Sabtu, 06 November 2010

Anak dan Remaja dalam Bencana

Sabtu, 6 November 2010 | 04:42 WIB

Limas Sutanto

Sebagaimana biasanya, setelah bencana terjadi, simpati masyarakat luas menghambur keluar. Para politisi juga selalu memanfaatkan saat-saat pascabencana sebagai ajang meningkatkan popularitas mereka. Para pejabat, mulai dari Presiden, menteri, sampai gubernur, bupati, dan sebagainya, semuanya berduyun mengunjungi daerah bencana. Di sana mereka menyatakan simpati, sejenak menjamah rakyat yang menjadi korban, mengucurkan bantuan material, membuat pernyataan-pernyataan, serta menjawab pertanyaan para wartawan.
Mungkin semua itu tidak jelek. Mungkin berbagai aksi itu positif. Namun, tiadanya perhatian khusus terhadap anak-anak (mereka yang berusia bayi hingga usia 12 tahun) dan para remaja (mereka yang berusia 12 tahun hingga 21 tahun) yang menjadi korban bencana mencerminkan betapa simpati yang berhamburan itu lebih bersifat emosional, kurang disertai pemahaman mendalam tentang hakikat penderitaan manusiawi yang dialami para korban bencana.

Rentan trauma

Berderet penelitian, mulai dari penelitian-penelitian yang berlandaskan teori psikoanalitik klasik hingga penelitian-penelitian mutakhir berbasis model neuro-psikoanalitik, menegaskan simpulan, betapa kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak buruk trauma dalam bencana, tapi pada umumnya anak-anak dan para remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk lagi oleh trauma dalam bencana itu.

Oleh karena itu, luapan simpati pascabencana terasa begitu tidak utuh, bahkan kurang mendalam, jika tidak ternyatakan secara jelas dan efektif dalam tindakan-tindakan khusus yang ditujukan untuk menyelamatkan anak-anak dan para remaja dari trauma dalam bencana.

Otak dan jiwa anak-anak, terutama dalam lima tahun pertama kehidupan mereka, begitu plastis, dalam artian sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Plastisitas dan peluang terjadinya perubahan-perubahan besar, baik yang positif maupun yang negatif, berulang ketika anak-anak itu memasuki usia 12 tahun. Kondisi ini terus berlangsung hingga saat mereka berusia 21 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh membantu penghilangan efek negatif trauma itu pada anak-anak dan para remaja dapat meneguhkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan, dan gangguan perilaku personal maupun sosial).

Psikopatologi yang terteguhkan pada masa kanak-kanak dan remaja akan terus berpengaruh negatif terhadap kehidupan individu di masa-masa kehidupan selanjutnya. Maka kerugian kemanusiaan terbesar justru terjadi karena efek trauma bencana pada anak-anak dan kaum remaja. Efek negatif trauma pada anak- anak dan kaum remaja bisa begitu luas, berupa efek negatif terhadap perkembangan otak, efek buruk terhadap perkembangan neurokimiawi, pengaruh negatif terhadap perkembangan psikoseksual, perkembangan emosional, perkembangan kognitif, perkembangan konsep diri, bahkan pula terhadap perkembangan ”keyakinan atas kemampuan diri”.

Pengasuh utama

Hal traumatik paling mendasar yang dialami oleh anak-anak dan para remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama, termasuk kehilangan ibu, ayah, bibi, paman, guru, dan orang-orang dekat lain yang biasanya berfungsi sebagai pemberi asuhan utama. Peran pengasuh utama itu begitu penting dan mendasar dalam perkembangan otak dan jiwa anak-anak dan remaja.

Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik, diresapi pengertian, penerimaan hangat, dan kejujuran, serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak dan jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat, baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial, yang kemudian melandasi dan menjadi modal kuat bagi perwujudan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik di masa-masa selanjutnya. Namun, dalam bencana, anak-anak dan para remaja mungkin kehilangan pengasuh utama. Jika para pelawat mereka tidak secara khusus memprogramkan upaya menyubstitusi peran pengasuh utama, bisa jadi anak-anak dan para remaja itu kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik untuk selamanya.

Peristiwa traumatik lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah. Rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan para remaja. Di tempat hidup utama itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.

Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati niscaya lebih diwujudnyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan para remaja dalam bencana.

Limas Sutanto Psikiater, Konsultan psikoterapi di Malang; Ketua Seksi Psikoterapi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04425459/anak.dan.remaja.dalam.bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar