Senin, 15 Agustus 2011

Penyakit Kronis dan Sistem Jaminan Sosial Nasional

Penyakit Kronis dan Sistem Jaminan Sosial Nasional

Minggu, 14 Agustus 2011 09:16 WIB
Beberapa hari yang lalu media memberitakan ucapan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang mengatakan bahwa untuk penyakit katastrofik (penyakit berat yang jarang) seperti Sindroma Guilliane Barre, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak akan membayari karena akan dapat menjebol keuangan negara. Saya menduga pers salah mengutip ucapan Menkes. Mungkin yang diucapkan Menkes Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), bukan SJSN yang memang belum berlaku.
Pers pun mungkin menafsirkan penyakit katastrofik sebagai penyakit kronis. Penyakit katastrofik memang jarang dijumpai, tetapi sekali ketemu, biaya pengobatannya sangat mahal. Penyakit kronis juga memerlukan biaya yang mahal, tetapi secara berangsur karena perjalanan penyakitnya yang makan waktu lama, bahkan bertahun-tahun.

Ada beberapa hal yang perlu dikomentari terhadap berita tersebut. Program Jamkesmas memang diambil dari APBN dan digunakan untuk pengobatan penyakit yang dialami orang miskin. Tentunya ya baik yang akut maupun yang kronis, seperti tbc, diabetes, hipertensi, gagal ginjal, kanker dan sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut juga banyak diderita oleh orang miskin yang menjadi sasaran Jamkesmas. Kalau untuk itu Jamkesmas tidak bersedia membayari, akan banyak orang miskin yang akan mati karena tidak mendapatkan pertolongan medis yang diperlukan.

Jamkesmas memang diambilkan dari APBN dengan asumsi yang lebih bersifat instinktif daripada berdasar perhitungan yang matang. Saya katakan instinktif karena tujuannya memang untuk pencitraan pemerintah. Yaitu agar nampaknya pemerintah telah berbaik hati kepada orang miskin. Karena lebih bersifat pencitraan, maka petunjuk pelaksanaannya pun tidak jelas atau terlambat diberikan, sehingga yang terjadi justru salah paham di lapangan antara masyarakat yang miskin dengan petugas di tempat layanan.

Hal serupa juga terjadi di daerah dengan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Akibat tidak adanya perhitungan dan persiapan yang matang, beberapa rumah sakit daerah terpaksa menanggung utang sangat besar dan diberitakan “akan bangkrut”. Kalau Jamkesmas atau Jamkesda harus pula menanggung biaya pengobatan penyakit katastrofik, akan terkuraslah dana yang tersedia atau pemerintah harus menambah lagi yang selanjutnya membebani APBN/APBD.

Seandainya saja SJSN diberlakukan dan terdapat “universal coverage”, artinya seluruh penduduk NKRI akan disantuni kalau sakit, maka kecemasan Menkes itu tidak perlu terjadi. Soal pembayaran biaya pengobatan sudah bukan lagi menjadi urusan Menkes tetapi urusan Badan Penyelenggara SJSN. Badan ini pun tidak boleh lagi menolak membayar, berapapun besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu SJSN memerlukan pengelolaan dana yang terencana, terkendali, dan memanfaatkan penggunaan dana semaksimal mungkin untuk santunan penduduk yang sakit, dari mana pun asal penduduk itu dan di mana pun ia berobat di Indonesia ini. Orang Papua yang kebetulan ke Jakarta dan jatuh sakit, tidak akan ditolak oleh rumah sakit di Jakarta, demikian pula sebaliknya. Semua mendapat hak yang sama.

Pemerintah daerah boleh saja menyediakan Jamkesda sebagai tambahan terhadap jaminan SJSN untuk penduduk daerahnya tetapi dengan aturan main yang sama dan disinkronkan dengan jaminan SJSN. Akan lebih arif lagi kalau pemerintah daerah menggunakan alokasi yang semula untuk Jamkesda diarahkan untuk kegiatan preventif dan promotif, sehingga rakyat di daerahnya akan lebih sehat. Bahkan lebih sehat dibanding penduduk dari daerah lain. Dampak positif selanjutnya, produktivitas penduduk mereka akan lebih tinggi, daya tabung meningkat, dan juga akan lebuih mudah mencari bibit-bibit olahragawan yang berkualitas untuk membawa nama daerahnya.

Demikian pula Badan Pelaksana SJSN, kalau piawai dalam mengelola dana, ia tidak akan merugi akibat harus membayari banyak penyakit kronis dan katastrofik. Ia seharusnya juga mengalokasikan sebagian dananya untuk kegiatan preventif dan promotif, serta penelitian-penelitian yang ditujukan untuk mempermudah menyusun proyeksi pengeluaran dana di tahun-tahun depan. Jangan menghabiskan sebagian besar dana yang terkumpul dari rakyat untuk biaya birokrasinya. Bayar gaji direksi dan karyawannya, serta biaya operasional yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penyantunan para tertanggung.

Kecemasan Menkes di atas akan terus terjadi dan semakin meningkat karena peningkatan kesadaran penduduk, peningkatan jumlah penyakit tidak menular yang memakan biaya yang sangat besar, sejalan dengan perkembangan ekonomi dan mobilitas horizontal penduduk, serta pertambahan penduduk itu sendiri. Itu kalau pengelolaan SJSN berorientasi seperti orientasi perusahaan BUMN saat ini.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/08/14/193/Penyakit-Kronis-dan-Sistem-Jaminan-Sosial-Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar