Minggu, 07 November 2010

Moralitas Hukum Deponeering

Sunday, 07 November 2010
Betul, apa yang diutarakan advokat Bambang Widjojanto di Jakarta, Sabtu (30/10),bahwa opsi apa pun yang diambil Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menyikapi perkara terkait Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah secara teknis memiliki masalah.
Memang, deponeering ataupun surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) adalah persoalan teknis-yuridis. Akan tetapi kasus Bibit-Chandra jelas bukan sekadar persoalan teknis-yuridis, melainkan permasalahan hukum yang kompleks terkait dengan seluruh tatanan dan realitas kehidupan bernegara.Kejagung dan KPK merupakan representasi bangsa dan negara yang tengah berjuang melawan mafia hukum. Di dalam menjalankan ataupun menegakkan hukum, sangat terbuka kesempatan untuk mengambil berbagai pilihan teknis-yuridis yang dipandang cocok, efektif, dan efisien agar tujuan hukum yang sebenarnya, yaitu keadilan, dapat tercapai.

Apa yang disebut sebagai hukum acara (hukum formal) sebenarnya sekadar alat perlengkapan dari hukum materiil dan bukan berdiri sendiri, apalagi keluar (sesat) dari aspek moralitas hukum materiil,yaitu keadilan. Dalam kerangka pemikiran ini, Plt Jaksa Agung (Darmono) dalam menetapkan deponeeringbukan sekadar memosisikan diri sebagai teknisi hukum, melainkan bertindak atas nama negara yang sedang menegakkan hukum dan berburu keadilan.

Keadilan atas nama Bibit-Chandra harus diburu dan diberikan kepada mereka karena selama ini hak-hak spiritual itu telah dirampas oleh mafia hukum melalui rekayasa proses peradilan yang diduga kuat dikomandani Anggodo Widjaja. Tulisan ini mencoba memberikan analisis mengenai akar permasalahan di balik rumitnya penetapan opsi deponeering atas kasus Bibit- Chandra tersebut. Secara yuridis- ilmiah permasalahan itu muncul karena perbedaan tajam antara dua pola pemikiran dalam hukum (legal thinking),yaitu berpikir secara linier dan berpikir secara progresif.

Berpikir Linier

Sebelumnya, Bibit-Chandra menyatakan bahwa dirinya “menolak” opsi deponeering.Dalam logika linier yang mendominasi pemikirannya, deponeering secara implisit mengandung makna pengakuan adanya kesalahan. Hanya karena alasan demi kepentingan umum, perkara dikesampingkan. Padahal, mereka berdua berani bersumpah, tidak pernah berbuat salah sebagaimana disangkakan. Walaupun demikian, deponeering telah ditetapkan dan mereka berdua pun menghormati penetapan itu.

Terkait dengan latar belakang keilmuan yang didominasi paham legal-positivisme, KPK maupun aparat kejaksaan umumnya terjebak pada sikap ”kebanggaan profesi” bahwa penegakan hukum merupakan aktivitas yang distinct (khas) dan hanya mampu dijalankan oleh orang-orang yang telah terdidik secara khusus untuk itu. Mereka berpikir dan bertindak secara datar dan linier pada aras hukum pidana dan hukum acara pidana. Dua peraturan yang sarat dengan konsep-konsep hukum yang bersifat artifisial itu dijadikan sebagai titik tolak dan dasar bertindak. Menyelesaikan kasus Bibit- Chandra dapat dipadankan dengan menarik benang lurus antara peraturan dan fakta hukumnya.

Dengan deponeering, apakah Bibit-Chandra dinyatakan salah ataukah tidak,akan dikembalikan pada dua peraturan tersebut dan bukan pada realitas kehidupan sebenarnya, yaitu realitas bahwa negara ini telah dikuasai oleh mafia hukum dan koruptor.Di situlah kita melihat bahwa berpikir linier selalu bertumpu pada logika dan peraturan dan bukan pada realitas sejati. Timbul pertanyaan, benarkah realitas hukum itu terpisah dari realitas kehidupan secara utuh? Allot (2002) menyindir bahwa dunia para ahli hukum sebagai ”dunia asing”(the strange inner world of the lawyer) di tengah-tengah realitas yang dikenal umum dan telah melampaui (transcend) sekaligus lepas dari realitas total. Sudah barang tentu, bagi kalangan di luar ahli hukum sulit untuk menerima pemisahan hukum demikian.

Bukankah perkara korupsi merupakan extraordinary crimeyang sedang dihadapi bangsa dan bukan sekadar perkara orang per orang. Karena korupsi, bangsa dan negara ini bisa ambruk dan orang-orang tak berdosa pun akan terseret menjadi korbannya.Maka, aneh bin ajaib kalau dunia hukum berada pada wilayah tersendiri dan berpikir secara linier dalam hukum juga menjadi khas, tidak tersentuh oleh orang lain. Foque, et.al. (1994) menyebut berpikir linier dalam hukum itu sebagai mencabut hukum dari habitat dan akar budayanya. Apabila Kejagung dalam penegakan hukum kasus Bibit-Chandra terjebak pada cara berpikir linier ini bisa dipastikan bukan kebenaran dan keadilan substansial yang dapat dicapai, melainkan sekadar keadilan formal. Terjadilah trials without truth and justice alias peradilan akal-akalan.Tragis.

Berpikir Progresif

Untuk mengatasi kekurangan pada cara berpikir linier, perlu dihadirkan cara berpikir progresif. Aliran Rotterdam di Belanda telah lama mencermati kelemahan berpikir linier dalam hukum itu.Mereka tidak mau lagi menerima bekerjanya hukum secara final determinative sehingga mengesampingkan cara berpikir yang lain. Peraturan hanyalah buatan manusia, sering ada cacatnya. Peraturan bukanlah segalagalanya. Eksistensi dan esensinya perlu dikritisi dan lebih lanjut sekadar dijadikan kunci pembuka memasuki realitas dan permasalahan y a n g utuh.Aspek politik, ekonomi, budaya, kekuasaan, sosial terkait erat di dalamnya dan oleh karenanya perlu dipertimbangkan secara saksama.

Di Indonesia, konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo (alm) berada pada pemikiran yang sepadan dengan aliran Rotterdam di atas.Berpikir hukum secara progresif tidak sesederhana memencet tombol mesin otomatis,melainkan berpikir dengan bebas dan berani demi keadilan atas dasar kejernihan hati nurani.Di situlah terlihat bahwa moralitas hukum,yakni ”keadilan”, menjadi diutamakan dan ditempatkan secara terhormat di atas persoalan teknisyuridis. Pada tataran aksi,Kejagung boleh dan sah memilih opsi teknis-yuridis apa pun selagi masih dalam koridor keberpihakan pada keadilan substansial.

Deponeering sebagai opsi terakhir oleh Plt Kejagung (Darmono) dikatakan bersifat final atas kasus Bibit-Chandra dan keduanya dinyatakan tak bersalah. Tindakan dan ucapan Darmono itu telah keluar dari tradisi aparat kejaksaan yang terbiasa berpikir linier dan telah memasuki cara berpikir progresif. Perubahan pola pikir (mindset) itu tidak mudah dilakukan. Oleh karenanya, bisa dimaklumi bahwa lahirnya ketetapan deponeeringdiawali dengan anomali suasana kejiwaan alias bingung dan tidak percaya diri. Barangkali terlintas dalam pikiran Darmono tentang risiko besar akan adanya serangan balik dari kubu Anggodo Widjaja maupun DPR yang tidak setuju atas opsi deponeering tersebut.

Pola pikir linier pasti akan mereka maksimalkan untuk mementahkan opsi deponeering itu. Berhadapan dengan kemungkinan itu, rasanya perlu diingatkan bahwa siapa pun yang masih merasa cinta Indonesia hendaklah mampu berpikir hukum yang berbasis kultural bangsa sendiri. Prof Tjip (alm) mengingatkan, hukum yang sudah dipersonifikasikan melalui konsep-konsep abstrak sulit untuk menjadi fasilitator bagi proses dalam masyarakat yang memiliki akar budaya sendiri. Senapas dengan pesan moral itu ingin diingatkan juga bahwa utakatik pasal-pasal sebagai ciri utama berpikir linier dipastikan kontraproduktif bagi kepentingan pemberantasan korupsi di negeri ini. Berpikir dan bertindak secara progresif itu sah, terhormat, dan mulia. Dimensi yuridis-ilmiah membenarkan sikap demikian.

Oleh karena itu, pasca-deponeering KPK beserta para penegak hukum mestinya berani memutar haluan untuk memersepsikan penegakan hukum sebagai jihad memerangi korupsi dan meraih keadilan atas dasar kesadaran dan sensitivitas moral hukum yang tinggi. Selamat berjuang. (*)

Sudjito
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/362527/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar