Sabtu, 12 September 2009

Keadilan Hukum Islam

Minggu, 13 September 2009 pukul 01:11:00

Keadilan Hukum Islam


Tema Utama

Rasulullah SAW dikenal sebagai seorang hakim yang adil, tegas, jujur, dan bijaksana.

Rasulullah SAW adalah manusia pilihan Allah SWT yang diutus kepada seluruh umat manusia untuk menyempurnakan akhlak. Di antaranya akhlak dalam pergaulan, akhlak dalam berpolitik, akhlak dalam berumah tangga, dalam mendidik anak-anak, dalam pemerintahan, dalam masalah ekonomi, dan dalam penegakan hukum. Tujuannya adalah agar umat manusia senantiasa berada di jalan yang benar, yang lurus ( shirat al-mustaqim ), dan diridai Allah SWT.

Pada diri Rasulullah SAW, terdapat suri teladan bagi umat Islam dalam menjalankan semua sendi kehidupan (QS Al-Ahzab [33]: 21). Keteladanan Rasulullah SAW bisa dilihat ketika membangun sebuah masyarakat yang berdasarkan tuntutan Islam, yakni di Madinah.

Di Kota Nabawi ini, setidaknya ada lima hal yang menjadi perhatian utama Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat yang damai, sejahtera, dan senantiasa berada dalam tuntunan Alquran. Kelima hal tersebut adalah pemantapan Islam sebagai ajaran, kekuatan politik, keilmuan, persatuan dan kesatuan, serta penegakan hukum.

Dalam urusan penegakan hukum, selain sebagai pemimpin umat, Rasulullah SAW dikenal sebagai seorang hakim yang adil, tegas, jujur, dan bijaksana. Beliau tak pernah menetapkan hukum dengan rasa belas kasihan, pilih kasih, atau tebang pilih. Rasulullah sangat tegas dan tidak memihak siapa pun. Baik pejabat pemerintahannya, sahabatnya, masyarakat kecil maupun anggota keluarganya sendiri, termasuk anaknya.

Dalam Alquran diterangkan tentang ketegasan sikap Rasulullah SAW dalam menegakkan hukum ini. ''Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.'' (QS An-Nisaa' [4]: 105-108).

Ayat ini diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan oleh Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu dan malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi SAW dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah.

Dalam peristiwa ini, Rasulullah SAW hampir saja membenarkan ungkapan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. Namun, Allah memberikan teguran bahwa sesungguhnya yang bersalah adalah Thu'mah. Maka, Rasulullah SAW menetapkan hukum terhadap Thu'mah.

Rasulullah SAW ditunjuk oleh Allah SWT menjadi hakim untuk memutuskan setiap perkara yang diperselisihkan dengan cara yang adil. (QS An-Nisaa' [4] : 61 dan 65; As-Syura' [42]: 15; dan An-Nur [24}: 51).

Sebagai hakim, Rasulullah memeriksa dan memutuskan suatu perkara di masjid. Pada zaman Rasulullah SAW belum terdapat gedung pengadilan seperti pada masa kini. Semua perkara diproses dan diputuskan di Masjid Nabawi, yang pada masa itu selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi untuk kantor pemerintah pusat dan peradilan.

Tak pandang bulu
Sikap tegas yang ditunjukkan Nabi SAW dalam penegakan hukum, antara lain tergambar dalam kisah seorang perempuan di zaman Rasulullah SAW sesudah fath Makkah (pembebasan Kota Makkah--Red) saat mencuri. Rasulullah lalu memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong.

Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi perempuan tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau bersabda, ''Apakah kamu akan meminta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza wajalla?'' Usamah lalu menjawab, ''Mohonkan ampunan Allah untukku ya Rasulullah.''

Pada sore harinya, Nabi SAW berkhutbah setelah terlebih dahulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Beliau bersabda, ''Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri, dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah), dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya.'' (HR Bukhari). Setelah sabda itu, beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu.

Dengan sifat dan sikap konsisten yang ditunjukkan Rasulullah SAW tersebut membuatnya disegani dan ditakuti, baik oleh pengikutnya maupun pihak Quraisy (lawan). Sifat dan keteladanan Rasulullah dalam menegakkan hukum inilah yang mendorong masyarakat Arab Yatsrib mengikat perjanjian di hadapan Nabi SAW, dan perjanjian ini dikenal dengan Baiat Aqabah pertama. Baiat Aqabah pertama ini merupakan perjanjian hukum pertama yang dibuat Rasulullah SAW.

Dalam perjanjian itu, disebutkan bahwa mereka tidak menyekutukan Allah SWT, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak keturunan, tidak menyebar fitnah, dan tidak mengabaikan kebenaran.

Baiat Aqabah ini kemudian berkembang menjadi Piagam Madinah. Jika Perjanjian Aqabah adalah sebuah kesepakatan lisan, Piagam Madinah merupakan perwujudannya dalam bentuk tertulis. Piagam Madinah, yang oleh sejarawan mutakhir disebut Konstitusi Madinah, merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain.

Sesuai hukum Allah
Selain dikenal sebagai figur yang tegas, Nabi SAW juga dikenal sebagai sosok yang bijak dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan perkara, beliau selalu memikirkannya dengan matang. Dan, dalam memutuskan suatu perkara, beliau selalu mengacu kepada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam Alquran. Salah satu contohnya pada saat beliau memutuskan sanksi rajam terhadap para pelaku perzinaan.

Pada masa Nabi SAW, sanksi rajam pada umumnya didasarkan pada kasus-kasus pengaduan dan permintaan dari si pelaku zina sendiri. Tidak ada satu pun pelaksanaan rajam yang didasarkan pada kesaksian seseorang. Sebagai contoh konkretnya--sebagaimana yang termaktub dalam Sunan Ibn Majah--diriwayatkan bahwa seseorang yang bernama Ma'iz mengadu kepada Rasulullah atas perbuatan zina yang telah dilakukannya.

Uniknya beliau tidak serta-merta merespons aduan Ma'iz tersebut. Dengan kata lain, beliau tidak langsung menitahkan pelaksanaan hukum rajam bagi Ma'iz. Karena merasa tidak direspons, Ma'iz mengulangi pengaduannya tersebut sampai empat kali hingga pada akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan sahabat untuk melaksanakan hukum rajam sebagai sanksi atas perbuatan zina Ma'iz.

Ketika hukum 'lempar batu' dijalankan, tiba-tiba Ma'iz melarikan diri karena merasa kesakitan. Saat Nabi SAW menerima berita tersebut, beliau justru bersabda: ''Mengapa tidak kalian biarkan Ma'iz lari saja ?''.

Dalam Shahih Muslim diceritakan, suatu waktu ada seorang wanita dari suku Ghamidiyyah menghadap Muhammad SAW. Dia berkata, ''Ya Rasulullah, sungguh aku telah berbuat lacur. Maka, aku mohon bersihkanlah diriku''. Rasulullah dengan arif menolak pengaduan tulus wanita tersebut.

Karena penasaran pertemuannya dengan Nabi SAW tidak membawa hasil, si perempuan Ghamidiyyah kembali mendatangi beliau keesokan harinya seraya berkata, ''Ya Rasulullah mengapa Engkau tidak menjawab pengaduanku? Apa barangkali Engkau meragukanku sebagaimana Engkau meragukan pengaduan Ma'iz? Demi Allah, aku sekarang sedang hamil''. Kali ini Rasulullah menjawab, ''Datanglah sesudah kamu melahirkan''.

Beberapa bulan kemudian, perempuan Ghamidiyyah itu melahirkan anak yang dikandungnya, lalu dia menghadap Rasulullah. Sambil membawa serta si jabang bayi dalam gendongannya dia berkata: ''Rasulullah, aku telah melahirkan''. Rasulullah menjawab dengan ramah, ''Pergilah kamu menyusui anakmu hingga kamu menyapihnya''.

Setelah masa menyusui anaknya berakhir, ia kembali menghadap Nabi SAW. ''Wahai Nabi Allah, ini aku. Sekarang anakku telah kusapih dan dia pun sudah bisa makan''. Berikutnya si anak yang masih kecil tersebut diserahkan kepada seseorang dari kaum Muslimin dan akhirnya Rasulullah memutuskan agar wanita tersebut dirajam, sebagai hukuman atas perbuatan zina yang dilakukannya.

Beberapa riwayat tersebut di atas, menunjukkan bukti keadilan, ketegasan, dan kebijaksanaan Rasulullah SAW dalam menetapkan sebuah hukum bagi pelaku yang berbuat zalim. Siapa pun yang bersalah, pelakunya harus dihukum. Namun demikian, sebelum hukum dijatuhkan, harus dibuktikan terlebih dahulu perbuatan yang dilakukan. Dan ketika bukti sudah ditemukan, harus diperhatikan kondisi dari si pelaku, apakah ada sesuatu hukuman yang dapat meringankannya. Inilah prinsip dan asas dari hukum Islam. dia/sya/berbagai sumber


Tujuan dan Prinsip Hukum Islam


Bagi orang yang tak memahami ajaran Islam yang sesungguhnya, ada yang mengganggap bahwa hukum Islam itu kejam, sadis, dan tidak bijaksana. Dianggap sadis dan kejam, karena harus dilaksanakan hukum kisas (balas), bunuh dengan dibunuh, mencuri dipotong tangan, dan berbohong dipotong lidahnya, pelaku zina harus dirajam, dan lain sebagainya. Namun, di balik itu, sebenarnya hukum Islam itu memiliki tujuan dan prinsip dasar, yakni membimbing manusia ke jalan yang benar dan lurus.

Secara global, tujuan hukum Islam ( syara' ) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini maupun kemaslahatan di akhirat yang kekal dan abadi. Konsep ini berdasarkan, antara lain firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 107: ''Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.''

Dalam surah Ali Imron [3]: 159, dijelaskan, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.''

Menurut Abu Ishaq al-Syatibi, yang dikutip oleh Prof H Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya Asas-asas Hukum Islam , tujuan hukum Islam itu adalah lima hal. Kelima hal tersebut dikenal dengan istilah al-maqashid al-khamsah atau al-maqashid al-syari'ah.

Pertama, memelihara agama ( hifzh al-Din ). Menurut Muhammad Ismail Syah dalam bukunya Filsafat Hukum Islam , agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya.

Allah memerintahkan umat Islam untuk tetap menegakkan agama. Karena itu, agama (Islam) harus terpelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusakkan akidah, ibadah, dan akhlak. Agama Islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya.

Kedua, memelihara jiwa ( hifzh al-Nafs ). Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman kisas (pembalasan yang seimbang). Dengan demikian, diharapkan sebelum seseorang melakukan pembunuhan, maka dirinya pun akan merasakan hal yang sama, yakni dibunuh. Hukuman seperti ini tujuannya untuk membuat jera pelakunya.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Albaqarah ayat 178-179: ''Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepadamu qisas (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar dia kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, baginya siksaan yang pedih. Dalam qisas itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang yang mempunyai akal.''

Ketiga, memelihara akal ( hifzh al-‘Aql ). Manusia adalah makhluk Allah SWT yang berbeda dengan makhluk ciptaannya yang lain. Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang. (QS At-Tiin: 4).

Akan tetapi, bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Dalam Alquran, berulang kali Allah menunjukkan pentingnya menggunakan akal. Untuk memelihara agar akal kita tersebut jangan sampai rusak, Allah SWT melarang kita mengonsumsi minum-minuman keras (khamar), seperti bir, anggur, wishky, dan lain sebagainya yang sejenis dengan itu yang dapat memabukkan.

Keempat, memelihara keturunan ( hifzh al-Nasl ). Untuk ini, Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan ini dilakukan, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sehingga perkawinan ini dianggap sah dan percampuran di antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.

Dan kelima, adalah memelihara harta ( hifzh al-Mal ). Meski pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak kepada harta benda sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apa pun, Islam mengatur jangan sampai terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain.

Untuk ini, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai serta melarang penipuan, riba, dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.

Prioritas kepentingan
Di samping kelima tujuan hukum Islam yang telah disebutkan tadi, tujuan Islam tersebut jika ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, pada dasarnya ada tiga prioritas utama yang diperlukan untuk memelihara tujuan yang lima tersebut, yakni:

Pertama, dharuriyat, adalah hal-hal yang mesti adanya dan tidak boleh tiada untuk menegakkan agama dan kepentingan dunia (primer/pokok). Apabila hal-hal tersebut tidak ada, tentulah akan kacau hidup manusia dan rusak dunia ini.

Kedua, haajiyyat, yakni segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menghindari kesulitan dan menghilangkan kepicikan. Pada dasarnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran. Dalam memelihara agama, seorang Muslim diperbolehkan berbuka puasa di bulan Ramadhan karena dalam perjalanan atau sedang sakit dan menggantinya di bulan lain. Ia diperbolehkan menjamak shalat dan mengqasarnya di waktu bepergian, demi memelihara jiwa, ia pun diperbolehkan memakan makanan yang diharamkan selama tidak ada makanan yang halal.

Dalam tujuan hukum yang bersifat sekunder ( al-haajiyyat ) adalah perbuatan yang menjadi pelengkap kehidupan primer manusia. Dalam keadaan terpaksa (darurat), tujuan haajiyyat ini bisa berubah menjadi kebutuhan primer ( dharury ). Atas dasar ini, dikenal kaidah usul fikih dengan al-hajat qad tanzil manzilat al-darurah , keperluan sekunder pada suatu ketika dapat diangkat menjadi kebutuhan primer.

Ketiga, tahsiniyyat, yaitu mewujudkan apa yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang maupun oleh masyarakat, menurut pertimbangan susila dan kesopanan. Aspek kebutuhan tahsiniyyat , apabila tidak terpenuhi atau terwujud, kehidupan manusia tidak akan kacau dan rusak. Contohnya, kebutuhan akan pakaian, jika sudah ada pakaian yang sopan dan pantas, tidak perlu lagi mencari pakaian yang lebih baik lagi. berbagai sumber/dia


Asas-Asas Hukum Islam



Alquran dalam menetapkan sebuah hukum, baik yang sedang ataupun yang akan diberlakukan untuk ummat manusia, khususnya umat Islam, maka ada beberapa unsur-unsur yang mesti dipenuhi, di antaranya adalah agar hukum tersebut dapat dilaksanakan oleh umat Islam, hukum itu tidak menjadi beban bagi kaum Muslimin untuk mengerjakannya. Dengan demikian, hukum Islam itu menjadi fleksibel dan mudah dilaksanakan.

Tidak semua pemecahan masalah hukum atas pelbagai kehidupan manusia dimuka bumi ini dirinci secara jelas dan tegas dalam Alquran dan As-sunnah. Oleh karena itu, lewat pendekatan linguistik, para ahli ushul berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum ( al-qowa'id at-Tasyri'iyyah ).

Dalam hal menggali dan mencari hukum untuk masalah yang belum ada nash -nya, umat Islam harus berpegang pada prinsip berpikir dan bertindak demi terwujudnya tujuan hukum, yaitu kemaslahatan/kesejahteraan hamba di dunia dan di akhirat. Aktivitas berpikir hendaknya berpegang pada asas-asas hukum Islam, yakni:

Pertama , meniadakan kepicikan. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (QS 2: 185); Rasulullah SAW selalu memilih yang termudah di antara beberapa hal, selama tidak berdosa. Karena itu, ketika sedang bepergian, lebih baik meringkas dan menjamak (menggabungkan) shalat daripada mengerjakannya secara lengkap.

Kedua , tidak memberatkan. Ketika turun Alquran, umat Islam dilarang bertanya-tanya tentang sesuatu yang apabila dijawab, justru akan memberatkan diri mereka sendiri (QS 5: 101). Tindakan demikian sama dengan tindakan orang Yahudi. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasul, apakah ibadah haji tersebut wajib setiap tahun, Rasulullah menjawab, ''Kalau saya menjawab 'ya', tentu wajib hukumnya setiap tahun. Kewajiban berhaji itu hanya satu kali seumur hidup.''

Ketiga , bertahap dalam melaksanakan hukum. Dalam menetapkan kewajiban bagi seseorang, hendaknya digunakan cara setahap demi setahap. Contohnya, dalam kasus minuman keras, hukum haram ditetapkan setelah dua ketetapan hukum sebelumnya, yakni ada manfaat dan mudharat, serta sesuatu yang memabukkan akan membuat seseorang hilang kesadaran. (Lihat Albaqarah ayat 219, An-Nisa' ayat 43, dan Al-Maidah ayat 90-91). Begitu juga, tentang pengharaman riba juga berangsur-angsur (bertahap) sampai tiga kali (lihat Ar-Ruum ayat 29, An-Nisa' ayat 160-161, dan Ali Imran ayat 130). berbagai sumber/dia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar