Minggu, 07 November 2010

Perencanaan Cerdas Mewujudkan Kota Hijau

Senin, 8 November 2010 | 03:38 WIB

Nirwono Joga

Perayaan Hari Tata Ruang 2010, bertepatan dengan World Town Planning Day yang diselenggarakan saban 8 November, terasa sangat aktual dengan peristiwa bencana banjir bandang di Wasior, meletusnya Gunung Merapi, serta gempa dan tsunami di Mentawai.
Apalagi tema yang diusung tahun ini adalah ”Perencanaan Cerdas Mewujudkan Kota Hijau” menjadi relevan dan tepat sebagai upaya merencanakan kota yang tanggap bencana.

Sebanyak 150 kota dan kabupaten dari 497 kota dan kabupaten di Indonesia rawan tinggi diterjang tsunami (Kompas, 2/11). Sebanyak 80 persen kota dan kabupaten berada di pesisir terancam rob, abrasi pantai, intrusi air laut, dan amblesan tanah disebabkan rusaknya hutan bakau pelindung pantai.

Daerah rawan bencana yang tersebar dari Sumatera hingga Papua telah tumbuh dan berkembang menjadi kota sehingga tidak mungkin dikosongkan. Pemahaman kembali Nusantara sebagai negeri kepulauan juga seharusnya menyadarkan para pejabat elite negeri ini lebih serius mengelola pulau-pulau yang tersebar di Indonesia.

Pembangunan infrastruktur transportasi antarpulau (laut dan udara) serta jaringan telekomunikasi dan listrik harus lebih ditingkatkan lagi sehingga tidak ada lagi kesulitan dalam pemberian pertolongan dan pengiriman bantuan saat bencana.

Kesadaran bencana

Rentetan bencana ibu pertiwi seharusnya menyadarkan kisah tentang negeri gemah ripah loh jinawi ini dengan cerita tentang negeri bencana. Kejadian-kejadian bencana terkait iklim sejak tahun 1950 hingga kini telah meningkat sekitar empat kali lipat. Tahun 2003-2005 di Indonesia telah terjadi 1.429 bencana, dengan 53,3 persen di antaranya berkaitan dengan iklim dan hidrologi seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2009).

Adalah keniscayaan bahwa gunung meletus, gempa, dan tsunami akan terus hadir di negeri ini, jarang atau sering, besar atau kecil. Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang bencana itu tidak boleh dilupakan. Kita justru harus mengubah banyak cara berpikir masyarakat dan pemerintah dalam beradaptasi dan memitigasi bencana dan perubahan iklim.

Proses mitigasi bencana harus mengikuti ritme bencana. Kita harus membuka kembali pengetahuan lama, menggali kearifan lokal nenek moyang, dan mencari solusi inovasi baru tentang bagaimana hidup ramah di tanah petaka.

Politik bencana meletakkan prioritas pembangunan kota untuk mengadaptasi dan memitigasi bencana dan perubahan iklim. Manajemen bencana (mitigasi, kewaspadaan, tanggapan, dan pemulihan) adalah satu siklus aktivitas yang berkelanjutan tanpa tergantung dari terjadi-tidaknya suatu bencana. Lokasi rawan bencana dijadikan titik tolak pengkajian, perencanaan, dan pembangunan kota hijau tanggap bencana.

Membangun kesadaran masyarakat, terutama di lokasi rawan bencana. Mitigasi nonfisik dilakukan melalui sosialisasi, penyadaran, penyuluhan, pelatihan, dan geladi berbagai hal terkait dengan gunung meletus, gempa, dan tsunami dengan cara yang menarik dan kreatif. Masyarakat dibekali pengetahuan akan gejala atau ciri-cirinya, dampaknya, hingga upaya evakuasi penyelamatan diri.

Penyampaian efektif dan efisien adalah melalui kegiatan kebudayaan daerah lokal, seperti pengajian, pertunjukan seni daerah (wayang, ketoprak, lenong, dan lain-lain), hingga kontes dangdut. Hasilnya, masyarakat tahu persis apa yang harus dilakukan, cara memberi pertolongan pertama, ke mana akan pergi menyelamatkan diri, hingga bagaimana mengelola tempat evakuasi bencana (persediaan air minum, makanan, obat-obatan, pakaian dalam, dan lain-lain). Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana jauh lebih penting dan terbukti lebih efektif daripada menggantungkan diri pada teknologi peringatan dini yang sering kali ngadat saat dibutuhkan.

Kota tanggap bencana

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah kota dan kabupaten harus mengatur ulang tata ruang wilayah sesuai jenis dan tingkat kerawanan bencana yang ada.

Dengan begitu, perencanaan tata ruang yang cerdas adalah mewujudkan kota hijau yang tanggap bencana untuk mengantisipasi dan memitigasi berbagai bencana, baik bencana alam (gunung meletus, gempa, tsunami) maupun bencana ekologis (banjir, rob, abrasi, intrusi, amblesan, kekeringan, kebakaran) akibat perubahan iklim. Pembangunan kota tanggap bencana sangat penting mengingat kota merupakan wilayah padat bangunan dan padat penduduk sehingga sekecil apa pun bencana akibat gunung meletus, gempa, atau tsunami menghantam kota pasti akan menimbulkan korban jiwa dan harta yang banyak.

Kota menyediakan jalur-jalur evakuasi dan ruang evakuasi yang memadai, di mana infrastruktur ruang terbuka hijau sebagai tulang punggungnya. Jalur evakuasi dilengkapi peta lokasi, rambu-rambu petunjuk evakuasi, dan ditanami pohon-pohon pelindung yang juga berfungsi sebagai tempat evakuasi.

Taman kota atau lapangan olahraga dirancang khusus siap bermetamorfosis menjadi ruang evakuasi. Taman dan lapangan menyediakan modul untuk pemasangan cepat tenda-tenda darurat untuk tempat tinggal sementara, dapur umum, sekolah, dan ruang bermain anak. Taman dilengkapi toilet umum, pompa hidran untuk cadangan persediaan air bersih, dan cadangan listrik berbasis energi sel surya. Pada hari biasa taman dapat menjadi daerah resapan air, paru-paru kota, dan tempat wisata warga.

Bentuk-bentuk kearifan lokal sebagai sumber referensi dan inspirasi harus terus dikembangkan agar kemampuan beradaptasi hidup di kawasan bencana dan melakukan mitigasi atau berlatih untuk menghadapi bencana siap siaga selalu.

Arsitektur bangunan rumah dan gedung dikembangkan tanggap bencana, ramah lingkungan, dan tahan gempa. Konstruksi bangunan (rumah) panggung berbahan kayu telah terbukti mampu mengikuti ritme gempa dapat ditransformasikan ke dalam bangunan modern dan menjadi acuan pembangunan perumahan, perkantoran, dan fasilitas publik di nusantara dengan tetap mempertahankan bentuk arsitektur lokal yang sangat kaya.

Untuk kota pesisir, kawasan tepian pantai dibangun sabuk hijau berupa hutan pantai (kelapa, cemara laut, waru laut, ketapang, nyamplung) atau hutan mangrove (bakau, nipah) setebal 100 meter-200 meter dari garis pantai untuk meredam tsunami, abrasi pantai, banjir, rob, intrusi, amblesan, dan mengembangkan ekosistem hutan mangrove yang kaya keragaman hayati. Kawasan lindung ini harus bebas bangunan.

Kota dapat meminimalkan kerugian jiwa, harta benda, fasilitas publik, serta aktivitas sosial dan ekonomi warga. Kota didukung sarana dan prasarana infrastruktur ramah lingkungan, transportasi publik, lapangan kerja yang memadai, dan ketersediaan RTH minimal 30 persen. Kota menjadi sehat, hemat energi, ramah lingkungan, dan budaya berkelanjutan.

Kita tak tahu pasti kapan gunung meletus serta gempa dan tsunami selanjutnya akan datang. Kini sembilan belas gunung berapi tengah dalam keadaan status siaga dan waspada. Namun, kita tetap harus berusaha mengantisipasi, beradaptasi, dan memitigasi bencana. Mewujudkan kota hijau tanggap bencana merupakan perencanaan tata ruang yang cerdas.

Nirwono Joga Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/08/03385858/perencanaan.cerdas.mewujudkan.kota.hijau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar