Sabtu, 12 September 2009

Masjid Jami Al-Anwar Telukbetung Saksi Keganasan Letusan Krakatau

Minggu, 13 September 2009 pukul 01:48:00

Masjid Jami Al-Anwar Telukbetung Saksi Keganasan Letusan Krakatau


Rubrik Arsitektur


Masjid ini dibangun dengan konstruksi yang sederhana tanpa menggunakan semen.

Bila berada di Kota Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung, tak lengkap bila tidak berkunjung ke masjid-masjid tertua di Lampung. Dan, dari beberapa masjid yang berusia cukup tua, salah satu yang perlu disaksikan adalah Masjid Jami Al-Anwar. Masjid yang berada di Jl Laksamana Malahayati 100 Telukbetung, Bandar Lampung, ini telah berusia lebih dari seabad karena didirikan pada 1839.

Masjid ini terletak di pusat keramaian (permukiman padat) penduduk dan perdagangan di kawasan Telukbetung. Sejak dahulu, kawasan ini menjadi sentra perdagangan ritel terkenal di Lampung karena posisinya yang berada di bibir pantai Teluk Lampung, yang menghubungkan dengan perairaan Selat Sunda.

Bila dilihat sepintas dari luar atau saat melintas di Jl Malahayati, bangunan masjid ini tampak biasa-biasa saja. Tidak terlihat ada keistimewaan atau keunikan yang berarti. Dan, tak ada sesuatu yang menonjol akan keunikan dari masjid ini. Keberadaan menara atau kubah masjid yang telah menjadi simbol sebuah masjid juga tak ada corak khusus yang menunjukkan keistimewaannya.

Padahal, Masjid Jami Al Anwar Telukbetung ini memiliki sejarah yang berarti bagi Provinsi Lampung. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di seantero Provinsi Lampung dan Kabupaten Tulangbawang khususnya. Ia didirikan sejak tahun 1839 dan hingga kini telah mengalami tiga masa, yakni masa penjajahan, kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan. Dan, masjid ini tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

Letusan Krakatau
Menurut Ketua Seksi Sarana dan Fisik Bangunan Pengurus Masjid Jami Al Anwar Telukbetung, H Muhammad Achmadi Malik (70 tahun), berdasarkan catatan sejarah, masjid ini berdiri pada tahun 1839. Ketika itu, bangunan masjid sangat kecil dan hanya berbentuk sebuah mushala yang terletak di atas lahan wakaf milik warga seluas 400 meter persegi.

Ketika Gunung Krakatau yang berada di tengah perairan Selat Sunda meletus pada tahun 1883, bangunan masjid pun ikut rata dengan tanah. Tak hanya masjid yang ketika itu masih berupa mushala al-Anwar, ribuan rumah dan ratusan ribu jiwa masyarakat Lampung turut menjadi korban kedahsyatan letusan Gunung Krakatau.

Usai letusan Gunung Krakatau, wilayah Lampung yang berada di ujung selatan Pulau Sumatra kembali dihuni orang. Penghuninya pun berasal dari beragam etnis dan suku. Di antaranya, selain warga asli Lampung, juga terdapat suku Bugis, Palembang, Bengkulu, Banten, dan Jawa.

Lima tahun setelah gunung meletus, Muhammad Saleh bin Karaeng, Daeng Sawijaya, dan masyarakat setempat, termasuk para saudagar dari Palembang, Banten, Bengkulu, Bugis, dan tokoh Lampung, bermusyawarah untuk membangun kembali mushala yang telah hancur tersebut. Berdirilah Masjid Jami Al Anwar.

Setengah abad setelah guncangan Gunung Krakatau, warga dari berbagai suku, yang tinggal di bibir pantai Teluk Lampung ini, kembali membangun dan merenovasi bangunan masjid bersejarah yang runtuh tersebut. Lalu, berdirilah Masjid Jami Al-Anwar pada tahun 1888. Pada masa penjajahan tersebut, pembangunan masjid ini masih mengandalkan konstruksi dan bahan material seadanya.

Achmadi mengatakan, Masjid Al-Anwar saat didirikan menggunakan bahan dan konstruksi yang sangat sederhana. Bahkan, gaya bangunannya tidak meniru gaya arsitektur bangunan yang biasa diterapkan di masa penjajahan.

''Konstruksi bangunan masjid dikerjakan secara bergotong royong bersama segenap masyarakat setempat. Hingga sekarang ini, tidak diketahui secara pasti asal usul arsitek pembuat masjid,'' jelasnya.

Ia mengatakan, arsitektur masjid tidak meniru bangunan masjid dari negara luar. Para pendiri masjid, kata dia, hanya ingin mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya warga pada masa penjajahan untuk melawan penjajah di Lampung. ''Bangunannya tidak ada corak khas. Yang jelas, berdiri masjid saja sudah lumayan,'' ujarnya menirukan cerita dari kakek dan neneknya dahulu.

Berbeda dengan Achmadi, Armen Syafei (78 tahun), warga setempat, mengatakan, bangunan masjid ini memang tidak ada ciri khusus. Namun, untuk arsitekturnya meniru benteng pertahanan milik penjajah.''Bangunan masjid ini tidak ada ciri khusus. Konstruksinya mengarah pada bangunan benteng pertahanan. Lihat saja tiang dan dindingnya dibuat dengan ukuran tebal seperti benteng pertahanan dari musuh,'' tuturnya.

Tanpa semen
Yang cukup unik dari masjid ini justru tampak dari keberadaan tiang saka guru. Bila hampir semua masjid menggunakan empat tiang saka guru yang dijadikan penahan atau rangka dari atap, Masjid Jami Al-Anwar ini justru menggunakan enam tiang saka guru yang besar. ''Enam tiang inilah yang menjadi ciri khas bangunan lama masjid,'' ungkap Achmadi.

Enam tiang dengan diameter sekitar 50 sentimeter dan tinggi delapan meter yang berada di tengah masjid berfungsi menopang kubah atas yang terbuat dari kayu.Selain tiang saka guru, keunikan lain dari masjid ini adalah keberadaan pintu masuk masjid. Dari dulu hingga sekarang, pintu itu tak mengalami perubahan yang berarti.

Dinding bangunan lama masjid yang bertumpuan batu bata berlapis sebagai pintu masuk masjid juga masih terlihat kokoh. ''Menurut ceritanya, tiang-tiang dan dindingnya dibuat tanpa semen, tapi dengan adukan telur campur kapur,'' tutur Achmadi.

Sangat mungkin, kata dia, bila adukan campuran batu, pasir, dan telur pada masa penjajahan dulu turut memperkokoh bangunan tanpa ada kerusakan sedikit pun hingga saat ini. ''Coba, kalau bangunannya sudah menggunakan semen, pasti ada yang berubah pada masjid yang berumur lebih dari 100 tahun ini,'' jelas pria asal Madura ini.

Renovasi
Keberadaan Masjid Jami Al Anwar yang berdiri sekarang merupakan hasil pemugaran atau renovasi tahun 1962. Panitia pembangunan masjid tetap mempertahankan bangunan asli masjid, seperti tiang dan dinding pintu masuk masjid. Tiang dan dinding masjid lama saat ini sudah berada di dalam masjid hasil renovasi.

Menurut data, setelah renovasi pertama tahun 1962, masjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi, yakni tahun 1994 dan 1997.Masjid yang berukuran sekitar 30 x 35 meter ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 6.500 meter persegi dan mampu menampung lebih dari 2.000 jamaah. Pada masa renovasi pertama, telah dibangun menara. Pada tahun 1994, menara masjid ini mengalami perubahan menjadi 26 meter. Di pintu masuk masjid, dibangun teras sederhana, namun bergaya arsitektur lama masa penjajahan Belanda.

Ia mengatakan, pada renovasi tahun 1962, konstruksi bangunan ini masih bercirikan konstruksi bangunan pada 1888. Hal ini bisa dilihat dari dinding masjid, pintu masuk masjid, dan menara masjid, termasuk pagar yang mengelilingi masjid. Semua dibuat dengan batu bersusun berlapis, seperti bangunan masa penjajahan dulu.

Dalam catatan sejarah, masjid bersejarah ini pada masa perjuangan kemerdekaan melawan penjajah Belanda menjadi basis tempat berkumpulnya para tokoh pejuang untuk mengatur strategi perlawanan penjajah. Pejuang tersebut di antaranya adalah Alamsjah Ratuperwiranegara, Kapten Subroto, KH Nawawi, dan KH Toha.

Sebagai masjid yang tertua di Lampung, Masjid Al-Anwar juga memiliki banyak peninggalan kuno, di antaranya dua buah meriam peninggalan Portugis, kitab tafsir Alquran yang sudah berumur lebih dari satu setengah abad, ratusan buku agama Islam berusia 150 tahun, naskah kuno letusan Krakatau 1883, dan gentong air untuk tempat berbuka puasa. Juga, terdapat sumur tua yang tidak pernah kering saat musim kemarau untuk mengambil air wudhu.''Meriam ini pemberian pemerintah daerah waktu itu. Ini sebagai ciri khas masjid yang dibangun pada masa penjajahan,'' kata Achmadi.

Beduk
Menurut Achmadi Malik, masjid tersebut masih menggunakan beduk untuk memanggil orang shalat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan ciri. Di dalam masjid tersebut, ada dua beduk dengan ukuran berbeda. Beduk pertama lebih besar dengan kondisi bentangan kulitnya sudah robek dan tidak digunakan lagi, kecuali pada malam takbiran karena untuk meramaikan suasana.

Sedangkan, beduk yang kini masih bagus berdiameter sekitar satu meter dan siapa pun boleh memukulnya jika waktu shalat telah tiba. Ia menjelaskan, syiar tersebut dilakukan ketika hendak masuk waktu shalat serta malam takbiran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. mursalin yasland



Dibangun oleh Perantau Asal Bone

Dengan usianya yang sudah cukup tua, masjid ini memiliki nilai sejarah yang cukup menarik. Menurut perantau asal Madura, Achmadi (70 tahun) yang kini menjadi petugas masjid, pembangunan masjid ini dimotori oleh seorang ulama keturunan Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan, yang bernama Muhammad Saleh bin Karaeng.

Dari catatan sejarah Masjid Jami Al-Anwar Telukbetung, tercatat nama Muhammad Saleh bin Karaeng sebagai salah satu tokoh yang menentang penjajah Belanda di Lampung.
Dalam hijrahnya dari tanah kelahirannya, Muhammad Saleh bin Karaeng beserta rombongan singgah di pesisir selatan Pulau Sumatra yang sekarang dikenal dengan Lampung. Diperkirakan, Muhammad Saleh dan rombongan adalah orang Bugis pertama yang berimigrasi ke Lampung.

Di tanah Bumi Ruwa Jurai (Lampung) ini, ia dan warga sekitar kemudian mendirikan sebuah mushala (surau) sebagai tempat ibadah, sekitar tahun 1839 M. Ia juga dibantu tokoh-tokoh lainnya, seperti Daeng Sawijaya, Tumenggung Muhammad Ali, dan Penghulu Besar Muhammad Said. Mushala ini menjadi pusat ibadah dan pembinaan keagamaan warga, nelayan, dan pedagang.

Keturunan mereka kini terus berkembang dan umumnya mendiami wilayah teluk atau pesisir Lampung. Mushala, lanjut dia, menjadi pusat peribadatan dan pembinaan agama Islam bagi nelayan, pedagang, serta masyarakat setempat.

Ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, kemudian tahun 1888; tokoh Bugis, seperti Muhammad Saleh bin Karaeng dan Daeng Sawijaya, mengajak sejumlah saudagar dari Banten, Bugis, Palembang, Bengkulu, dan tokoh Lampung untuk membangun kembali dan menjadikan bekas mushala itu sebagai masjid. Bangunan baru itu pun dinamai Masjid Jami Al Anwar. mur



SEJARAH PEMBANGUNAN MASJID JAMI AL-ANWAR

1839 == Didirikan sebuah mushala.
1883 == Letusan Gunung Krakatau meluluhlantakkan bangunan mushala.
1888 == Masjid dibangun kembali.
1962 == Dilakukan renovasi pertama.
1994 == Renovasi kedua.
1997 == Penambahan sejumlah bangunan.

Sumber: Wawancara Republika dengan tokoh setempat, Achmadi dan Armen Syafei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar