Rabu, 25 November 2009

Metode Penafsiran Sayyid Quthb (1)

Selasa, 31 Maret 2009 03:46 Oleh: Muhammad Mishbah

Pendahuluan
Dalam keyakinan kaum muslimin, al-Qur`an adalah firman Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran yang terkandung di dalamnya pun telah dianggap mutlak oleh seluruh kaum muslimin baik oleh muslim koneservatif maupun oleh muslim radikalnya. Meskipun demikian, dalam lingkup kesehariannya kaum muslimin dirasa banyak yang kurang mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur`an.
Dan yang sangat disayangkan lagi adalah pandangan sebagian kelompok yang hanya memahami al-Qur`an sebatas mencari pahala dengan sekedar membaca ataupun menghafalnya. Hal ini bukanlah tujuan inti diturunkannya al-Qur`an untuk manusia. Al-Qur`an sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diturunkan Allah sebagai petunjuk sekaligus sebagai pegangan hidup yang dapat memberikan solusi atas pelbagai ketimpangan sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial.
Oleh karena maksud tersebut, beberapa penafsiran telah berhasil ditelorkan oleh para ulama Islam agar dapat memahamkan inti yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an. Sebagai hasil usaha-usaha yang mereka lakukan, banyak kita jumpai berbagai macam kitab tafsir dengan kecenderungan berbagai paham yang diusung oleh para mufassir itu sendiri. Sebut saja tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an karangan Abu Abdullah al-Qurthubi yang lebih menengedepankan pembahasan fikihnya dari pada segi balaghah al-Qur`an, mengingat beliau adalah seorang ulama ahli fikih yang bermadzhab Maliki. Oleh karenanya sebagian orang menganggap kitab tersebut bukanlah kitab tafsir melainkan kitab fikih.
Begitu halnya dengan kitab Mafâtih al-Ghaib, karangan Imam Fakhruddin ar-Razi yang lebih menonjolkan sisi teologisnya hingga tidak salah jika ada orang yang mengatakan, “Segala sesutu telah aku dapatkan dalam kitab tersebut kecuali tafsir.” Melihat berbagai macan metode penafsiran yang dirasa kurang mampu untuk diterapkan oleh masa sekarang, maka mulia muncullah beberapa penafsir modern yang berusaha menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat.

Di antara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran al-Qur`an adalah Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka di kalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân yang menjadi master-piece di antara karya-karya lain yang dihasilkannya.

Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiaran sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran al-Qur`an.

Biografi Sayyid Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan.

Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA).

Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan.
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris.

Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang diperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri Barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah keislaman.
Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu al-A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syari’at politik Islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat Islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939.

Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945) dan “Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mulai membicarakan soal keadilan, kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan “Fî Zhilâl al-Qur`ân’” dan “Dirâsat Islâmiyyah”. Semasa dalam penjara, yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menghasilkan karya-karyanya. Di antara buku-buku yang berhasil ia tulis dalam penjara adalah “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li Hâdza al-Dîn”, “Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa Musykilah al-Hadhârah” dan “Fî Zhilal al-Qur`ân’ (lanjutannya).

Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher. Menurut sebuah sumber, sebelum dilakukan eksekusi, Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb.(Bersambung)
* Penulis adalah mahasiswa tingkat terakhir program S1 Univesitas al-Azhar Jurusan Tafsir dan Ulum al-Qur'an

Mungkin ada yang bertanya : Kenapa memilih Fi Zhlalil Qur’an dalam rubrik Tafsir? Apa tidak ada karya ulama besar Islam lain sejak Ibnu Abbas (Tafsir Ibnu Abbas) sampai Maududi (The Understanding of Qur’an). Atau karya ulama tetrkemuka Indonesia; buya Hamka yang bernama Tafsir Al-Azhar?
Saudaraku yang tercinta. Pada dasarnya, semua karya ulama Islam yang mu’tamad (memenuhi persyaratan sehingga bisa dijadikan pegangan) sama hebatnya. Karya-karya mereka, khususnya dalam tafsir Al-Qur’an merupakan hasil interaksi mereka dengan Al-Qur’an secara intensif selama mereka hidup. Bahakan tidak jarang, pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an yang mendalam dan pengamalan isinya serta penyebaran nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara konsisten menyebabakan mereka menghadapi berbagai ujian, khususnya dari penguasa atau pihak-pihak yang menginginkan Al-Qur’an jauh dari kepala, hati, perasaan dan prilaku umat ini. Itulah yang dihadapi Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang merelakan hidupnya diakhiri di tiang gantung rezim Jamal Abdul Naser demi mempertahankan isi dan kemuliaan Al-Qur’an.
Sebab itu, semua tafsir karya ulama-ualama besara sepanjang sejarah memiliki kelebihan dan keistimewaan. Keistimewaan tersebut terletak pada konsentrasi dan permasalahan yang mereka tekankan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi umat di zaman mereka masing masing.
Fi Zhilalil Qur’an juga demikian. Sayyid Qutb hidup di zaman penguasa-penguasa Islam yang amat zalim. Saking zalimnya, mereke memaksa umat ini hidup dengan sisitem jahiliyah yang mereka import dari Barat kolonialis yang nota bene dibungkus ajaran Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas bertentangan dengan inti ajaran Al-Qur’an.
Di zaman Fi Zhilil Qur’an ditulis (sebagian besarnya ditulis Sayyid Qutb di Penjara Mesir), nyaris sulit membedakan antara al-Haq (kebenaran yang datang dari Allah) dan al-Bathil (kebatilan yang datang dari manusia dan setan). Penjajah dengan segala pemikirannya menjadi tuan dan bahkan tuhan yang harus ditaati. Sednagkan penduduk negeri asli yang Muslim menjadi asing dan tamu di negeri sendiri. Antara Tauhid dan Syirik sudah nyaris tanpa beda. Antara iman dan kufur sudah tidak banyak lagi dibicarakan. Antara hati nurani, pikiran sehat dan hawa nafsu sudah samar. Antara carahaya dan kegelapan sudah tidak lagi menjadi perhatian. Bahkan antara Tuhan Pencipta (Allah) dengan berhala-berhala yang disembah, baik dalam bentuk manusia, sistem hgidup, tradisi nenek moyang, akal, ilmu pengetahuan, teknologi, patung, uang, jabatan dan sebagainya sudah tidak dihiraukan.
Bahkan, penguasa-penguasa dunia Islam saat itu dengan mudahnya memaksakan kepada umat ini untuk menerima dan mengakui yang hak menjadi batil, yang batil menjadi hak, yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal. Lebih dari itu, ulama dan para aktivis dakwah yang menyuarakan al-Haq itu adalah Al-Haq dan al-Bathil itu adalah al-Bathil dimushi, dituduh dengan berbagai tuduhan yang mengerikan, lalu ditangkap, dipenjara dan bahkan Sayyid Qutb sendiri dibunuh di tiang gantung rezim Jamal Abdul Naser.
Dalam salah satu untaian syair, Sayyid Qutb bersenandung :
Saudaraku….. engkau bebas merdeka di balik jeruji besi…
Saudaraku….. engkau bebas merdeka dengan belenggu ini…
Jika engkau benar-benar berlindung pada Allah….maka tipu daya budak-budah itu tidak akan mencelakakanmu..
Saudarakau…. Jika kita mati, bebarati kita akan bertemu dengan para kekasih kita (Rasul, Sahabat dan orang-orang saleh)
Taman syurgawi Tuhanku sudah disiapkan untuk kita…..

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah Fi Zhilalil Qiur’an ditulis dan disebarkan. Berkat taufiq dari Allah, sejak Fi Zhilal diterbitkan sampai hari ini, ia tetap menjadi rujukan berjuta-juta umat Islam dan bahkan oleh para ulama sendiri di seluruh penjuru dunia. Atau dengan kata lain, Fi Zhilal tetap menjadi best seller sejak diluncurkan sampai hari ini. Syekh Abdullah Azzam pada pertengahan 80an pernah bercerita: Di Libanon, jika ada percetakan mulai bangkrut, para pemiliknya mencetak Fi Zhilalill Qur’an dan juga buku-buku Sayyid yang lain, maka percetakan tersebut terhindar dari kebangkrutan. Allahu Akbar….
Kenapa Fi Zhila menjadi rujukan uatama saat ini? Jawabannya ialah bahwa situasi dan kondisi kita sekarang tidak jauh berbeda dengan situasi dan kondisi saat Fi Zhilal ditulis sekitar 45 tahun lalu. Bahakn jahiliyahnyapun masih itu-itu juga. Ingkar pada Allah dan Rasul-Nya. Tidak mau menjadikan Al-Qur’an senbagai the way of life. Mempertuhankan akal, ilmu pengetahuan, teknologi, harta dan kedudukan. Berbagai kejahatan dan kezaliman yang timbul akibat jauh dari manhaj Al-Qur’anpun juga masih sangat terasa seperti saat Fi Zhilal diluncurkan. Alangkah miripnya zaman kini dengan masa itu.
Secara umum dapat kita simpulkan bahwa Fi Zhilalil Qur’an memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Di antaranya :
1. Kekuatan membawa kita tenggelam sambil menyelami ilmu dan hikmah yang ada di dalam Al-Qur’an dengan penuh kenikmatan yang tidak mungkin digambarkan dengan kata-kata.
2. Kekuatan megikat dan merajut ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Rasul Saw. serta Sirah Nabawiyah dan para Sahabatnya, kemudian dikaitkan dengan sitausi dan kondisi kekinian (waqi’).
3. Kekuatan membangkitkan keyakinan (keimanan), optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah dan rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang Allah hadirkan ke atas bumi ini.
4. Kekuatan menggugah pikiran dan perasaan kita sehingga muncul berbagai inspirasi, ide, gagasan dan berbagai pertanyaan yang paralel dengan situasi dan kondisi yang kita lewati sekarang, sehingga kita memahami dengan tepat situasi dan kondisi tersebut dengan ide solusi yang jelas pula.
5. Kekuatan pencerahan yang luar biasa terkait hakikat Tuhan, manusia, kehidupan dunia, alam semesta, kehidupan akhirat, jahiliyah dan Islam.
6. Kekuatan penelaahan yang sangat luar biasa dalam hal hakikat Islam dan Jahiliyah, iman dan kufur, serta keunggulan manhaj (konsep) Islam dibandingkan dengan konsep jahiliyah, baik dulu maupun yang ada sekarang yang datang dari Barat maupun Timur.
7. Kekuatan bahasa yang digunakan karena Sayyid Qutb memang terkenal sebagai seorang penyair kawakan di zamannya dan bahkan beberapa syairnya sampai hari ini belum terkalahkan.
Sungguh Fi Zhuilalil Qur’an adalah kekuatan yang lahir dari keyakinan yang kuat, pamahaman yang mendalam, penerapan dalam kehidupan nyata dan diperjuangakan oleh penulisnya sampai detak jantungnya yang terakhir. Sebenarnya, ada tawaran dari Jamal Abdul Naser bahwa Sayid Qutb dapat selamat dari tiang gantung (hukuman mati) asal mau menandatangani surat minta maaf yang telah disiapkan penguasa. Sambil menuju ke tiang gantung Sayid Qutb berkata :
Sesungguhnya telunjuk saya yang bersaksi dengan mengucap dua kalimat syahadat (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-nya) minimal lima kali dalam sehari (waktu shalat fardhu) tidak mungkin dia menandatangani atau menulis satu katapun yang menyebabkan saya beredekat-dekat dengan penguasa thaghut (zalim). Jika saya dihukum disebabkan karena al-Haq, maka saya ridha berhukum dengan al-Haq. Namun jika saya dihukum dengan al-Bathil (kebatilan) maka saya lebih besar dari meminta kasih sayang kepada kebatilan itu.
Agar dapat menikmati hidangan Fi Zihalil Qur’an dengan indah dan nikmat, maka pertama kali kami menyajikannya kepada para pembaca/pengunjung ringkasan mukaddimahnya. Ringkasan mukaddimah tersebut kami bagi menjadi empat (4) tulisan. Setelah itu, kami akan menurunkan Fi Zhilalil Qur’an secara tematik, yakni sesuia situasi dan kondisi yang kita hadapi. Hal tersebut kami lakukan agar terasa bahwa Al-Qur’an itu adalah petunjuk hidup (hudan), jalan keselamatan, peringatan, syifa (obat) dan rahmat saat kita berada di dunia ini. Al-Qur’an adalah jalan peningkatan kualitas hidup kita yang sejati saat menjalani kehidupan dunia sementara ini sambil menuju kampung akhirat yang kekal abadi. Itulah jalan al-Haq (jalan kebenaran). Selain Al-Qur’an adalah fatamorgana dan kesesatan.
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
Maka yang demikian itu adalah Allah, Tuhan Penciptamu yang Haq. Maka tidak ada selain Al-Haq itu kecuali kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?
(QS. Yunus : 32)
http://dupahang.wordpress.com/2008/10/04/tafsir-fi-zhilalil-quran-asy-syahid-sayyid-qutb/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar