Sabtu, 06 November 2010

’Reading for pleasure’, sebuah candu

Friday, 05 November 2010

”I have imagined that paradise will be a kind of library.”  Hanya seorang pencandu yang akan mengandaikan perpustakaan dalam bayangan sedemikian berlebihan. Dan Jorge Luis Borges (1899-1986) adalah orang yang kelewat mencandu buku itu. Borges dikenal sebagai pustakawan Argentina yang matanya nyaris buta karena kegilaannya dalam membaca.
Sebelum Borges, pernah ada pula pustakawan di abad 17 bernama Antonio Maglia-bechi dari Fiorentina yang juga mencandu dan menggilai buku. Bagi mereka, menjadi penjaga perpustakaan adalah wujud dari sebuah kecintaan. Perpustakaan tak ubahnya sebuah sinagog besar beraroma kertas yang khas di mana pengetahuan diikat dan dikumpulkan di dalamnya.

Di Indonesia sendiri, kita mengenal seorang Gusdur yang juga mencandu buku. Kecintaan Gusdur terhadap buku memang di atas ratarata kebiasaan membaca masyarakat Indonesia. Sosok seperti Gusdur, Borges, dan Antonio Maglia-bechi tentu saja akan dirasa sangat nyleneh di tengah masyarakat kita. Masyarakat yang masih jauh dari budaya membaca.

Jangankan cinta buku, datang suka rela ke sebuah perpustakaan kota untuk menghabiskan waktu dengan membaca saja kerap dianggap sebagai aktivitas yang membosankan, nggak gaul, nggak njamani. Kutu buku. Itulah kemudian cap yang ditempelkan kepada mereka yang mencandu buku. Sosoknya kerap difabrikasi oleh media pertelivisian kita sebagai orang yang kuper, minder, kerap tertindas, jadul, lengkap dengan asesoris kacamata minus serupa pantat botol.

Tapi benarkah sedemikian buruknya menyandang gelar ”si kutu buku”? Lalu kenapa para pecandu buku justru kerap dicatat sejarah sebagai orang-orang hebat yang dikenal di seantero negeri? Bukankah proklamator kita, Soekarno-Hatta, juga seorang pecinta buku? ¦ ’Reading with pressure’ Budaya membaca, utamanya generasi muda, memang masih menjadi perhatian utama pengembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Data terkait literacy rate, sebagai indikator Human Development Index (HDI), pun menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia masih tergolong buruk dibanding - kan dengan siswa dari negara-negara di Asia.

Kegiatan membaca untuk menghabiskan waktu luang (leisure) cenderung kurang populer di kalangan para remaja. Kalau pun mereka membaca buku di sekolah atau belajar di malam hari, semuanya berkaitan dengan beban akademisi. Misalnya, tugas membaca atau mengerjakan pekerjaan rumah dari guru di sekolah. Budaya reading with pressure inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala dalam dunia literasi kita.

Tilaar (1999) dalam bukunya menyebutkan bahwa membaca sesungguhnya adalah fondasi dari proses belajar. Masyarakat yang gemar membaca (reading society) akan melahirkan masyarakat belajar (learning society), karena membangun perilaku dan budaya membaca adalah kunci untuk membangun masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society) yang berbasis pada pengembangan kualitas sumber daya manusia.

Masyarakat gemar membaca hanya bisa terwujud ketika anggota masyarakat di dalamnya tidak merasa terbebani dengan kegiatan membaca yang dilakukannya. Ya, remaja dan anak-anak memiliki kewajiban untuk menghabiskan materi pelajaran yang disediakan dalam buku-buku sekolah. Tapi yang tidak kalah pentingnya, mereka juga seharusnya diberi kebebasan untuk memilih sendiri bacaan yang mereka sukai di waktu senggangnya.

Melahirkan pecandu
Budaya membaca dengan perasaan senang, bebas, dan tanpa beban inilah yang akan menyemai benih cinta terhadap buku. Kebebasan untuk menentukan sendiri selera atas buku yang dikonsumsinya. Berpindah dari satu genre ke genre buku yang lain, berpetualang dari satu kisah ke kisah yang lain. Kepuasan, motivasi, dan manfaat yang diperoleh masing-masing orang dari kegiatan membaca tentulah akan berbeda. Proses petualangan seperti inilah yang akan dengan sendirinya melahirkan para pecandu buku.

Pada perkembangannya, perilaku reading with pleasure ini pun akan terus berkembang dan secara tipologis dapat dibedakan dalam dua kelompok, yakni kelompok masyarakat yang gemar membaca sekadar karena ikut arus dan kelompok masyarakat yang benar-benar kecanduan membaca. Rahma Sugihartati (2010), dalam salah satu Cultural Studies yang dilakukannya, menyebut kedua kelompok ini dengan pembaca pseudo-adiktif dan pembaca riil-adiktif.

Pembaca pseudo-adiktif adalah mereka yang cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh proses komodifikasi budaya kapitalisme dalam membaca dan memilih jenis bacaan. Pembaca jenis ini hanya gemar membaca bacaan tertentu yang tengah populer, baik karena kemasan produk budaya yang didukung oleh iklan maupun peng - aruh media massa yang lain. Membaca buku popular sekadar dijadikan sebagai tiket masuk dalam lingkungan pergaulan dalam peergroup- nya, maka buku tak ubahnya perkembangan mode yang sifatnya temporer.

Sedangkan pembaca riil-adiktif adalah mereka yang benar-benar gemar membaca. Pembaca jenis ini kecanduan membaca karena didorong oleh hasrat untuk mencari kesenangan dan sebagai kegiatan alternatif yang secara personal benar-benar mengasyikkan. Di benak mereka, aktivitas membaca benar-benar dianggap aktivitas yang paling menyenangkan wa - laupun harus dibandingkan dengan aktivitas pleasure lain seperti menonton film, tidur, atau jalanjalan ke pusat perbelanjaan.

Dari uraian inilah, hendaknya pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu untuk memulai aktivitas reading with pleasure. Membaca tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal akademis. Membaca adalah salah satu cara untuk menikmati waktu luang dengan menyelami dunia imajinasi melalui karya-karya fiksi ataupun menjelajah gagasan pada karya nonfiksi. Membaca tidak selalu dikaitkan dengan kegiatan yang kaku milik orangorang serius. Membaca adalah cara, membaca adalah gaya hidup.

Ketika pemahaman bahwa membaca adalah aktivitas yang membebaskan, baik dari segi pilihan bacaan dan pilihan waktu membaca, maka reading society bukan tidak mungkin terwujud di negeri Indonesia. Bacalah apa pun yang Anda suka, bacalah kapan pun Anda suka, dan membacalah di mana pun tempat yang Anda suka. Dan saat Anda merasa bahwa membaca adalah sebuah relaksasi dalam hidup, maka bersiaplah Anda berubah menjadi seorang pencandu buku! f Nurfita Kusuma Dewi Penulis dan pecinta Buku
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42626&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar