Sabtu, 06 November 2010

Pasca Bencana

PostDateIconSenin, 25 Oktober 2010 00:00 | PostAuthorIconDitulis oleh Mukti Hartono

Sebuah kota tak berpenghuni. Dihiasi oleh bangkai-bangkai mobil, rumah-rumah kosong, dan toko-toko korban penjarahan. Entah kapan terjadi. Mungkin bertahun-tahun silam. Agak jauh terlihat reruntuhan gedung pencakar langit. Seperti sebuah dokumentasi bisu keangkuhan para manusia pada masa itu. Masa-masa puncak peradaban masa lalu. Semua hancur dalam sekejap oleh sebuah bencana.
Seorang lelaki berjalan melintasi sebuah area pertokoan. Atau lebih tepat bila disebut bekas area pertokoan. Sebuah keajaiban dari Sang Pencipta melihat masih ada tanda-tanda kehidupan. Meski cuma seorang lelaki.

Semenjak peradaban hancur akibat bencana besar, Heru mencoba bertahan hidup dengan berkelana. Kadang ia bertemu dengan beberapa orang dalam kelompok-kelompok kecil. Mencoba membangun kembali rumah-rumah mereka. Mencoba membangun kembali peradaban pasca bencana. Terkadang mereka berbaik hati untuk memberikan sedikit makanan. Tetapi tidak jarang juga ia hendak dimakan. Sebab di zaman ini, orang akan melakukan apapun untuk bertahan. Termasuk memakan sesama bila perlu. Secara harfiah, bukan kiasan.

Lelaki itu berhenti di sebuah papan iklan besar. Sebuah iklan rokok. Dipandangi iklan itu beberapa saat. Lalu menghembuskan nafas panjang dan melanjutkan perjalanan.

Tidak jauh dari tempat ia berdiri, terlihat selembar potongan koran lama. Heru memungut koran itu kemudian membaca salah satu kolom. Ia masih ingat cara membaca. Meski sudah lama ia tidak membaca.

“...Perang yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia saat ini, dapat dikategorikan sebagai Perang Dunia Ketiga. Mengenai dampak radiasi akibat senjata nuklir yang digunakan oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Korea Utara, Iran, serta beberapa negara di Eropa, diperkirakan akan memperparah dampak dari pemanasan global...”

Heru melihat  tanggal di koran itu. Entah berapa tahun lalu ia tidak tahu. Ia tidak pernah lagi menghitung tanggal pasca bencana. Terakhir ia ingat berulang tahun ke lima belas. Ketika seluruh keluarga masih ada. Ketika ia sering membantu orang tua berjualan di kaki lima. Masa-masa indah penuh kenangan. Lalu entah kenapa ia merasa kesal. Kesal akan perang. Kesal akan nasib. Dan kesal akan keadaan. Di remas-remas potongan koran itu lalu ia lemparkan jauh-jauh.

Tak terasa matahari merah mulai tenggelam. Heru memilih salah satu toko kosong untuk dijadikan tempat bermalam. Makan malam dengan setoples biskuit berjamur. Minum seteguk dari air berbekalan. Dan tidur tanpa membuat perapian. Dingin memang. Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian para kanibal. Bukan tidak mungkin mereka bermukim di sekitar sini.

Dalam tidur Heru bermimpi. Mimpi tentang sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Jauh dari kemacetan dan tekanan. Heru bermimpi tentang usaha bengkel kecil-kecilan. Meski kecil namun mencukupi. Juga secangkir teh dan pisang goreng. Disiapkan penuh cinta oleh Sang Istri. Dan anak-anak mereka bermain di halaman.

***

Tetes air hujan dari genting bolong membangunkan Heru. Hari masih terlalu pagi. Ia mencoba untuk tertidur lagi. Berharap mimpi semalam akan terulang. Atau mungkin terbangun dan mendapatkan itu semua bukan mimpi. Tapi dingin tak memberikan izin untuk ia terlelap lagi.

Heru memeriksa perbekalan. Persediaan semakin menipis. Biskuit basi tiga potong. Air setengah botol. Tak mungkin bertahan lama. Mau tidak mau ia harus mencari kelompok lain untuk mendapatkan perbekalan. Minta baik-baik. Mencuri bila perlu. Cuma itu cara bertahan hidup di zaman seperti ini.

Hujan mulai reda dan mendung beranjak pergi. Heru melanjutkan perjalanan tanpa tujuan pasti. Menjauhi tempat terbuka. Menjauhi keramaian. Menjauhi suara motor. Sebab berita tentang geng motor sudah sampai ke telinga Heru. Membunuh, menjarah, memperkosa, dan membakar. Beringas dan tak beradab. Meski untuk ukuran zaman tanpa peradaban.

Namun sejak kemarin tidak satu orang pun ia temui. Tidak satu kelompok pun. Entah kanibal atau geng motor ataupun para penjarah. Padahal belasan tahun lalu kota ini sangat padat. Belasan tahun lalu kota ini adalah Ibukota. Sebelum tsunami, gempa besar, kerusuhan massa, dan entah apa lagi.

Di tengah kesendirian Heru bergumam. Berbicara sendiri. Setengah sadar setengah tidak. Mungkin karena sudah seminggu ia tidak bicara dengan orang lain. Mungkin karena sarapan biskuit basi dan air kali. Ia tahu ia tidak gila. Cuma butuh teman bicara. Sekedar untuk memenuhi kodrat sebagai makhluk sosial. Terakhir kali ia berbicara tentang “Tanah Impian” dengan pengelana lain. Sebelum pengelana itu menembak kepala sendiri. Bosan berkelana tanpa tujuan. Bosan akan derita tak berkesudahan. Heru sempat terpikir untuk mengambil pilihan serupa. Tapi tidak jadi. Mungkin lain kali. Mungkin hari ini. Sebelum ia mati kelaparan.

Berjam-jam berjalan. Lelah dan semakin bosan. Heru tiba di sebuah pemukiman. Berhati-hati ia mengintip untuk memastikan. Tidak bermotor. Tidak ada kepala manusia untuk hiasan. Berarti aman.

Heru memberanikan diri untuk mendekat. Perlahan-lahan sambil melambaikan tangan. Seolah memberitahukan ia datang dengan damai. Satu orang melihat. Disusul orang kedua. Dan setengah pemukiman berdatangan. Sebagian terlihat curiga. Sebagian lagi penasaran.

Seorang lelaki tua mendekat. Mungkin pemimpin mereka. Dikawal dua orang bersenjata pipa besi dari belakang.

“Mau apa?”

“Minta makan. Kalau boleh. Sekalian minum.”

“Minta makan?” lelaki tua itu diam sejenak. Kemudian berkata, “Mau ditukar pakai apa?”

“Kerja kasar bisa. Benerin mesin bisa. Ngajarin baca tulis juga bisa.”

Lelaki tua terdiam lagi. Mempertimbangkan tawaran Heru. Lalu menjawab, “Tunggu sebentar.” Kemudian ia berunding dengan para warga.

***



Heru terbaring di kasur empuk dengan tubuh terbungkus selimut. Perut penuh. Mata mengantuk. Lelah sehabis bekerja. Menggali sumur. Membetulkan genting. Mengajarkan baca tulis. Perlahan ia pun mulai terlelap. Dibuai oleh mimpi tentang dunia nun jauh di sana. Di mana Sang Istri menghidangkan makanan. Dan anak mereka tumbuh dewasa. Tidak ada kesendirian tak berkesudahan. Tidak ada pengem­baraan tanpa tujuan. Tidak perlu makan biskuit basi atau minum air kali. Tidak takut para manusia pemakan sesama. Dunia tempat peradaban tidak tersapu oleh bencana.



Tentang Penulis

Iman Mukti Hartono adalah seorang cerpenis tinggal di Surakarta. Selain fokus dengan cerita-cerita anak, Mukti juga menulis cerpen dengan tema-tema lain seperti fiksi ilmiah dan misteri. Bila tidak sedang menulis, menghabiskan waktu luang dengan traveling, nonton film, dan mencari jangkrik.
http://horisononline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=121:pasca-bencana&catid=4:cerpen&Itemid=5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar