Sabtu, 06 November 2010

Ironi Merapi

Sabtu, 6 November 2010 | 04:42 WIB

FX Wikan Indrarto

Letusan Gunung Merapi kali ini tidak hanya memberikan banyak pelajaran berharga, tetapi juga bahan berkaca. Selain faktor kehidupan dan kematian, juga aspek relawan dan pengungsi, serta berkah dan ironi. Ironi Merapi apa yang dapat kita jadikan bahan renungan?
Banyaknya kain spanduk promosi yang dipasang di sekitar barak pengungsian bertolak belakang dengan minimnya selimut yang diperlukan para pengungsi. Gencarnya liputan media dan aliran bantuan di Kabupaten Sleman tidak seimbang dengan hal sejenis di Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali karena berbeda provinsi.

Meskipun spanduk yang dipasang telah dibersihkan oleh petugas Satpol PP karena dipandang kurang etis, liputan media dan aliran bantuan, pada akhirnya juga sudah relatif seimbang di kedua provinsi yang bertetangga tersebut, telah menjadi awal ironi. Hal ini terjadi sangat mungkin karena pertimbangan siasat, ego, dan kapital semata.

Unjuk diri

Spanduk partai politik dan industri yang berkibar di barak pengungsian adalah unjuk diri karena siasat kampanye politik sempit dan kapital sedikit. Para pengungsi dan relawan sangat mungkin bukanlah pemberi suara untuk partai tersebut di pemilu yang lalu-lalu ataupun mendatang, dan bukan pembeli atau penikmat produk industri itu. Pada kondisi ini mereka adalah para korban bencana yang sedang ditimpa musibah sehingga tidak akan sempat berpikir ke banyak arah secara simultan.

Prioritas mereka adalah kehidupan dan kebutuhan primer saja, apalagi masih terus-menerus dihadang oleh rasa jenuh, putus asa, depresi, dan mungkin duka mendalam. Relawan sejati bekerja dengan hati yang tergerak sehingga tidak terkait, apalagi melirik kampanye dan promosi. Meskipun demikian, adanya banyak ”relawan kiriman” dalam ajang tersebut dapat saja menjadi ironi dan mendegradasi motivasi.

Dari sisi lain, para pengurus partai politik dan pihak manajemen industri justru memandang para pengungsi dan saudaranya, termasuk para relawan sejati, adalah pangsa pasar mereka, dalam aspek suara pemilih maupun calon pembeli produk mereka. Dalam setiap kesempatan, kampanye dan promosi mereka harus hadir nyata, tidak peduli meski situasi duka dan panik. Partai politik saat ini adalah institusi ”abstrak” yang sangat berpengaruh dalam kehidupan negara meski manfaat ”riil” bagi rakyat layak dipertanyakan.

Salah seorang pengurus pusat partai politik yang anggota DPR, dan dituntut jaksa delapan tahun karena tindakan tercela di Bank Century, ternyata hanya divonis satu tahun oleh majelis hakim. Dari segi tuntutan dan vonis saja sudah ironi, tapi yang lebih ironi adalah alasan hakim dalam memandang ”hal yang meringankan” pada vonis, yaitu karena selama persidangan sikapnya ”sopan”. Bukankah jabatan publik, apalagi anggota DPR yang disandang pelaku kejahatan, adalah hal yang memberatkan?

Selayaknya hakim memutuskan bahwa kejahatan yang terbukti dilakukan oleh oknum pejabat mendapat hukuman yang lebih berat, dibandingkan kejahatan serupa yang dilakukan rakyat biasa. Hal tersebut justru berefek jera dan perlu diprioritaskan dibandingkan aspek sopan santun selama persidangan berlangsung yang subyektif dan seharusnya hanya sekadar sebuah catatan, tidak memengaruhi vonis. Apalagi, vonis ironis tersebut dibacakan hakim pada saat para pengungsi Merapi sedang memerlukan figur panutan dari pejabat negara dalam dunia politik yang ”abstrak”.

Tetap terbengkalai

Status Awas dan letusan Gunung Merapi tidak terjadi mendadak sebab hal itu melalui tahap Siaga dan Waspada. Artinya, ada waktu yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan di barak pengungsian warga. Selama ini, kalau ada pejabat lokal, regional, apalagi nasional yang akan datang berkunjung, rakyat menyiapkan segala sesuatunya dengan sigap, ikhlas, dan gembira agar tidak terjadi kekecewaan dan ”murka” pejabat. Namun, ironi selalu terjadi saat rakyat ”berkunjung” atau warga mengungsi ke barak, tidak ada persiapan sigap dan memadai, apalagi ikhlas dan gembira dari pejabat dan bawahannya.

Barak pengungsian dan logistik yang seharusnya dapat disiapkan secara sigap dalam periode Siaga dan Waspada tetap terbengkalai, bahkan sampai pada periode Awas dan hari-hari awal kehidupan di barak sekalipun. Rakyat dan para pengungsi memang hanya bisa mengalami ”kekecewaan” meskipun tak boleh ”murka”.

Muntahan pasir dan lahar dingin dari letusan Gunung Merapi diperkirakan mencapai 11 juta meter kubik. Material vulkanik yang sebelumnya meluluhlantakkan lingkungan dan warga di sekitar puncak gunung itu tidak lama lagi akan dikuras habis oleh pemodal dari kota dalam penambangan batu dan pasir. Pengalaman sebelum meletus, masyarakat kecil di sekitar punggung Gunung Merapi hanyalah buruh kasar penambang pasir dan pengungsi di kala gunung berstatus Awas. Sebaliknya, pemodal dari kota adalah peraih keuntungan kapital terbesar dari material vulkanik setelah letusan, namun sangat mungkin bukanlah penderma yang baik atau relawan yang sigap saat gunung erupsi.

Letusan Gunung Merapi seharusnya menyadarkan kita bahwa pola berpikir dan bertindak kita perlu pendewasaan. Tidak hanya pengungsi yang perlu ditolong, pola pikir kolektif kita juga perlu diperbaiki agar ironi Merapi tidak terulang di lain waktu dan di lain tempat.

FX Wikan Indrarto Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04422743/ironi.merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar