Sabtu, 06 November 2010

Konstruksi Politik Daerah Rawan Bencana

Sabtu, 6 November 2010 | 04:27 WIB

Gutomo Bayu Aji

Tayangan korban bencana alam di layar televisi dalam hari-hari terakhir ini menunjukkan suatu pola. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit.
Dari sosok korban yang terekam kamera televisi, mereka bukanlah orang-orang gedongan, pejabat, ataupun konglomerat. Mereka lebih mirip seperti orang-orang pinggiran di daerah pedalaman yang bersahaja.

Bukan kebetulan mereka tinggal di lokasi-lokasi yang belakangan populer disebut sebagai daerah rawan bencana itu. Keberadaan mereka di tempat tersebut dibentuk dan bencana yang menimpa mereka pun tidak seluruhnya alamiah.

Eksklusi sosial

Berawal dari paham hak kebendaan kolonial yang diselipkan dalam gagasan kekuasaan negara, pemerintah kolonial saat itu mulai membuat pendakuan atas wilayah negara termasuk kawasan hutan negara.

Melalui undang-undang agraria dan kehutanan kolonial, pemerintah membuat batas yang jelas antara tanah negara dan tanah rakyat, antara hutan negara dan hutan rakyat. Di atas tanah negara dan hutan negara tidak boleh ada hak milik lain sehingga tercipta dikotomi kepemilikan tanah dan hutan.

Pendakuan akan kawasan hutan negara tersebu awalnya tidak seluas sekarang. Hanya Jawa, Madura, dan sebagian Sumatra. Sejak Orde Baru diketahui wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan negara itu mencapai dua per tiga daratan Indonesia. Berdasarkan hukum dan tradisi kehutanan ilmiah, kawasan hutan negara tersebut harus bersih dari hak milik lain.

Implikasinya adalah penaklukan dan eksklusi orang-orang dari dalam kawasan hutan negara. Mereka ditaklukan dengan berbagai pencitraan negatif lalu dikeluarkan ke lokasi-lokasi marjinal, seperti daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit. Ada pula yang bertahan di daerah bahaya seperti orang Dieng yang terkubur letusan kawah Sinila.

Konstruksi politik ini membungkam 230 juta jiwa penduduk republik yang hidup berjubel di wilayah sepertiga daratan yang kian berisiko bencana alam, baik karena kontrol eksploitasi hutan yang lemah sehingga sering banjir dan longsor maupun faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.

Di antara mereka ada 40 juta jiwa penduduk yang hidup di daerah bahaya yang paling berisiko bencana alam. Mereka itulah orang-orang yang sejarah sosialnya diwarnai penaklukan dan eksklusi sosial, seperti korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi, yang ditayangkan televisi akhir-akhir ini.

Relokasi

Istilah relokasi muncul tak semena-mena setelah gempa dan tsunami menggulung permukiman penduduk di pesisir kepulauan Mentawai. Pun demikian ketika wedus gembel membakar permukiman penduduk di Kinahrejo, kampung sang juru kunci Merapi saat itu, Mbah Marijan.

Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya di kalangan media. Tak kurang pemerintah provinsi Sumatera Barat dan bupati Sleman, bahkan ketua DPR melontarkan pernyataan dengan nada seperti itu.

Wacana itu diproduksi terlepas dari sejarah sosialnya. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah masyarakat yang kalah dalam kontestasi politik sumber daya alam pada masa lalu. Sejarah mereka diwarnai dengan penaklukan, ekslusi sosial, dan hilangnya hak kebendaan seperti tanah dan hutan.

Trauma sejarah macam ini setidaknya tecermin dari ekspresi wajah seorang nenek yang meronta menolak ajakan tentara untuk mengungsi dari daerah rawan bencana letusan Merapi yang ditayangkan berulang kali di stasiun televisi belakangan ini.

Penolakan juga pernah dilakukan oleh warga Kinahrejo saat Merapi meletus tahun 1994. Warga lereng Merapi di Magelang yang ditransmigrasikan ke luar Jawa saat itu bahkan telah kembali ke kampung halaman.

Sejumlah penolakan itu menunjukkan bahwa relokasi bukan kebijakan mudah yang bisa diputuskan semena-mena. Kebijakan ini terkait hak milik kebendaan seperti tanah yang bisa lenyap ketika proses tukar guling tidak transparan. Persoalan hak milik kebendaan adalah persoalan krusial yang sensitif di kalangan warga tereksklusi ini.

Relokasi yang relatif diterima biasanya didukung tiga kondisi. Pertama, pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi. Kedua, jaminan kepastian hak milik tanah dalam tukar guling. Dan ketiga, jaminan mata pencarian yang sepadan dengan mata pencarian di daerah asal.

Apabila ketiga kondisi tersebut tidak terpenuhi, kebijakan relokasi sebaiknya dipikirkan ulang.

Alternatif lain seperti rekonstruksi daerah bencana sepertinya tidak lebih melukai trauma sejarah sosial masyarakat yang tereksklusi itu.

Gutomo Bayu Aji Peneliti Ekologi Manusia pada Puslit Kependudukan LIPI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04275455/konstruksi.politik.daerah.rawan.bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar