Sabtu, 06 November 2010

Hati Bersama Warga Merapi

TAJUK RENCANA
Sabtu, 6 November 2010 | 04:26 WIB

Hati Bersama Warga Merapi

Saat ini tak ada hal lain yang dapat kita sampaikan, kecuali bahwa segenap hati dan perasaan kita erat bersama dengan saudara-saudara di sekitar Gunung Merapi.
Kita senasib sepenanggungan di saat-saat sulit ini. Badan kita bisa saja ada di kota dan pulau lain, tetapi hati dan pikiran kita ada di wilayah di sekeliling Merapi, yang Kamis (4/11) mendekati tengah malam meletus jauh lebih hebat dibandingkan tanggal 26 Oktober atau 3 November.

Melihat para anggota regu penyelamat, termasuk dari TNI dan sukarelawan sipil, berjuang melawan abu vulkanik untuk menyelamatkan para korban, kita juga tak punya kata-kata lain yang bisa disampaikan, kecuali syukur, haru, dan bangga. Itulah sejatinya kita, yang tak pernah sampai hati untuk berdiam diri ketika saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air sedang tertimpa penderitaan.

Persoalan pokok yang ada sekarang kiranya dapat kita upayakan solusinya, dan itu adalah semakin banyaknya pengungsi dengan berbagai kebutuhannya. Menyusul diperluasnya radius bahaya menjadi 15 kilometer, jumlah pengungsi naik menjadi 100.000 orang. Bisa dipastikan jumlah itu bisa melonjak hingga tiga kali lipat atau lebih setelah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan zona radius bahaya menjadi 20 kilometer.

Kita belum tahu, sampai kapan Merapi masih akan aktif, dan seberapa hebat lagi gunung ini akan melanjutkan aktivitasnya. Dalam kaitan ini pula, kita sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pusat dan lembaga pengawasan gunung berapi serta segenap pimpinan dan staf yang pasti pada hari-hari krisis sekarang ini harus bekerja ekstra keras.

Dari pengalaman Merapi kali ini, ada urgensi yang amat jelas bahwa seusai periode letusan kali ini, pekerjaan rumah yang harus kita tuntaskan adalah meremajakan dan memperkuat sistem pemantauan gunung berapi dan menyusun ulang manajemen bencana kita.

Tidak berlebihan apabila kita memasang perlengkapan modern dan mendirikan pos pemantauan terhadap 129 gunung berapi yang ada di Tanah Air, dan setiap kali menyosialisasikan hasil-hasil pemantauan kepada masyarakat. Hal itu demi membuat masyarakat yang berdiam di sekitar gunung mendapat info mutakhir, dan pihak-pihak berwenang diingatkan untuk melengkapi apa yang masih kurang apabila muncul keadaan darurat ketika gunung mendadak bangun dari tidur.

Kita tundukkan kepala dan rendahkan hati ketika musibah masih belum berhenti menerpa kita. Kita petik hikmah dan pelajaran dari semua bencana yang menimpa kita. Kita tidak sendirian menghadapi ancaman-ancaman seperti letusan gunung, gempa, dan tsunami. Ada banyak bangsa lain yang juga menghadapi tantangan serupa.

Dari situ, kalau kiranya ada topik studi banding yang paling relevan saat ini, itu tidak lain adalah studi banding tentang bagaimana bangsa-bangsa lain lebih berhasil dalam menanggulangi ancaman bencana alam.

***

Paket Bom dan Politik Manipulatif

Terbongkarnya paket bom yang disembunyikan dalam toner cartridge tinta printer menya- darkan kita bahwa sepak teroris sungguh tak terduga.

Pengiriman paket bom itu dicegah di Leichester, Inggris, dan Dubai, Uni Emirat Arab. Sasaran serangan bom dengan modus baru itu adalah Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa (Kompas, 5/10).

Paket bom tersebut diangkut dari Yaman dan diduga merupakan hasil kerja Al Qaeda. Polisi di Yaman sendiri sudah berhasil menangkap tersangka pengirim bom.

Terbongkarnya modus baru pengiriman bom itu semakin meyakinkan kita semua bahwa terorisme tidak ada matinya. Setiap kali mereka selalu dapat menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan aksinya.

Dulu ketika muncul sukarelawan bom bunuh diri, kita semua seperti tersentak karena ada orang yang rela mati dengan mematikan orang lain. Ini adalah sebuah terobosan psikologis yang membuat penguasa takut. Tidak takut mati berarti meniadakan dampak kekuasaan.

Mengutip pendapat H Rauschning (1980), terorisme adalah bentuk nihilisme karena tiga ciri khas: matinya kebebasan, dominasi kekerasan, dan pemikiran yang diperbudak. Ketiga ciri ini menjamin radikalitas pengikutnya. Dan, radikalisasi itu telah mendorong dilakukannya segala cara demi tercapainya tujuan, tidak peduli akibat dari cara dan tercapainya tujuan itu bagi orang lain.

Kita membayangkan, apa jadinya kalau paket bom itu lolos sampai tujuan. Berapa banyak lagi orang yang akan mati tanpa tahu mengapa mereka harus mati, mengapa mereka yang menjadi korban, mengapa mereka yang disasar.

Kini persoalannya bertambah rumit meski diberitakan polisi Yaman sudah berhasil menangkap tersangka pengirim paket bom itu. Di tengah usaha keras militer Yaman memburu anggota organisasi yang diyakini ada kaitannya dengan Al Qaeda, di masyarakat Yaman hidup pendapat: kelompok itu hanyalah mitos belaka dan itulah cara pemerintah memeras Barat agar mengucurkan bantuan untuk menumpas lawan-lawan mereka.

Dalam analisisnya di International Herald Tribune kemarin, Monal El-Nanggar dan Robert F Worth berpendapat kecurigaan semacam itu berakar dari sejarah politik Yaman yang manipulatif. Tentu hal itu mempersulit usaha Pemerintah Yaman dalam menumpas kelompok yang diyakini mempunyai kaitan dengan Al Qaeda dan pengiriman paket bom tersebut.

Hal seperti itu tentu akan memperlemah pelaksanaan perang melawan terorisme. Sebab, perang melawan terorisme membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk rakyat. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan Pemerintah Sana’a saat ini adalah meyakinkan rakyat bahwa tindakan mereka bukan manipulatif.
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04263594/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar