Jumat, 19 November 2010

Menunggu Ketegasan Presiden

SUARA MAHASISWA, Menunggu Ketegasan Presiden PDF Print

Friday, 19 November 2010
BELUM hilang kesedihan masyarakat atas terjadinya rentetan bencana alam yang datang silih berganti,kini masyarakat menjadi semakin miris dengan munculnya kasus Gayus Tambunan.
Tersangka kasus mafia pajak yang seharusnya berada dalam Rutan Mako Brimob,Kelapa Dua, Depok, ini terlihat asyik menikmati pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Championsdi Bali. Gayus,seperti seorang intelijen,melakukan penyamaran dengan menggunakan rambut palsu dan kacamata agar orang-orang tidak mengenal dirinya.Tanpa rasa bersalah,dia menonton tenis dengan santai.

Tanpa sadar, ada seorang wartawan yang mengambil fotonya. Sel Gayus pun langsung dicek dan ditemukan bahwa dia tidak ada.Gayus akhirnya ditemukan dan dijemput paksa di rumahnya di Kelapa Gading. Terlepas dari ada atau tidaknya motif politik yang membuat Gayus pelesir ke Bali,kasus ini semakin menandakan bahwa reformasi penegakan hukum cuma sebatas wacana untuk menarik simpati publik.Tidak ada langkahlangkah yang tegas untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia.

Hukum dianggap aksesori belaka,sebagai pelengkap tatanan bernegara. Sebenarnya negara ini bukan berlandaskan atas hukum, tapi hukum rimba di mana yang paling kuat adalah yang mengatur segalanya.Gayus tidak mempunyai jabatan, tapi dia mempunyai kekuatan uang. Uang adalah fondasi kekuatan super Gayus.Para penjaga rutan dengan mudah tunduk dengan materi Gayus yang tak berbatas. Mentalitas keropos para penegak hukum sudah merupakan cerita lama di jagat hukum Indonesia.

Loyalitas dan integritas mereka dapat dengan mudah diukur dengan materi. Persoalannya, apakah kasus ini sekadar masalah mentalitas? Bagaimanapun, hasrat tidak akan pernah bisa menekan rasionalitas (Nietzsche,2002).Ketika hasrat semakin ditekan,dia akan semakin kuat untuk melakukannya. Memperbaiki seleksi awal, memperbaiki moralitas penegak hukum, mengawasi secara ketat dan memberikan sanksi tegas kepada penegak hukum tidak cukup jika melihat kondisi hukum yang sedemikian kronis.

Perlu ditelusuri,bagaimana mekanisme penyuapan yang terjadi dalam kasus Gayus.Mengapa para penjaga rutan dapat dengan mudahnya bertransaksi dengan para koruptor? Masalah ini luput dari perhatian kita selama ini. Seharusnya ruang yang menghubungkan interaksi antara tahanan dengan petugas tahanan ditutup.Semakin terbuka ruang interaksi,semakin tinggi potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau suap. Para penegak hukum kelas kakap yang tidak punya powerini pasti akan masuk dalam perangkap kekuasaan para koruptor.

Jika penegak hukum sudah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan koruptor, dengan mudah koruptor tersebut mengaturnya. Meskipun dipenjara, hak-hak istimewa yang melekat pada koruptor tidak begitu saja hilang. Posisi tawar yang tinggi sebagai mantan orang kuat membuat nyali para penegak hukum ciut. Presiden mesti mengambil langkah serius untuk mempertimbangkan hal ini.Para koruptor mesti dilepaskan seluruh hak-hak istimewanya.

Lalu, langkah selanjutnya adalah penyitaan secara tuntas harta koruptor dan pemiskinan para koruptor seperti yang dikatakan Ketua MK Moh Mahfud MD. Ketika para koruptor menjadi miskin dan hak-hak istimewanya dicabut,posisi mereka akan sama seperti warga biasa. Pasal-pasal lembek mengenai masa tahanan koruptor dan hukuman minimal bagi koruptor agaknya juga perlu direvisi.Efek jera perlu diberikan kepada koruptor, misalnya hukuman maksimal atau hukuman mati, agar memberikan terapi kejut bagi para koruptor.

Mengenai hukuman mati, duduk persoalannya pada upaya itu akan melanggar HAM.Hukuman mati logis sepanjang para koruptor itu sendiri telah mencederai HAM masyarakat. Sebab,uang yang seharusnya dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dipakai untuk kesenangan mereka sendiri.(*)

Wildan Sena Utama
Mahasiswa Sejarah
Universitas Gadjah Mada  

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/365033/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar