Sabtu, 06 November 2010

Rethinking Public Private Partnership

Sabtu, 06 November 2010 pukul 09:22:00
Gunawan Adji
(Peneliti)

Pascalebaran, wacana tentang pembiayaan infrastruktur kembali mengemuka. Hal ini dipicu oleh kondisi infrastruktur jalan yang diharapkan dapat memperlancar arus mudik Lebaran 2010, tapi ternyata itu kembali menjadi masalah. Pembangunan dan rehabilitasi jalan yang dilakukan tidak cukup mengatasi problem klasik seputar arus mudik Lebaran 2010. Banyaknya kondisi jalan yang rusak dan berlubang serta sempitnya ruas badan jalan membuat kemacetan panjang terjadi kembali pada lebaran tahun ini.
Rendahnya kualitas infrastruktur jalan ternyata juga masih terus menghantui para pelaku bisnis. Paling tidak, hal tersebut tecermin dari survei Pricewaterhouse Coopers terhadap 124 eksekutif senior yang berbasis di Indonesia.  Lewat laporan survei bertajuk "Economic Barometer Survey Indonesia" para pelaku bisnis berpandangan, meski terjadi peningkatan iklim investasi, namun masih terdapat hal-hal fundamental yang perlu dibenahi dalam pembangunan infrastruktur. Mereka mengeluhkan lambatnya pengembangan infrasturuktur jalan yang telah menghambat arus distribusi dan transaksi.

Terkait data terbaru soal masalah pembangunan infrastruktur, baru-baru ini dirilis Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF). Meski menyebut daya saing Indonesia naik sepuluh tingkat dari posisi ke-54 menjadi ke-44 pada periode 2010/2011, namun minimnya dukungan infrastruktur masih menjadi masalah serius dalam meningkatkan daya saing Indonesia. Kondisi infrastruktur Indonesia yang berada pada posisi 82 masih menjadi sorotan serius, terutama yang menyangkut infrastruktur jalan (posisi 84) dan ketersediaan pasokan listrik (posisi 97).

Tiga Langkah
Gambaran di atas memperlihatkan banyaknya pekerjaan rumah pemerintah dalam hal pembangunan infrastruktur. Untuk meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur pemerintah selalu terkendala minimnya anggaran. Sebagai gambaran, hingga 2014 Indonesia membutuhkan pembiayaan infrastruktur sekitar Rp 1.700 triliun. Dari jumlah kebutuhan tersebut, pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar Rp 600 triliun. 

Hasil evaluasi Asian Development Bank (ADB/2009) menyebutkan, di kawasan Asia, porsi anggaran infrastruktur Indonesia sama dengan Filipina dan Kamboja, antara 0-4 persen dari PDB. Sementara itu, posisi yang lebih tinggi yakni India, Laos, dan Mongolia, yang menganggarkan 4-7 persen dari anggaran belanjanya. Negara yang paling besar belanja infrastrukturnya adalah Cina, dengan sepuluh persen dari PDB. Sedangkan, Brasil sebagai negara dengan perekonomian terbaik di Amerika Latin, belanja infrastrukturnya mencapai lima persen dari PDB.

Untuk menutup anggaran belanja infrastrukur, pemerintah menempuh jalan penawaran kerja sama dengan swasta melalui skema public-private partnership (PPP). Intinya, PPP merupakan bentuk kerja sama pemerintah dan swasta, serta badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur, dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur, dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaataan infrastruktur. Selain untuk mencukupi kebutuhan pendanaan melalui investasi dana swasta, PPP diperlukan agar terjadi peningkatan pelayanan publik, baik dari kuantitas, kualitas, maupun efisiensi.

Masalahnya, sejauh ini konsep pelibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema PPP masih belum berjalan optimal, kecuali untuk proyek jalan tol. Kombinasi antara pemerintah dan swasta sampai sejauh ini baru mampu membelanjakan dana pembangunan infrastruktur setara dengan tiga persen PDB. Padahal, idealnya negara berkembang seperti Indonesia, belanja infrastrukturnya mencapai lima persen dari PDB.

Agar skema PPP bisa berjalan efektif, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah terobosan. Pertama, percepatan pengadaan tanah. Untuk itu, pemerintah harus segera mendorong agar DPR segera membahas RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jika sudah ditetapkan, UU tersebut diharapkan dapat mengatasi persoalan pembebasan tanah yang selalu menjadi faktor utama terhambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Kedua, penguatan kelembagaan. Seperti diketahui, pengelolaan PPP di Indonesia masih tersebar di beberapa kementerian, seperti Kementerian Perekonomian, Kementerian  Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Teknis terkait, khususnya Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum. Situasi tersebut jelas tidak menguntungkan karena investor harus berhubungan dengan banyak pihak. Padahal, investor akan lebih mudah berinteraksi dengan satu lembaga khusus yang menangani PPP. Keberadaan satu lembaga khusus yang fokus menangani PPP dengan didukung oleh sumber daya manusia yang capable, tentunya akan membuat lembaga tersebut mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para investor yang tertarik mengerjakan proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan melalui skema PPP.

Yang tidak kalah pentingnya, kelembagaan PPP juga harus diperkuat dengan asas-asas transparansi yang menyangkut kejelasan mekanisme, latar belakang pengambilan keputusan, biaya-biaya yang diperlukan hingga laporan-laporan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga tersebut. Asas lain yang harus dipegang lembaga ini adalah independensi. Itu artinya, lembaga yang khusus menangani PPP harus bebas intervensi dari pemerintah dan/atau swasta sehingga keputusan yang diambil benar-benar lebih fair dan akuntable.

Ketiga, memulai dari yang kecil. Berdasarkan Perpres No13 Tahun 2010, kerja sama antara pemerintah dan swasta hanya berlaku bagi proyek-proyek besar yang nilainya mencapai triliunan rupiah. Ketentuan tersebut jelas hanya membuat perusahaan swasta berskala besar saja dan perusahaan asing yang mampu melaksanakan proyek infrastruktur. Akibatnya, perusahaan-perusahaan swasta berskala kecil dan menengah yang umumnya merupakan perusahaan domestik menjadi kurang berminat.
http://republika.co.id:8080/koran/24/122533/Rethinking_Public_Private_Partnership

Tidak ada komentar:

Posting Komentar