Sabtu, 06 November 2010

Lenggang

PostDateIconSenin, 25 Oktober 2010 00:00 | PostAuthorIconDitulis oleh Irzen Hawer |

Dari cara dia bicara, terlihat apa yang dibicarakannya seolah-olah amat penting. Sangat serius. Wajahnya dimajukan ke depan - ke arah lawan bicaranya. Padahal yang dibicarakannya sering soal remeh-temeh. Kalau hal-hal yang besar, dia jarang dibawa-bawa orang. Dia kebagian selalu masalah-masalah yang kecil.
Kerut-kerut keningnya, gerinyit-gerinyit alisnya adalah ciri khasnya waktu bicara. Dan lawan bicaranya tidak pernah betah berhadapan dengan dia. Dia sangat membosankan. Dia suka memotong pembicaraan. Baru mulai lawan bicaranya ngomong langsung dipotongnya. Dia suka memonopoli pembicaraan. Padahal pendapatnya, analisanya, dugaannya terhadap persoalan yang sedang dibahas amatlah sangat dangkal. Dan lawan bicaranya tidak punya kesempatan membantah pernyataannya.

Akibatnya !

Siapa yang terjerat dalam pembicaraannya, terimalah nasib. Amatlah sulit melepaskan diri. Dia bicara cepat – tegang – serius, menatap lekat-lekat mata lawan bicaranya.

Umur 35 tahun dia belum punya istri. Belum bertemu jodoh yang sesuai.

Lenggang sebetulnya adalah lelaki ideal untuk jadi seorang suami. Tampangnya tidak jelek betul. Badannya sedang dan berotot. Dia pekerja keras. Pagi-pagi sekali dia telah tiba di sawah. Sawah sepiring satu-satunya milik emaknya. Karena emaknya sudah tua, dialah yang menggarapnya. Kadang dia menanam padi, kadang dia menanam cabe. Tetapi karena sawah tersebut tidaklah begitu luas, hasilnya pun juga tidak seberapa.

Kalau tidak musim ke sawah dia sering diajak bertukang, menjadi pekerja kasar, yaitu tukang aduk semen dan tukang angkat batu. Atau dia menerima upah di sawah atau di ladang orang, menyiangi sawah yang akan dibajak, memetak-metaki ladang cabe. Pokoknya Lenggang tidak pernah meletakkan tangannya di rumah. Ada-ada saja pekerjaannya.

Kalau sosialnya, dia nomor satu.

Kalau ada kematian dia nomor satu datang. Urusan menggali kuburan dia ahlinya. Dengan tenaganya yang besar, dan puji-pujian dari teman-temannya, dia tidak tau diri menggali.

Dia amat suka pujian.

Kalau ada helat perkawinan  tenaganya selalu di pakai orang. Mengangkat-angkat yang berat, memasang tenda, mengangkat kursi.

Lenggang telah milik orang banyak.



Tapi soal istri? Tunggu dulu.

Syaratnya tidak muluk-muluk!

Siapa perempuan yang mau memberinya sebuah vespa dia mau kawin dengannya.

Tiap malam Lenggang mimpi ingin memiliki vespa.

Vespa katanya, memiliki wibawa yang tinggi dibanding kendaraan roda dua yang lain. Lenggang sering berhenti melangkah bila dari depan atau  dari belakang terdengar mesin vespa, dia terkagum-kagum melihat vespa tersebut, dan dia membayangkan yang duduk di atasnya - dengan badan lurus - kepala ditegakkan dan berkaca mata hitam adalah dirinya.

Gadis mana di kampung itu yang sanggup memberinya vespa?

Vespa paling murah?, seken dan tahun yang tinggi sekalipun tetap namanya vespa. Sekian harganya!

Sebetulnya ada ! Sebut saja Diah. Gadis kampung seberang. Kakak Diah Mamat, asal adiknya yang hampir berumur 30 tahun itu punya laki, maka tidak keberatan membelikan Lenggang vespa.

Tetapi Lenggang? Mendengar vespa ini dia amaaat setuju.

Maka setelah dia ditawari sebuah vespa asal dia mau jadi suami Diah,  maka sejak itu Lenggang bercerita ke sana ke mari. Setiap orang dimintainya pendapat. Asal ada orang yang berdiri apalagi duduk dekatnya – asal kenal saja dia dengan orang itu, maka berurailah cerita dari mulutnya tentang tawaran itu.

Suatu sore Lenggang bertandang ke rumah Tini, adik sepupunya. Tini adalah satu-satunya familinya yang mau mendengar keluhnya. Ibu mereka beradik kakak. Tini adik sepupunya ini telah beranak 4 orang.

“Si Karim melarang. Katanya Si Diah itu pernah minggat seminggu. Lalu dia diantarkan oleh seorang laki-laki dengan mobil ke rumahnya,” kata Lenggang mulai pada persoalan inti.

“Uda selidiki dahulu. Kalau Uda ceroboh menolaknya nanti Uda menyesal. Vespa Da….vespa. Kapan Uda akan memakai vespa lagi?,” kata Tini sambil meletakkan kopi.

“Tek Nuri di kedainya kemaren juga melarang. Katanya kakak dari nenek Si Diah itu pernah gila. Pernah dipasung di belakang rumahnya. Berarti dia keturunan orang gila. Bingung aku Ncing. Dari 27 orang yang aku mintai pendapat, hanya 7 orang yang menyokong. 10 orang melarang dan 10 orang lagi tidak berkomentar apa-apa.”

“Apa Uda sudah bertemu dengan Si Diah itu. Lihat dulu orangnya. Dekatilah dulu orangnya.”

“Apa Ncing tahu orangnya?” tanya Lenggang ber ‘Ncing’ pada Tini.

“Tidak. Yang aku tahu, hanya Si Niah eteknya yang langiah itu.”

“Apa tidak salah Uda berkunjung ke sana Ncing?”

“Apa salahnya? Memang begitu seharusnya Da. Uda lihat orangnya dulu. Adakanlah perkenalan dulu. Setelah tukar pikiran, Uda bisa menilainya. Udalah yang memutuskannya nanti, diterima atau ditolak, daripada Uda minta pendapat ke sana ke mari.”

“Ncing…, kalau Uda datang ke sana, jangan-jangan mereka beranggapan Uda setuju kawin dengan Si Diah itu. Atau mereka merasa dapat harapan. Kalau jadi Uda dengan Si Diah itu tidak apalah, tapi kalau tidak jadi kan rusak pula hubungan Uda dengan mereka. Andai mereka berlapang dada dan mereka menganggap itu tidak jodoh - tidak ada persoalan, tetapi kalau mereka sakit hati, mereka merasa dipermainkan, lalu mereka membalas sakit hatinya. Kan ada pepatah minang ‘ndak lalu dandang di aia di gurun di tanjakkan’. Nanti Uda diguna-gunainya. Gara-gara Uda menolak lamarannya Uda jadi gila.”

“Uda….Uda kalau datang ke sana harus berterus terang. Katakan bahwa Uda bersilaturahmi dulu. Katakan bahwa Uda ingin bertemu dengan Si Diah itu. Benarkan ? Uda belum pernah bertemu dengan namanya Si Diah itu?”

“Benar Ncing entah bagaimana bentuk rupanya Uda tidak tahu.”

“Ha….justru itu Uda perlu bertamu ke sana. Uda belum melihat bentuk rupa Si Diah itu, Uda sudah bertanya kian kemari.”

“Terus terang Uda tidak berani datang ke sana Ncing. Harusnya Si Diah dan kakaknya itulah yang datang menemui Uda. Untuk memperlihatkan pada Uda rupa Si Diah itu.”

“Tidak ada adatnya di negri kita ini  perempuan memamer-mamerkan dirinya ke rumah orang laki-laki Da. Biasanya masalah lihat-melihat ini kepintaran orang laki-lakilah mengakalinya. Dalam hal ini laki-laki dituntut lebih agresif. Memang Da, acara lihat melihat ini tidak ada adat yang mengaturnya. Adat pergaulanlah yang mengaturnya.”

“Yang datang duluan kan pihak dia Ncing. Bukan Uda yang berkehendak. Ya, dialah yang memperlihatkan barangnya. Dia yang mau menjual. Nanti kalau telah cocok harga baru barang diangkat.”

“Da….umur Uda sudah 35, kini ada orang yang mau dengan Uda, dan mau pula memberi Uda sebuah vespa. Apa lagi Da? Uda lihatlah ke rumahnya Si Diah itu. Cukup matanya atau cukup telinganya atau tidak. Kalau malu datang sendirian, bawa teman. Ini maksud Tini. Bukan masalah siapa yang mau menjual siapa yang mau membeli?”

Kali ini Lenggang mengangguk-angguk. Termakan betul baginya kata-kata adik sepupunya itu. Tak lama sudah itu Lenggang minta diri.



Lengang mencari-cari setelan baju dan celana yang terbaik.

Ada !, tapi telah terlalu sering dipakai. Sepatu ? Seingatnya dia belum pernah punya sepatu. Dia memegang sandal satu-satunya. Mereknya tidak ada lagi, tumitnya habis sebelah kena pijak. Akibatnya sandal tersebut kalau diletakkan akan miring.

Dia harus datang sendirian sore nanti ke rumah Si Diah. Dia tidak membutuhkan teman. Teman-teman akan dibawa untuk bergembira-gembira saja nanti. Untuk memutuskan perkara besar ini harus dia sendirian. Baju, celana dan sandal ini telah diputuskannya untuk setelannya sore nanti, tanpa pakai ikat pinggang.

Sorenya Lenggang menuju rumah Diah. Rumahnya tidak begitu jauh kira-kira 30 menit jalan kaki. Kakak Diah, Mamat, yang menemuinya tempo hari telah menunjukkan rumahnya. Yaitu rumah cat biru di kampung seberang itu.

Tidak begitu sulit Lenggang menemui rumah cat biru. Dengan hati berdebar-debar dan langkah yang dimantap-mantapkan dia memasuki pekarangan rumah semi permanen. Halaman rumah tersebut agak sempit. Ada beberapa pot bunga tanpa bunga yang tersusun tidak rapi di samping pintu masuk. Di halaman tergeletak beberapa pot  yang telah retak-retak. Lenggang melihat ke pintu masuk yang terbuka.  Penghuninya tidak kelihatan, rumah itu kelihatan sepi-sepi saja. Timbul keraguan pada Lenggang. Dia ingin berbalik, tetapi tidak jadi,  karena ada bayangan gerakkan seseorang dari dalam.

“Assalamualaikum,” kata Lenggang dari halaman.

“Aaa iiii uuuunn allllam.” Tiba-tiba di ambang pintu telah berdiri seorang perempuan kira-kira umur separo baya. Perempuan tersebut kurus kering, dan wajahnya penuh dengan bopeng, sementara rambutnya awut-awutan.

Lenggang terpana.

“Apakah ini rumah Diah?.” tanya Lenggang setelah menenangkan hatinya.

“Iii…ii…iya,” jawab perempuan itu sambil mencoba tersenyum.

Melihat dia tersenyum Lenggang terperanjat. Perempuan tersebut memperlihatkan giginya yang hitam-hitam.

“Si Diah mana?,” kata Lenggang.

“Aaa..wak iii….aahhh.”

Lenggang terkejut.

“Kamu Diah?” tanya Lenggang penasaran.

Gadis itu mengangguk sambil mencoba tersenyum. Lenggang seperti melihat hantu. Tanpa minta izin Lenggang membanting kaki dan membalikkan badannya dan segera meninggalkan halaman itu. Ter­dengar perempuan itu ketawa-ketawa cekikikkan.

Gila !Bentak Lenggang dalam hati.

Mamat keparat! Rutuknya.

Adiknya gila diberikannya padaku.

Hati Lenggang sangat panas. Dia merasa dipermainkan Mamat. Dia sangat geram. Matanya memerah. Tiba-tiba dia melihat sebuah kaleng susu kosong tergeletak di jalan, ditendangnya kuat-kuat. Kaleng yang jadi korban kekesalan Lenggang itu melayang menuju kolam ikan di pinggir jalan itu.

Teeeennggg!, kaleng tersebut membentur wc papan di pinggir kolam. Orang tua yang mencangkung di dalamnya terperanjat, dan berdiri. Karena Lenggang satu-satunya orang yang ada di situ, orang tua itu mempelototinya. Sebelum orang tua itu bicara, Lenggang cepat-cepat melangkah. Langkahnya panjang-panjang meninggalkan tempat itu.

Di penurunan di bengkolan jalan menuju kampungnya Lenggang memungut sebuah limau besar yang telah busuk sebesar buah kelapa. Dengan geram dia melemparkannya sekuat tenaga ke dalam jurang.

Braaak ! Buah limau busuk itu jatuh dia atas atap seng pondok di dasar jurang. Tiga orang laki dan perempuan terpekik berhamburan ke luar dari pondok itu. Lenggang terpana menatap ke bawah. Cepat, dengan langkah seribu dia lari meninggalkan lokasi itu.

Sejak kejadian itu Lenggang jarang ke luar rumah. Yang selama ini dia tidak bisa hidup tanpa orang lain, kini dia menghindari berjumpa dengan orang-orang. 7 orang yang menyokongnya untuk menerima Si Diah kemaren, kalau berjumpa tidak ditegur-tegurnya lagi bahkan dimusuhinya. 10 orang yang melarangnya, bila berjumpa disalami erat-erat.  10 orang yang tidak memberikan pendapat apa-apa bila berjumpa dianggukinya ditambah sedikit senyum. Dan dalam hatinya kalau dia bertemu dengan yang namanya Mamat akan dihajarnya.

Dan akhir-akhir ini, di jalan kampungnya itu ada seorang  gadis memakai vespa. Kadang-kadang 2 atau 3 kali bolak-balik melewati jalan depan rumahnya.  Gadis ini dia tahu betul, bukanlah berasal dari kampungnya.

Kini terdengar mesin vespa gadis itu lagi. Lenggang cepat mengintip lewat jendela. Gadis tersebut hitam manis. Rambutnya tebal dan badannya langsing. Lenggang menelan air ludahnya. Dia seperti melihat bidadari, dia suka gaya  gadis itu dan…dan yang paling disukainya lagi vespa  gadis itu sangat keren.

Lenggang mengkhayal-khayal.

Yang membawa vespa itu yang cocoknya adalah dirinya, gadis manis itu sebaiknya duduk di belakang, supaya gadis itu tidak jatuh, tangan kanan gadis itu melingkari pinggangnya. Dia, Lenggang pemuda yang beruntung, dengan badan tegap dan menatap ke depan dan kepala sedikit terangkat terbang dengan vespa. Menyusuri bukit menuruni lembah.

Tiba-tiba dia ingat di harus ke simpang hari ini, dia akan membeli pupuk  2 kilo, kebetulan rokoknya telah habis pula. Sejurus kemudian Lenggang telah menghambur ke halaman dan terus menuju jalan besar.

Di pendakian jalan menjelang sampai di simpang, dia lihat gadis yang memakai vespa tadi berhenti. Kelihatannya vespa gadis tersebut mogok. Dia payah mengengkol-engkol. Namun vespa tersebut tetap diam. Setelah Lenggang tiba dekat gadis tersebut, spontan mata gadis tersebut menatapnya penuh harap.

“Tolong Da….,” mohon gadis tersebut.

Lenggang dulu waktu ayahnya hidup dia punya vespa. Sejak ayahnya meninggal, vespa itu terjual. Jadi banyak sedikitnya penyakit vespa dia telah paham. Kalau ini penyakitnya, kalau tidak bensinnya habis, pasti businya kotor, pikirnya sambil menghampiri gadis itu.

“Mari Dik,” kata Lenggang meraih stang vespa tersebut. Leng­gang mengengkolnya beberapa kali. Tetap tidak hidup. Lalu Lenggang memiringkannya dan mengengkol lagi tetap tidak hidup. Kemudian Lenggang memeriksa bensinnya.

Gadis tersebut berdiri di pinggir memperhatikan Lenggang. Lumayan juga pemuda ini, pikirnya. Badannya tegap, cekatan dan penuh perhatian. Dia suka pemuda tipe ini.

“Nama Uda siapa?” tanyanya.

Lenggang terkejut tiba-tiba ditanyai begitu.

“Lenggang,” jawabnya singkat sambil memeriksa busi.

“Uda tinggal dekat sini?” tanya gadis itu.

“Ya …rumah Uda itu,  di dekat belokkan jalan itu,” kata Lenggang sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan bajunya. Mendengar jawaban Lenggang hati gadis itu berdebar. Mungkin ini yang dimaksud Uda Mamat, kata hatinya. Mudah-mudahan benar.

“Eh   nama adik siapa?, dan di mana tinggalnya?” balas Lenggang yang bertanya.

“Mardiah Da, awak tinggal di kampung seberang,” jawab gadis itu mendekat. Lenggang mencoba kembali mengengkol vespa tersebut. Tetap tidak mau hidup.

“Bensinnya yang hampir habis  Dik. Di simpang itu ada orang menjual bensin,” kata Lenggang menunjuk kedai yang tidak jauh dari situ.

“Tolong Da….” kata gadis itu sambil menatap jalan yang mendaki itu.

“Baiklah,” kata Lenggang mulai mendorong vespa tersebut. Tidak berapa lama mereka sampai di tempat orang menjual bensin. Setelah tangki vespa penuh dengan bahan bakar, Lenggang mengengkolnya. Sekali engkol langsung hidup. Waktu mesin telah hidup gadis itu memijat-mijat lengan kanannya.

“Mengapa tangan Adik?” tanya Lenggang penuh perhatian.

“Agak sedikit ngilu Da, gara-gara menahan berat vespa”

“Bisa adik membawa vespa ini?” tanya Lenggang. Gadis itu hanya manggut-manggut sambil terus memijat-mijat pergelangan tangannya.

“Baik biar Uda antarkan adik pulang. Naiklah.”

Kemudian di jalan kampung itu nampaklah Lenggang memakai vespa dengan memboncengi seorang gadis manis. Orang-orang yang berpapasan dengan Lenggang tercengang. Makin tercengang orang-orang yang memandangnya makin bangga Lenggang.

Mimpi apa aku semalam, bisik hatinya.

Atas petunjuk  gadis yang duduk di belakangnya, kini dia membelokkan vespa itu ke sebuah pekarangan rumah yang cukup luas di kampung seberang itu. Setelah berhenti, Lenggang terkagum-kagum melihat rumah megah yang bercat biru muda itu. Gadis tersebut cepat meloncat turun dan berlari masuk rumahnya. Tiba-tiba dia telah ke luar dengan kakak laki-lakinya. Demi melihat kakak laki-laki gadis itu, Lenggang terkejut. Dan kakak laki-laki gadis itu demi melihat siapa yang mengantarkan adiknya pulang juga tak kalah terkejutnya.

“Mamat!”

“Lenggang!”

Setelah keduanya saling berpandangan, Mamat tersenyum. Lenggang membuang muka. Kemudian lengan Lenggang di tarik Mardiah masuk rumah. Setelah Mardiah menghidangkan minuman, maka berceritalah dia pada kakaknya tentang kejadian di jalan tadi.

Selesai Mardiah bercerita, kini giliran Mamat pula yang bercerita.

Selesai ke dua kakak beradik itu bercerita, Lenggang menyimpulkan, bahwa gadis yang ditolongnya itulah kiranya calon istrinya, bukan gadis gila yang ditemuinya tempo hari. Setelah berbasa-basi dan saling bercerita, Lenggang minta diri.

Mereka bersalaman.

“Tunggu!,” kata Mamat sambil mengambil kunci vespa.

“Lenggang, sekarang kau peganglah vespa itu. Kau coba-cobalah  mesinnya,” kata Mamat meraih telapak tangan Lenggang sambil menyerahkan kunci ke genggaman Lenggang. Lenggang ngak ngik nguk saja menerimanya. Waktu vespa itu telah dihidupkannya tiba-tiba Mardiah telah menghambur kembali duduk di belakangnya.

“Antarkan Diah ke tempat orang jualan bakso Da. Diah akan traktir Uda makan bakso,” katanya memeluk pinggang Lenggang. Lenggang grogi, dia menatap Mamat.  Mamat mengangguk sambil tersenyum lalu masuk rumah.

Di atas vespa - dengan angin sepoi-sepoi - dengan kepala ditegakkan - badan lurus - pinggang dirangkul gadis cantik - maka Lenggang beranggapan dia harus bersiul. Maka bersiullah dia.

Orang-orang yang berpapasan dengannya tidak sekedar tercengang-cengang saja lagi, malah ternganga-nganga menatapnya.

Besoknya, 7 orang yang dimusuhinya kemaren ditemuinya dan disalaminya erat-erat satu persatu. 10 orang yang melarangnya dulu – yang disalaminya erat-erat kemaren, kalau berjumpa tidak ditegurnya lagi. Dan 10 orang yang tidak memberikan komentar apa-apa dulu – yang kemaren kalau berjumpa dianggukinya dan di tambah sedikit senyum, kalau bertemu kembali tetap dianggukinya.



Padangpanjang, 19 juni 2009
http://horisononline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=120:lenggang&catid=4:cerpen&Itemid=5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar