-migas 6,61 persen (melebihi pertumbuhan nasional).

Pasca rapat kabinet, melalui Bank Indonesia, Kementerian perekonomian, Kementerian Keuangan merilis bahwa kondisi pasar Indonesia relatif "imun" terhadap krisis pasca pengumumunan penurunan rating utang AS tanggal 5 Agustus 2011. Secara makro, pendapat ini dapat saja dipahami sebagai upaya menenangkan pasar dan masyarakat di saat Indonesia juga diperhadapkan oleh siklus ekonomi Puasa dan Lebaran. Namun, lebih jauh ke depan yang perlu untuk diperhatikan Pemerintah yakni kemungkingan kontrraksi ekonomi dengan membanjirnya dana-dana asing yang masuk ke Indonesia (capital inflow).

Banjirnya dana-dana asing masuk ke Indonesia sebagai akibar dari perilaku ekonomi para investor untuk mulai mengamankan asetnya. Pertanyaannya, seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh Indonesia dari derasnya aliran dana asing yang masuk ke Indonesia? Apakah dana tersebut dapat kita utilisasi ke sektor riil, sehingga dapat menjadi stimulus pemerataan pembangunan atau menjadi salah satu pelumas program MP3EI. Pada kondisi sperti ini juga perlu diwaspadai ketika terjadi penarikan dana asing tersebut. Jangan sampai para investor asing hanya memarkir sementara dananya dan kita tidak menyiapkan instrumen yang dapat mengutilisasi besarnya aliran dana asing yang masuk untuk menstimuli ekonomi sektor riil.

Prof. Firmanzah, PhD.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/08/14/192/Di-Tengah-Episentrum-Krisis-AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar