Sabtu, 06 November 2010

Kita dan Mistisisme Bencana

Jumat, 05/11/2010 09:00 WIB - Sayfa Auliya Achidsti

Peminat masalah sosial,
mahasiswa Jurusan Ilmu
Administrasi, FISIP, UGM Yogyakarta

Bulan Oktober tahun ini, tercatat beberapa bencana alam besar melanda Indonesia. Awal bulan, di bagian Indonesia timur, Wasior, banjir bandang menyapu dan mengakibatkan lebih dari 150 orang tewas, 150 hilang. Tanggal 25 Oktober, gempa 7,2 SR mengguncang Mentawai, Sumatra barat, yang menelan 112 jiwa. Keesokan harinya, menyusul wilayah Yogyakarta dengan keluarnya awan panas Gunung Merapi. Sehari kemudian, ditemukan 22 orang tewas dan belasan ribu orang lainnya terpuruk di barak pengungsian.
Dengan lokasinya yang berada di wilayah pertemuan lempeng bumi dan jalur pegunungan api, Indonesia memang memiliki tingkat kemungkinan yang cukup tinggi akan timbulnya bencana alam. Jelas, hal ini dikarenakan kondisi tanah yang menjadi tidak stabil dalam siklus periodik tertentu. Secara teori, seluruh wilayah di Indonesia memiliki tingkat kemungkinan bencana cukup tinggi, kecuali untuk Kalimantan dengan lokasinya yang berada di dalam.
Terbukanya akses teknologi informasi pada hari ini pun membuat masyarakat kita mudah untuk mengetahui hal apapun yang terjadi baik dalam skala lokal, nasional, maupun dunia. Begitu pula mengenai pemberitaan bencana, seperti yang baru-baru ini sedang terjadi. Dengan pemberitaan media massa yang menampilkan peristiwa tersebut, masyarakat di manapun dapat mengetahui dan meresponsnya. Namun, perkembangan teknologi informasi tersebut rupanya tidak berjalan searah seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat kita.
Faktor X
Dalam menanggapi bencana alam yang terjadi, blessing in disguise sering kali digunakan sebagai dasar cara pandang. Tidak jarang kita mendengar komentar dari pejabat terkait yang mengatakan bahwa bencana yang terjadi karena tidak stabilnya wilayah Indonesia, plus dengan isu perubahan iklim yang tengah menjadi tren saat ini.
Namun, mari kita menengok negara lain, Jepang misalnya. Hampir setiap pekan, badai mengisi hadir di sana. Begitu pula dengan gempa bumi yang tidak kalah dalam hal jumlah peristiwanya. Amerika dengan tornado dan kondisi cuacanya pun membuat setiap beberapa bulan wilayah ini tersapu oleh bencana alam tersebut. Namun, kita jelas melihat perbedaan antara negara-negara tersebut, dan negara kita ini.
Dengan persentase kemunculan bencana yang lebih tinggi dari pada Indonesia, negara-negara tersebut dapat mencegah jatuhnya korban seminimal mungkin. Bahkan bisa dikatakan sampai pada tingkatan zero victim atau tidak ada korban jiwa. Pemerintahnya telah merancang infrastruktur yang mampu beradaptasi dengan kondisi alam, di samping juga telah terbentuk pola tindakan tanggap bencana yang telah terinternalisasi dalam masing-masing warganya.
Blessing in disguise, yang menganggap segala sesuatu disebabkan oleh karena adanya “faktor X” yang menghendakinya, dalam kondisi menanggapi bencana alam semacam ini adalah tindakan yang jauh dari rasionalitas. Walaupun memang segala hal tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan ketuhanan, namun hal ini menjadi tidak tepat dengan akibat melayangnya jiwa manusia.
Mochtar Lubis (1977) mengatakan bahwa manusia Indonesia memiliki beberapa ciri, antara lain munafik, tak bertanggung jawab, feodal, takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Bencana yang terjadi pun diasosiasikan sebagai sesuatu yang tidak ada seorang pun dapat mencegahnya, karena itu adalah bencana dari alam. Bencana alam pun menjadi sebuah momok dengan banyaknya pemberitaan di beberapa media massa yang lebih menekankan sisi feature-nya, yang lebih fokus pada deskripsi bencana maupun sisi humanis-emosional tanpa membedah mengapa sampai bisa ada banyak korban.
Mistisisme
Keenam ciri manusia Indonesia menurut Lubis tersebut dengan rapi terbungkus dalam cara pikir acuh-tak acuh bernuansa mistisisme yang akut yang secara tidak sadar kita lakukan. De Kleine dalam buku Encyclopaedie (1949) mengatakan bahwa mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang bermakna “menutup mata”, atau musterion yang bermakna “suatu rahasia”. Bencana alam dengan berbagai dampaknya itu, kita anggap di luar kemampuan kita sebagai manusia untuk mengatasinya. Dan, korban yang jatuh adalah takdir yang menyakitkan. Kita menutup mata akan keengganan kita sendiri dalam upaya mengenali alam.
Lalu, siapa kemudian yang salah dalam persoalan yang kompleks ini? Agak rumit juga jika harus menyalahkan masyarakat, hal ini adalah sebuah tren paradigma dan “budaya” yang telah bercokol dari dulu hingga sekarang. Menjadi hal yang disayangkan pada saat pemerintah, sebagai golongan masyarakat elit dengan tingkat intelektualitas dan rasionalisme lebih baik, tidak menjadi pionir dalam memecah kebuntuan semacam ini.
Ironisnya, banjir Wasior, gempa Mentawai, dan awan panas Merapi justru ditanggapi dengan paradigma blessing in disguise, bahkan oleh pihak pemerintah sendiri. Memang, penanganan yang dilakukan telah diadakan, walaupun terbatas karena persoalan dana. Namun, yang lebih penting adalah adanya upaya mitigasi bencana sebagai simbol dari rasionalisme dan keberpihakan pada warga masyarakat, yang hingga saat ini tak kunjung diinternalisasikan dalam pola tindakan.
Dengan berbagai pengalaman bencana alam yang telah terjadi di Indonesia, seharusnya pemerintah mengubah infrastruktur yang ada dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Tidak perlu dengan biaya besar maupun proyek-proyek pembangunan. Mitigasi pun dapat dimaksimalkan dengan pembentukan struktur masyarakat tanggap bencana. Ironis jika mengingat kembali penebangan pohon di wilayah Papua, letupan Merapi, dan gempa pesisir Sumatra yang jelas-jelas merupakan rutinitas, tidak menjadi dasar pemerintah dalam mengubah paradigmanya, menjadi paradigma rasional yang tanggap bencana.
Nurcholis Madjid (1992) memang pernah mengatakan bahwa mitos dan mistisisme diperlukan sebagai penunjang sistem nilai dan keseimbangan dengan alam. Namun, pada waktu yang sama dia mengatakan bahwa mitologi sekarang tidak lagi menunjuk pada kenyataan yang benar. Dengan lokasi Indonesia yang semacam ini, kekayaan alam yang melimpah adalah sebuah anugerah yang dibarengi dengan adaptabilitas terhadap kemungkinan bencana. Sudah bukan saatnya lagi pemerintah hanya bersikap reaktif terhadap isu ini.
Sebuah tindakan proaktif dalam beradaptasi dengan kondisi wilayah dengan pembentukan infrastruktur tanggap bencana adalah sebuah keharusan. Dengan adanya pengubahan paradigma “bencana alam sebagai kekuatan tak terbendung” menjadi “bencana alam harus diatasi dengan adaptasi”, akan membuat pemerintah dan masyarakat sadar bagaimana mengenali kondisi alam, bencana alam, dan bagaimana bersahabat dengannya dalam kerangka rasionalitas. Tidak perlu ada lagi pengeluaran besar penanganan pascabencana, tidak ada lagi banyak korban, tidak ada lagi takdir yang menyedihkan. (***)
http://harianjoglosemar.com/berita/kita-dan-mistisisme-bencana-28440.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar