Sabtu, 06 November 2010

Bencana dalam Perspektif Agama

Sabtu, 06/11/2010 09:00 WIB - Muh Abu Nasrun

Dosen Fakultas Tarbiyah STAIMUS Surakarta

Bencana demi bencana seakan-akan tidak mau pergi dari Tanah Air. Indonesia yang indah pun terkoyak dengan banjir bandang di Distrik Wasior, Kabupaten Pulau Wondama, lalu gempa bumi berkekuatan 7,2 pada skala Richter yang diikuti gelombang tsunami mengguncang pulau menawan, Mentawai, di wilayah Sumatra Barat, dan beberapa hari lalu, gunung paling aktif di Indonesia (dan mungkin di dunia) Gunung Merapi, memuntahkan material vulkaniknya. Korban pun berjatuhan. Banyak yang meninggal dunia. Tetapi, lebih banyak yang hilang dan belum ditemukan. Mereka mungkin juga meninggal dalam keadaan yang memprihatinkan.
Bagi kaum yang percaya akan adanya kekuatan absolut Tuhan yang senantiasa mengatur segala peristiwa di muka bumi ini, tentu akan memaknai bencana alam sebagai peringatan Tuhan kepada umat manusia atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Sekaligus menunjukkan kebesaranNya tatkala manusia sudah banyak yang ingkar atas perintah-perintahNya.
Selain itu, juga ada gagasan yang berpendapat bahwa bencana alam merupakan pertanda alam sudah semakin tua, di mana hari kehancuran yang diyakini oleh ke sekian agama yang ada di dunia ini akan segera tiba. Demikian pula bagi kaum yang tidak percaya akan adanya kekuatan absolut Tuhan, akan mengatakan, bahwa bencana alam merupakan suatu peristiwa alami yang biasa-biasa saja sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara berbagai unsur yang ada. Namun yang pasti di antara kedua paham ini yang akan melakukan perubahan pascabencana yang melandanya sesuai dengan caranya masing-masing. Indonesia sebagai negara yang berketuhanan tentu akan meyakini pendapat yang pertama, inilah yang akan kita kaji (bencana dalam perspektif agama).
Dalam Surat Ar-Rum ayat 41 disebutkan, “Telah terjadi berbagai bencana di daratan maupun di lautan. Yang terjadi karena ulah manusia....” Dengan sepotong ayat tersebut Allah ingin mengingatkan manusia bahwa berbagai bencana atau kerusakan yang terjadi di atas daratan maupun di lautan itu memang merupakan akibat dari perbuatan manusia. Dengan pengertian itu berbagai musibah maupun bencana yang dialami manusia berarti bukan merupakan inisiatif Allah, seperti menghukum, menguji, maupun memperingatkan umat manusia.
Bencana yang melanda bangsa Indonesia sebagai akibat merosotnya moral bangsa dan dosa-dosa nasional. Bangsa dan negara Indonesia telah lama terbuai hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan penyakit yang telah lama merasuki birokrasi pemerintahan, demikian juga lembaga legislatif dan yudikatif. Konflik antarsuku dan agama, kekerasan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Dan masih banyak lagi yang lain. Bencana yang melanda negeri adalah sebagai akibat dari dosa nasional sendiri. Jadi bencana merupakan peringatan dan hukuman Tuhan bagi bangsa Indonesia.
Patut diperhatikan, sebuah musibah tidak memilah pihak yang melakukan kesalahan atau yang tidak melakukan kesalahan. Semua pihak akan merasakan pahitnya akibat kesalahan yang telah dilakukan: iza nazala al- ‘azab ‘amma as-shaleh wa at-thaleh (azab tak akan memilah-milih mereka yang saleh atau thaleh).
Semua bencana dan musibah yang telah terjadi dengan cukup jelas menampakkan bagaimana akibat sebuah kesalahan, terutama terhadap lingkungan. Semua musibah yang terjadi juga menampakkan bagaimana dia tidak memilah mereka yang memang melakukan kesalahan (thaleh) dan yang tidak melakukan kesalahan (saleh).
Dalam sejarah kemanusiaan, Allah SWT pun pernah menimpakan bencana kepada umat-umat terdahulu. Umat Nabi Musa AS, misalnya, mengalami bencana seperti wabah, krisis ekonomi, kekeringan, angin topan, dan lain-lain. Alquran menjelaskan: Allah menimpakan musibah seperti itu karena umat dahulu pada masa itu telah melampaui batas: zalim dan sombong, sebagaimana kesombongan dan kezaliman yang diperbuat oleh Fir’aun dan Qarun. Fir’aun merupakan personifikasi puncak kesombongan, yakni pengakuan dirinya sebagai tuhan. Adapun Qarun merupakan puncak kezaliman berupa kekufurannya terhadap nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Ia menyatakan bahwa semua hartanya diperoleh semata-mata karena usahanya sendiri. Sebagai akibat dari kesombongan dan kezaliman itulah, datang peringatan Allah lewat Nabi Musa AS beserta pengikutnya. Namun mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut; mereka tetap sombong dan zalim, mereka tidak mau bertobat, dan tak mau kembali ke jalan yang lurus. Allah akhirnya mendatangkan bencana pada Fir’aun dan Qarun.
Alquran dengan tegas menjelaskan bahwa sebab utama terjadinya semua peristiwa di atas bumi ini, apakah gempa bumi, banjir, kekeringan, tsunami, penyakit tha’un (mewabah) dan sebagainya disebabkan ulah manusia itu sendiri. Baik yang terkait dengan pelanggaran sistem Allah yang ada di laut dan di darat, maupun yang terkait dengan sistem nilai dan keimanan yang telah Allah tetapkan bagi hambanya.
Semua pelanggaran itu (pelanggaran sunnatullah di alam semesta dan pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW), akan mengakibatkan kemurkaan Allah. Kemurkaan Allah tersebut direalisasikan dengan berbagai peristiwa seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan seterusnya. Semakin besar pelanggaran manusia atas sistem dan syariat Allah, semakin besar pula peristiwa alam yang Allah timpakan pada mereka.
Maka dari itu, berbagai bencana yang datang silih berganti sejatinya mendorong para penguasa dan rakyat negeri ini untuk segera mencampakkan berbagai kemaksiatan mereka kepada Allah SWT, lalu bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Itulah bukti sejati ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka, sebagaimana firman Allah: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS Al-A’raf 7: 96).
Sebagai bangsa yang beragama, seyogianya upaya mengatasi bencana alam yang silih berganti ini tidak saja dengan upaya-upaya preventif secara kasat mata. Namun harus pula diupayakan secara spiritual. Bencana ini memang ditimpakan Tuhan karena kerusakan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia sendiri. Dan layaknya orang yang bersalah etikanya harus melakukan pertobatan kepada Tuhan. Setelah itu dibuktikan dengan upaya-upaya perbaikan diri sebagai bangsa baik secara massif maupun individu. (***)
http://harianjoglosemar.com/berita/bencana-dalam-perspektif-agama-28543.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar