Sabtu, 06 November 2010

Peran Kebangsaan HMI

Sabtu, 06 November 2010 pukul 09:25:00
Ahmad Nasir Siregar
Sekretaris Jenderal PB HMI)

Sejak awal berdiri, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah menancapkan tujuan besarnya untuk turut memberikan kontribusi dalam memajukan bangsa Indonesia, termasuk meraih kemerdekaan. Tujuan itu pula yang menyegarkan aliran darah organisasi ini untuk terlibat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Dengan demikian, tak heran jika Jenderal Besar Soedirman menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia.
'Wejangan' ini mesti dimaknai sebagai ungkapan penuh harap dari Sang Jenderal. Melalui ungkapannya, ia sebenarnya meletakkan beban berat di pundak HMI, yakni bagaimana ia menjadi semacam laboratorium yang dapat menyediakan apa pun yang dibutuhkan bangsa ini. Dengan kata lain, di saat bangsa tak punya 'tempat mengadu nasib' terhadap apa yang dialami, HMI mestinya yang menjadi tempat tumpuan itu. Mampukah HMI menjawabnya?

Inilah tantangan sekaligus ujian bagi organisasi besutan Lafran Pane ini. Kata-kata Jenderal Soedirman tersebut tidak saja sebagai pujian bagi kebesaran HMI kala itu, tetapi juga amanah yang mesti dipertanggungjawabkan. Artinya, jika peran dan kinerja HMI hari ini tidak membawa perbaikan bagi bangsa, sesungguhnya ia telah mengkhianati amanah itu.

Oleh karena ia amanah dan juga sejalan dengan misi kebangsaan HMI sejak dilahirkan pada 5 Februari 1947, hingga saat ini, misi itu terus dijaga. Di antara langkah yang ditempuh adalah dengan beberapa aspek yang ditunjukkan oleh HMI, yaitu: Pertama, aspek pengaderan. Aspek ini diwujudkan dengan mendidik putra-putri bangsa (baca: mahasiswa) melalui jenjang training (pelatihan) yang merancang kader tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan di kampus, tetapi juga membentuk jiwa kepemimpinan mereka dengan tetap mengedepankan nilai-nilai Islam. Inilah fungsi utama pengaderan HMI yang juga sebagai wujud tanggung jawabnya dalam mencetak "anak" umat dan bangsa.

Pengaderan ini berlandaskan pada tiga nilai, yaitu nilai ideologis, nilai politis, dan nilai sosiologis. Nilai ideologis diinisiasikan melalui Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang menegaskan bahwa perjuangan HMI adalah perjuangan suci yang diridai Allah SWT sebagai rausyan fikr. Dengan demikian, HMI hendak melanjutkan misi profetik Rasulullah Muhammad SAW untuk mendorong terjadinya perubahan kultural maupun struktural di level umat dan bangsa, demi menuju terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan makmur dan diridai Allah SWT.

Sedangkan nilai politis sebagaimana tercantum dalam tujuan HMI, yaitu menciptakan insan cita yang memiliki kesadaran rabbaniah untuk siap menjadi pemimpin sekaligus mengemban misi profetik untuk terus melakukan perubahan, pembaruan, pembangunan, dan pencerahan dengan terus memperjuangkan kebenaran sebagai pengejawantahan nilai-nilai ideologisnya sepanjang hidup dan kehidupannya.

Nilai ketiga ialah HMI values sebagai nilai sosiologis. Nilai ini terbentuk melalui proses alamiah ketika kader HMI berproses dan berjuang mengejawantahkan misinya di tengah masyarakat. Ia bisa dimaknai sebagai derivasi dan manifestasi dari nilai ideologis dan nilai politis organisasi ketika ia dioperasionalisasikan pada level pengamalan di lapangan. Konsekuensi dari nilai-nilai tersebut tergambarkan dalam pola dan karakter perjuangannya bahwa HMI tidak taklid pada simbol-simbol keislaman semata.

Ia menuntun mereka menjadi lebih moderat dan inklusif dalam berhubungan dengan komunitas yang berbeda. Di sini jelas bahwa HMI tidak memperjuangkan formalisme teks-teks un sich, tetapi lebih pada proses absorsi nilai-nilai Islam secara universal. Kedua, aspek strategis. Insan cita di seluruh pelosok nusantara yang dihasilkan oleh proses pengaderan HMI membentuk sebuah jaringan epistemic community yang terkoneksi oleh kesamaan gagasan, ide, visi, dan misi perjuangan.

Disebut strategis, karena beranggotakan mahasiswa. Dengan demikian, alumni HMI adalah kelompok elite yang membentuk jejaring oligarki dan mampu memiliki akses terhadap sumber daya politik, ekonomi, dan intelektual di Indonesia. Dengan demikian, meskipun masa kenggotaan terbatas, seseorang yang pernah menempa diri di organisasi ini akan terikat dengan komunitasnya, termasuk dengan alumninya. Karena itu, hubungan anggota HMI dan alumninya merupakan hubungan emosional sebagai sesama 'Agent of HMI Value' yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan.

Alasan lainnya, karena anggota HMI menguasai ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Dengan demikian, mereka memiliki kemampuan untuk membaca keadaan zaman secara komprehensif. Oleh karena itu, mereka akan menjelma sebagai intelektual organik yang memiliki kewajiban untuk menggagas, merekayasa, dan memimpin perubahan sosial di masyarakat. Selain itu, HMI juga memiliki penataan manajemen strategis yang diiringi dengan kajian strategis terhadap kondisi kontemporer. Dan, HMI mampu menjadi kelompok pelopor yang memiliki posisi strategis dan dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, baik di level daerah maupun pusat.

Ketiga, aspek sosial. Peran kebangsaan HMI sebagai kelompok sosial dilakukan dengan mengadvokasikan pengamalan nilai, visi, dan misinya melalui jalur-jalur politik, ekonomi, budaya, dan agama. Meskipun HMI adalah civil society dan bukan merupakan kelompok seperti partai politik, HMI memiliki kepentingan terhadap politik dan kekuasaan. Karena melalui politiklah HMI dapat melakukan social engineering (rekayasa sosial).

Jadi, kepentingan HMI terhadap politik tidak untuk kekuasaan un sigh, tetapi menjadikannya sebagai salah satu jalur mekanisme perjuangan. Ini merupakan manifestasi kader HMI sebagai intelektual organik. Ia tidak boleh hidup di menara gading di antara megahnya kampus-kampus, tetapi harus turun ke bawah memberi pencerahan dan menyadarkan rakyat akan perlunya sebuah perubahan sosial.

Hal itu demi tercapainya tujuan Indonesia merdeka lewat tiga pilar konsep perjuangan, yaitu: pertama, Pengilmuan Islam, sebagai manifestasi objektivikasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan masyarakat. Kedua, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi sebagai jalan menghapus ketidakadilan dalam tatanan kehidupan rakyat Indonesia (baca: keberpihakan terhadap kaum tertindas, mustadh'afin). Ketiga, Nasionalisme Progresif, sebagai jalan untuk memperjuangkan kepentingan bersama milik seluruh bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia serta merajut rasa solidaritas nasionalisme di masa mendatang.
http://republika.co.id:8080/koran/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar