Minggu, 07 November 2010

Menguji Akuntabilitas Kejaksaan

Sunday, 07 November 2010
Sekurang-kurangnya ada lima masalah/peristiwa terkait institusi kejaksaan yang menyedot perhatian publik.
Pertama, keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengesampingkan perkara (deponeering) Bibit- Chandra. Kedua, terbongkarnya kasus pemalsuan rencana penuntutan (rentut) terhadap Gayus Tambunan yang melibatkan beberapa jaksa. Ketiga, keterlambatan penunjukan jaksa agung definitif yang menghasilkan berbagai inkonsistensi dan ketidaksolidan institusi kejaksaan, bahkan memunculkan keraguan akan kekuatan dasar hukum keputusan-keputusan kejaksaan, termasuk deponeeringkasus Bibit-Chandra. Keempat,sikap kejaksaan yang menolak saksi a de charge(yang meringankan) yang diajukan Yusril Ihza Mahendra dalam kasus sistem administrasi badan hukum (sisminbakum).

Kelima, penyelesaian kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merupakan janji Jaksa Agung terdahulu Hendarman Supandji pada awal masa jabatan, tapi ironisnya di tengah pengusutan kasus BLBI jaksa Urip Tri Gunawan terseret oleh penyuapan Artalyta Suryani. Benang merah dari lima kasus populer tersebut adalah integritas dan profesionalitas institusi kejaksaan dalam penegakan hukum.Penegakan hukum ini sangat penting bukan saja karena merupakan tugas dan wewenang khusus kejaksaan, tapi juga merupakan pilar penting Indonesia sebagai negara hukum. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum.

Pilar Hukum

Seperti diungkap AV Dicey,ada tiga pilar terpenting negara hukum, yakni supremasi hukum, due process of law,dan equality before the law. Prinsip pertama menempatkan hukum sebagai panglima dan referensi tertinggi dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Prinsip kedua menegaskan kewajiban negara/pemerintah untuk menghormati hakhak warga negara dan segala proses hukum.Adapun prinsip ketiga ditegaskan secara eksplisit dalam UUD Pasal 27 ayat (1) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dengan demikian,institusi kejaksaan,baik dalam konteks kewajiban menaati undang-undang maupun selaku warga negara, terikat dengan kewajiban ini dan memiliki konsekuensi jika melanggarnya. Dalam memutuskan pengesampingan perkara Bibit-Chandra, Kejagung patut diduga telah mencederai prinsip-prinsip negara hukum tersebut. Deponeering adalah wewenang khusus jaksa agung sesuai dengan Pasal 30 huruf UU Kejaksaan bahwa jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Penerapannya harus prosedural dan memenuhi kaidah-kaidah hukum, misalnya tidak dapat didelegasikan kepada pelaksana tugas (plt) jaksa agung atau wakil jaksa agung.

Dalam hal ini,Plt Jaksa Agung Darmono telah keliru karena memutuskan deponeering karena bukan wewenangnya. Selain itu, tidak ada kepentingan umum yang dapat tecermin dari opini publik dan pemberitaan di media massa.Kepentingan umum juga dapat terlihat dari sidang-sidang DPR secara terbuka karena pada dasarnya 560 anggota DPR itu mewakili rakyat Indonesia.Saat Plt Jaksa Agung memutuskan deponeering, mayoritas warga justru menginginkan perkara Bibit-Chandra diselesaikan secara hukum.Bahkan,tidak sedikit ahli dan praktisi hukum yang kredibel seperti mantan Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution ataumantanKetuaMABagirManan yang bersikap saat ini deponeering tidak tepat dan sebaliknya mendukung penyelesaian perkara Bibit- Chandra di pengadilan.

Selain itu, putusan MK telah membatalkan Pasal 32 ayat (1) huruf c sehingga pimpinan KPK baru dapat diberhentikan setelah memperoleh putusan bersalah yang berkekuatan hukum tetap. Anggapan kinerja KPK terganggu dengan kasus Bibit-Chandra juga tidak terbukti.Sejak kasus keduanya muncul, KPK tetap mampu mengungkap dan menangkap banyak kasus korupsi,baik yang dilakukan para kepala daerah maupun kasuskasus besar seperti di PLN. Pelimpahan perkara Bibit- Chandra (ke pengadilan) juga akan menjadi kesempatan mereka untuk membuktikan keduanya bersih. Secara terbuka mereka dapat membeberkan kepada publik rekayasa kasusnya jika memang tuduhan pemerasan/penyuapan itu tidak benar.

Saya membayangkan jika pengadilan itu digelar, hakim akan menggelar sidang secara terbuka dan media massa akan meliputnya secara langsung. Dengan pemantauan langsung oleh ratusan juta rakyat Indonesia,pengadilan Bibit-Chandra akan berlangsung adil,objektif,dan transparan. Celah bagi mafia hukum akan tertutup dan ini menjadi teladan bagi proses penegakan hukum. Sayang, pimpinan kejaksaan malah tidak memberi teladan untuk menghormati proses hukum. Kejaksaan malah seperti menentang putusan MA yang tidak dapat menerima (Niet Ontvankelijk Verklaard) permohonan peninjauan kembali kejaksaan atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta di mana PT Jakarta memutuskan membatalkan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) kasus Bibit-Chandra.

Secara implisit, kejaksaan sedang mengesampingkan putusan MA dan PT Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, pimpinan kejaksaan patut diduga telah melanggar Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (1) huruf b bahwa di bidang pidana kejaksaan bertugas dan berwenang untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bahkan, patut diduga pimpinan kejaksaan melanggar konstitusi, yakni UUD Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1).

Tanggung Jawab

Atas dugaan kesalahan tersebut, DPR RI dapat mempertimbangkan untuk menggunakan hak angket.Semua syarat untuk menggelar hak angket telah tersedia. Soal pelanggaran konstitusi dan undang-undang telah dijabarkan di depan.Selain itu,kejaksaan sendiri yang mendefinisikan perkara Bibit-Chandra mempunyai dimensi kepentingan umum sehingga mengesampingkan perkaranya. Dengan demikian,kriteria objek angket dari segi pelaksanaan undangundang/ kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas telah terpenuhi.

Selain itu, karena deponeering perkara Bibit-Chandra adalah pelaksanaan kewenangan kejaksaan sendiri, yang perlu diselidiki oleh DPR adalah pejabat yang memutuskan saja,yakni Jaksa Agung.Dalam hal ini,karena Darmono bertindak selaku Plt Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung,maka merujuk Pasal 18 UU Kejaksaan pertanggungjawaban pelaksanaan deponeering itu berada di pundaknya. DPR harus memeriksanya karena membuat kebijakan sendiri yang diduga melanggar konstitusi dan undang-undang. Jika DPR nantinya menyetujui pelaksanaan hak angket,DPR tidak perlu memanggil Presiden.

Hal ini selain untuk mencegah politisasi perkara Bibit-Chandra dan deponeering- nya, juga untuk memudahkan DPR fokus terhadap pengawasan kerja dan kinerja kejaksaan serta upaya-upaya koreksi di masa depan. Berbagai perkembangan kerja dan kinerja kejaksaan menunjukkan kebutuhan untuk memperbaikinya secara menyeluruh dan tuntas. Bayangkan, kejaksaan berani menolak hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi ahli yang menguntungkan dirinya, padahal hak itu telah tertuang dalam KUHAP dengan begitu jelas dan sebenarnya tidak memerlukan tafsir lagi (Pasal 65 dan Pasal 116 ayat 3 dan 4).Dan,itu dilakukan terhadap orang-orang yang secara politik tidak lemah,mampu membiayai pengacara/penasihat hukum sendiri,serta memiliki akses terhadap media massa.

Bagaimana pula nasib rakyat kecil yang belum tentu bersalah, tapi karena tidak paham hukum tidak mampu membiayai pengacara, tidak mendapat bantuan hukum dari negara,dan tidak terliput media massa, sementara kejaksaan menolak haknya atas saksi a de charge? Aparat kejaksaan juga terbukti melakukan rekayasa kasus seperti pemalsuan rencana penuntutan. Aparat kejaksaan juga terbukti menerima suap dalam upaya penghentian perkara BLBI.Tidak tertutup kemungkinan banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap ke publik. Perbaikan kejaksaan butuh pimpinan dan penanggung jawab yang baik, kredibel, profesional, berani, dan taat hukum, terlepas siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya, apakah jaksa karier atau sumber daya eksternal.

Bahkan, jaksa agung sekaliber Baharuddin Lopa pun justru pimpinan Majelis Pakar PPP. Agenda reformasi kejaksaan dan peta jalan perbaikan internal harus dimiliki dan dijalankan secara konsisten. Dan, akhirnya, DPR, rakyat, serta media massa harus mengawal reformasi kejaksaan dan berani menguji akuntabilitas kejaksaan agar sekalipun besok langit runtuh,hukum dan keadilan tetap ditegakkan.(*)

Ahmad Yani
Anggota Komisi III DPR RI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/362526/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar