Minggu, 07 November 2010

Kota Hijau

Senin, 8 November 2010 | 03:37 WIB

Eko Budihardjo

”Insist on the rights of humanity and nature to coexist in a healthy, supportive, diverse and sustainable cities” (The Hannover Principles, 1992).

Gerakan menciptakan kota hijau yang gegap gempita, sampai-sampai ada yang berani menyebutkannya sebagai Revolusi Kota Hijau (Yudelson, 2007), sesungguhnya sudah berawal semenjak empat dasawarsa yang silam.
Salah satu di antaranya adalah ”Kita, selaku manusia, seperti dewa-dewa, jadi sebaiknya kita harus memperlakukan Bumi dengan baik. Kalau tidak, kita akan mengubah planet yang surgawi ini menjadi neraka.”

Bencana-bencana yang bertubi-tubi menimpa Tanah Air kita beberapa waktu terakhir ini sudah menunjukkan terbuktinya peringatan yang keras di atas. Alam yang dilukai oleh manusia membalas dengan amat dahsyat. Kasus lumpur panas Lapindo, banjir di Wasior, serta tanah longsor dan jalan ambles di Jakarta bukanlah murni bencana alam. Semua itu juga akibat ulah manusia yang menyakiti atau bahkan memerkosa alam.

Di berbagai negara maju kenyataan pahit itu sudah disadari dan dipahami. Pencegahan serta penanggulangannya diupayakan. Di Tanah Air kita sangat disayangkan bahwa masih belum tinggi kadar kecerdasan ekologis para elite di puncak kekuasaan.

Karena di milenium ketiga ini Indonesia sudah menjadi negara yang meng-”kota” (urbanizing country) dengan lebih dari separuh penduduknya tinggal di kawasan perkotaan, upaya menciptakan kota hijau layak digalakkan.

Prinsip utama yang saya kutip di awal tulisan ini, yaitu tentang hak kemanusiaan dan alam agar diakomodasi dalam pembangunan kota supaya bisa sehat, beragam, dan berkelanjutan, mesti dipegang teguh oleh semua pihak.

Urbanisme baru

Pada hakikatnya gerakan Kota Hijau seiring sejalan dengan gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism) yang dirintis pada awal 1980-an oleh perencana kota dan arsitek seperti Andres Duany dan Elizabeth Plate-Zyberk. Ada beberapa konsep kunci yang dianjungkan untuk menangkal merebaknya kecenderungan urbanisme yang brutal selama ini.

Pertama, tata guna lahan kota yang menghargai alam, menjaga badan air, topografi, dan ruang terbuka. Kedua, orientasi pada pejalan kaki (pedestrian) dengan pola lingkungan swasembada sehingga warga kota bisa berbelanja, berekreasi, bersekolah, bersosialisasi, cukup dengan berjalan kaki saja.

Ketiga, pendayagunaan sistem transportasi umum terpadu dilandasi prinsip Transit Oriented Development, dengan menempatkan kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dekat dengan stasiun atau simpul jasa transportasi. Keempat, memanfaatkan berbagai metode untuk memperlambat laju kendaraan agar jalan raya menjadi lebih aman dan nyaman, lazim disebut dengan traffic calming. Kelima, intensifikasi penggunaan lahan agar kota menjadi lebih kompak, dengan prinsip pusat-pusat jamak, polisentris, atau multicentre.

Apabila direnungkan dalam-dalam, sebetulnya nenek moyang kita dengan aneka kearifan lokalnya sudah menerapkan kelima konsep kunci tersebut. Misalnya, Bali dengan falsafah Tri Hita Karana yang selalu mempertautkan tiga komponen: alam–manusia-Tuhan dalam saling hubungan yang harmonis. Juga pola tata ruang dan kehidupan aneka kampung, mulai dari Kampung Naga, Kampung Kauman, sampai dengan kampung-kampung di berbagai kota besar di Indonesia juga sudah mendahului gerakan Urbanisme Baru.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar baru-baru ini, Prof Bobi dari Universitas Gadjah Mada pun mengungkapkan keunikan kampung kota yang sarat dengan karakter dan kohesi sosial sehingga layak dipertahankan eksistensinya. Tidak justru digusur dan dihapus begitu saja dari peta kota modern.

Pertumbuhan cerdas

Guna merealisasikan gagasan Kota Hijau, kiranya perlu pula diserap konsep Pertumbuhan Cerdas agar kota bisa berkelanjutan, yang dipelopori antara lain oleh Portney, yang dengan bukunya Taking Sustainability Seriously (2003) menyatakan: pembangunan kota seharusnya memperbaiki mutu hidup warga atas nama peradaban umat manusia. Keterkaitan yang kental antara warga dan kotanya dapat diibaratkan seperti kerang dengan cangkangnya. Amat kukuh, berfungsi dengan baik, dan sangat menawan.

Penerapan konsep Pertumbuhan Cerdas untuk menciptakan kota hijau, kota berkelanjutan, atau kota layak huni yang dinilai cukup berhasil dapat disimak di kota Portland dan Seattle. Portland dikenal dengan pengaturan pemintakatan lingkungan (environmental zones) yang menjadi fokus utama rencana kotanya. Seattle memberikan contoh dalam mengembangkan gagasan desa-kota atau urban villages dengan pola permukiman tercampur yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan sosialnya yang lengkap dan terpadu sehingga menumbuhkan kohesi sosial antarwarga.

Yang tak kalah menarik adalah bahwa dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pemantauan pembangunannya, warga kedua kota tersebut ikut berperan serta secara aktif. Para profesional perencana kotanya lebih bertindak sebagai mediator, advocacy planners, atau perencana kaki telanjang.

Untuk merintis upaya pembangunan kota hijau dengan prinsip pertumbuhan cerdas di segenap pelosok Tanah Air kita, kiranya wajib dicermati aspek prosedural dan substansialnya.

Secara prosedural, perencanaan yang demokratis dan transparan dengan pelibatan para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat atau warga kota merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) yang tidak boleh dinafikan.

Secara substansial, diperlukan penegakan prinsip-prinsip keadilan lingkungan, pelestarian sumber daya alam, kontrol pertumbuhan penduduk, pengembangan ekonomi rakyat, serta jaminan ketersediaan air, energi dan pangan bagi segenap warga kota. Memang cukup sulit, kompleks, dan terasa berat, tetapi bukannya mustahil dilaksanakan asalkan dilandasi oleh niat tulus dan tekad membaja.

Eko Budihardjo Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/08/0337541/kota.hijau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar