Minggu, 07 November 2010

Menunggu 20 tahun

TAJUK RENCANA
Senin, 8 November 2010 | 03:36 WIB

Antisipasi Setelah Bencana 

Belum diketahui kapan semburan awan panas, lava, dan material vulkanik lain Gunung Merapi akan berakhir. Masih perlu kewaspadaan tinggi.
Sejak letusan pertama Gunung Merapi pada 26 Oktober lalu, korban terus berjatuhan. Jumlah korban jiwa, menurut BNPB, sampai Minggu pukul 18.00 mencapai 135 orang. Korban meninggal diperkirakan terus bertambah. Belum terhitung jumlah korban cedera, yang umumnya terbakar oleh awan panas. Tragedi Gunung Merapi telah memaksa lebih dari 280.000 orang menjadi pengungsi.

Sudah pasti konsentrasi saat ini lebih diarahkan pada upaya pemberian bantuan dan pertolongan kepada para pengungsi yang tersebar di sejumlah lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jumlah pengungsi akan bertambah banyak lagi jika daerah bahaya terus meluas. Potensi bahaya Gunung Merapi masih tinggi.

Sampai sekarang regu penyelamat, termasuk dari unsur pemerintah, TNI, kepolisian, dan sukarelawan, masih terus berjuang keras menyelamatkan para korban di tengah ancaman serangan awan panas. Luar biasa! Sekalipun konsentrasi masih terpusat pada upaya pertolongan dan bantuan maupun penanganan pengungsi, tidak ada salahnya jika sekarang mulai dipikirkan pula berbagai persoalan yang bakal dihadapi pascabencana.

Bencana Gunung Merapi tidak hanya meminta korban jiwa dan gelombang pengungsian, tetapi juga kerugian harta benda tidak sedikit. Kehidupan ekonomi praktis lumpuh di desa-desa yang terserang awan panas. Cepat atau lambat, para pengungsi akan kembali ke desanya masing-masing. Mereka akan mendapati rumah mereka sudah rusak atau hancur. Tanaman dan ternak juga habis.

Persoalan paling serius, bagaimana mereka dapat melanjutkan hidup di desanya yang tertutup abu tebal vulkanik. Sekalipun memiliki potensi kesuburan, abu vulkanik tidak bisa serta-merta dapat ditanami. Masih dibutuhkan waktu dan siraman air hujan untuk dapat ditanami.

Atas pertimbangan tersebut, gagasan tentang pentingnya antisipasi terpaksa dilontarkan secara dini karena dikhawatirkan manajemen bencana, termasuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, akan kedodoran. Efektivitas manajemen bencana selalu dikeluhkan sekalipun bangsa Indonesia sering berurusan dengan bencana.

Sekitar satu bulan terakhir Indonesia ditimpa tiga bencana besar, tanah longsor di Wasior (Papua), tsunami di Mentawai, dan Gunung Merapi. Ketiga bencana menuntut penanganan serius, tetapi manajemen bencana terkesan masih lemah. Koordinasi dinilai kurang berjalan.

Tantangan serius lainnya tentu saja adalah bagaimana menuntaskan persoalan. Datangnya musibah baru sering membuyarkan perhatian terhadap penanganan bencana terdahulu. Itulah sebabnya, berbagai kalangan mengingatkan, seluruh pemangku kepentingan harus memberikan perhatian serius terhadap nasib korban bencana Merapi, Mentawai, dan Wasior.


***

Menunggu Selama 20 Tahun

Apakah penantian selama 20 tahun akan berarti dan mengubah hidup rakyat Myanmar ataukah itu merupakan sebuah penantian yang tiada berarti?

Kemarin, 7 November 2010, dilaksanakan pemilihan umum di Myanmar. Inilah pemilu pertama dalam 20 tahun terakhir. Pada 20 tahun silam, pemilu dimenangi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi, partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Tetapi, kemenangan mereka tidak diakui oleh rezim militer yang berkuasa, bahkan Suu Kyi ditahan hingga saat ini.

Penguasa militer menyebut pemilu kemarin sebagai penanda transisi ke pemerintahan sipil yang demokratik. Tetapi, kalangan oposisi dan pembela hak-hak asasi manusia serta pendekar demokrasi menyebut pemilu kemarin itu hanyalah sebuah kepura-puraan. Itulah sebabnya, Liga Nasional untuk Demokrasi memboikot pemilu tersebut.

Sejak semula sudah bisa diperkirakan bahwa pemilu akan dimenangi oleh partai yang berkuasa. Perkiraan tersebut tidak berlebihan karena dari 37 partai politik yang mengikuti pemilu, 80 persen di antaranya adalah partai pendukung junta militer. Selain itu, dari sekitar 3.000 kandidat, dua pertiga di antaranya maju dengan membawa bendera partai-partai yang ada hubungannya dengan junta yang berkuasa.

Lewat pemilu kemarin, akan dipilih para wakil yang akan duduk di parlemen (majelis rendah dan majelis tinggi) serta 14 majelis regional. Para anggota parlemen itulah yang nantinya akan memilih presiden dan dua wakil presiden. Kursi di majelis rendah berjumlah 450 buah dan 100 kursi di antaranya diperuntukkan bagi militer. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam konstitusi Myanmar yang disahkan tahun 2008.

Itulah sebabnya, kejujuran, keadilan, dan keterbukaan pemilu juga diragukan. Apalagi sejumlah tokoh oposisi dilarang ambil bagian. Para pemantau dan wartawan asing pun dilarang datang. Oleh karena itu, banyak yang menganggap bahwa pemilu kali ini adalah ”pemilu pura-pura” meskipun junta yang berkuasa menyatakan bahwa pemilu ini merupakan tahapan ke arah pemerintahan sipil dan terbentuknya disciplined democracy.

Namun, di tengah keraguan dan kecurigaan itu sejumlah kalangan berpendapat, meski peluang untuk perubahan kecil, mereka tetap akan memanfaatkan pemilu itu untuk mendorong perubahan. Kalaupun impian mereka tidak terwujud, paling tidak pemilu ini akan dijadikan sebagai pematangan diri untuk mengantisipasi masa depan.

Kini kita menunggu bagaimana hasil pemilu kemarin. Apakah penantian rakyat Myanmar selama 20 tahun akan sia-sia atau penantian yang berarti? Kekuasaan memang telah membutakan hati nurani para penguasa. Kenikmatan kekuasaan telah memabukkan sehingga membuat pemegang kekuasaan lupa daratan.
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/08/03363991/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar