Kamis, 11 November 2010

Ketokohan, Citra Bangsa, dan Obama

Ketokohan, Citra Bangsa, dan Obama
Jumat, 12 November 2010 00:00 WIB
 
Pablo Neruda (1904-1973), sastrawan Cile pemenang hadiah Nobel dalam Sastra tahun 1971, pernah menulis,

"And so history teaches with her light
that man can change that which exists
and if he takes purity into battle
in his honour blooms a noble spring...."

Bush dan Saddam, pahlawan atau bukan? Julius Caesar, Tamerlane, Genghis Khan, Napoleon, Kennedy maupun Obama, Soekarno maupun Soeharto, dan banyak lainnya, tercatat sebagai tokoh-tokoh sejarah yang dicela bahkan dikutuk, tetapi sekaligus dikagumi. Dicela karena ada di antara kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap merugikan, kalau bukan mencelakakan banyak orang. Dikagumi karena sesuai fakta, manusia mengagumi tokoh-tokoh kuat yang menjalankan prinsip-prinsip yang mereka yakini benar dan bermanfaat bagi bangsa mereka.

Maka, kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Pak Harto tahun ini wajar-wajar saja. Rentang waktu masih terlalu singkat untuk memberikan penilaian tanpa sikap emosional. Sebenarnya gelar Bapak Pembangunan sudah mencerminkan besarnya jasa presiden kedua itu bagi bangsanya.

Sama halnya bila Obama dalam pemilihan sela baru-baru ini kalah suara, cepat atau lambat rakyat Amerika akhirnya akan menyadari, Obama patut dikagumi. Bukan hanya karena dia orang kulit hitam pertama yang berkat kinerja politiknya berhasil menjadi Presiden Amerika, tetapi terutama karena kepeduliannya akan solidaritas kemanusiaan yang melampaui batas negaranya. Sekalipun lawan-lawan politik menyebutnya berhaluan kiri, faktanya dia nasionalis yang bertekat keras mengadakan perubahan karena ketimpangan yang meluas di mana-mana.

Kontroversi kunjungan Obama

Banyak anjuran agar kita memetik buah-buah positif kunjungan singkat Obama ke Indonesia. Dalam konferensi pers dijabarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Obama akan membina kemitraan menyeluruh di berbagai bidang. Di pihaknya, Obama ingin membangun landasan lebih solid untuk hubungan bilateral kedua negara ke depan. Indonesia secara retrospeksi akan mengenali bagaimana posisinya vis-a-vis Amerika: apakah dia bisa menjadi partner strategis Amerika di bidang bisnis, ekonomi, dan perdagangan? Untuk bidang itu, sekarang pun Indonesia cenderung lebih memperhatikan kawasan Asia. Mengenai hubungan tidak serasi antara Barat dan dunia Islam, bagaimana pula potensi Indonesia untuk menjadi perantara yang objektif dan efektif, mengingat Indonesia bukan negara di kawasan Timur Tengah? Sebagai penyeimbang untuk stabilitas keamanan kawasan, apakah Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang memenuhi persyaratan untuk itu?

Ada pihak-pihak yang menentang kehadiran Obama di Indonesia. Rombongan Obama mungkin tidak terlalu mengherankan. Demonstrasi sudah menjadi ciri khas demokrasi. Demo-demo yang santun dan ramah tetap menjadi dambaan semua orang. Oleh karena itu, training emotional spiritual quotient (ESQ) yang kabarnya diselenggarakan Forum Betawi Rempug untuk jajaran pimpinan maupun anggota-anggotanya patut disambut gembira. Sebaliknya, demo radikal hanya menimbulkan antipati. Lebih-lebih bila demonstrasi itu diselenggarakan tanpa mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya didemokan. Sayangnya, demo sering dilakukan hanya karena hasutan emosional-spiritual atau imbalan uang bagi yang kekurangan.

Obama menduduki jabatan presiden sebuah negara adidaya yang dianggap paling maju dan paling kaya di dunia; dan kebijakan pasar bebas negaranya banyak dianggap merugikan negara-negara berkembang. Itu saja memang sudah bisa menjadi alasan berdemonstrasi. Ditambah lagi, dukungan Amerika untuk Israel dalam konfliknya dengan negara-negara Islam di Timur Tengah mengusik perasaan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.

Tentang kebijakan pasar bebas, bahkan orang Amerika sendiri, Joseph E Stiglitz (1943-...), pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi dan profesor Universitas Columbia, memang mempertanyakan mengapa lembaga-lembaga globalisasi yang katanya akan menyejahterakan masyarakat dunia malahan menghasilkan yang sebaliknya? Banyak negara berkembang dibuatnya sengsara. Dia tahu benar perkembangan ini karena pernah menjadi anggota Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Clinton dan pejabat tinggi Bank Dunia.

Maka, kalau masyarakat negara-negara berkembang menentang sistem globalisasi yang dianggap merugikan dan menentang pelopornya, yakni Amerika, pendapat demikian seharusnya bisa dimengerti. Sebaliknya juga bisa dimengerti bahwa Obama, sebagai warga dan Presiden Amerika, percaya akan sisi positif pasar bebas, persaingan, dan kewirausahaan; seperti dinyatakan dalam autobiografinya, The Audacity of Hope; Thoughts on Reclaiming the American Dream. Tidak mustahil Obama pun tahu pendapatnya itu tidak populer di kalangan negara-negara berkembang.

Peka terhadap yang terpinggirkan

Mungkin, antara lain, kebijakannya memperhatikan kesejahteraan untuk semua, terutama untuk meningkatkan penghidupan masyarakat miskin/terpinggirkan di negaranya maupun di dunia--yang tercermin pada keinginannya untuk membangun dunia yang damai--telah membuat kepopuleran Obama anjlok dalam pemilihan sela yang baru berlalu. Alokasi dana untuk program-program sosialnya itu dianggap terlalu besar. Program Jaminan Kesehatan yang dihebohkan tidak mendapat dukungan dari kubu lawan.

Masyarakat Amerika yang selalu realistis dan pragmatis menginginkan Obama lebih fokus pada perekonomian Amerika yang terus merosot dan agar pengangguran yang dialami hampir 30 juta warganya cepat teratasi; tanpa hambatan yang sifatnya emosional dan utopis. Seperti disiratkan penentang Obama, Jerome R Corsi, dalam buku Obama Nation, pengalaman pribadi Obama sebagai keturunan campuran membuatnya terlalu peka mengenai hal-hal seperti itu. Dalam pendahuluan bukunya, Corsi mengatakan bahwa setelah kepresidenan Obama, Amerika akan menjadi negara yang kekuatan militernya melemah dan perekonomiannya merosot. Setelah empat tahun kepemimpinan Obama, Amerika bukannya tambah bersatu, malahan konflik-konflik internal bertambah tajam, agresif, dan menjengkelkan.

Di zaman yang berubah begitu cepat, rumit, dan penuh konflik, biasanya muncul tokoh-tokoh idealis yang mengimpikan masyarakat utopia yang serbasempurna. Idealnya, tokoh seperti itu dapat menginspirasi dan menggerakkan masyarakatnya. Untuk upaya semacam ini, Jepang bisa dijadikan kiblat: dari negara yang tumpas oleh perang menjadi salah satu negara termaju. Dia berhasil karena 'watak' bangsa mendukungnya.

Inazo Nitobe, penulis Bushido, the Soul of Japan, memberikan hipotesis: Jepang bisa maju karena didorong semangat Bushido, kode etik kesatria dalam kehidupan sehari-hari. Noblesse oblige.

Idealnya, semua pemimpin mampu menginspirasi bangsa agar mau menjalankan kehidupan beretika. Tampaknya Obama mengupayakannya. Apakah dia bisa disebut pahlawan? Sejarah yang akan menentukan.

Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/12/181222/68/11/Ketokohan-Citra-Bangsa-dan-Obama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar