Kamis, 11 November 2010

Palangkaraya Bak Bini Kedua

Palangkaraya Bak Bini Kedua
Friday, 12 November 2010
Bagi yang lupa pelajaran ilmu bumi,sebaiknya diingatkan. Palangkaraya itu nama kota sekaligus Ibu Kota Kalimantan Tengah. Nama ”raya”di belakangnya hanya bisa disamai dengan Jakarta Raya dan atau malah sebutan Indonesia Raya.
Kalimantan Tengah sendiri adalah provinsi ke-17, angka keramat yang mengingatkan tanggal kemerdekaan kita. Letaknya di tengah antara Sabang hingga Merauke.Lebih oke lagi karena nyaris tanpa gempa,tanpa gunung berapi. Lebih dari itu, kota ini tak pernah dijajah Belanda, Jepang, Portugis,Inggris karena baru resmi berdiri ketika para penjajah itu sudah enyah. Lebih dari lebih, Bung Karno ketika berkunjung ke kota itu mengisyaratkan visi ke depan: Palangkaraya ideal menjadi ibu kota. Jualan provinsi yang digubernuri Teras Narang ini bisa dilengkapi dengan data bahwa transportasi air melalui sungai bisa menjadi primadona.

Kalau mau ditambahi rel kereta api bisa dibuat rencana tanpa menggusur hutan atau penduduk. Dan sempurnalah sudah ketika kita menemukan alasan bahwa gadis-gadis Dayak begitu sumanak,begitu bersapa,gemulai, dan eksotik dalam busana daerah. Ibarat kata Palangkaraya siap menjadi bini kedua Republik Indonesia setelah Jakarta atau Bukittinggi dan Yogyakarta sebagai ibu kota.

Helm dan Kondom

Wacana ini mengemuka ketika Jakarta yang juga raya tak bisa melawan usia yang membebani tanpa ampun. Belum pernah terjadi dalam sejarah media, semua harian mengeluhkan kemacetan Jakarta dalam berita utama dan tidak hanya sekali-dua,yang membuat frustrasi dan nyaris pingsan berkali-kali.Menurut perhitungan Masyarakat Transportasi Indonesia, kecepatan mobil per orang saat ini hanya 10–15 km per jam dan turun setiap tahun 1 km.

Untuk gambaran serem, lima tahun mendatang, tahun 2015, kecepatan hanya 5–10 km per jam (SINDO, 11/09).Artinya kalau kita tinggal di Depok atau Bekasi dan bekerja di Jakarta, pulang balik perlu waktu 12 jam.Bisa-bisa sebelum sampai ke rumah sudah harus berangkat lagi. Dan rasa-rasanya revolusi transportasi yang paling berani pun tak bisa mengubah banyak. Ini semua baik dan benar adanya sebagai alasan. Namun, sesungguhnya ada alasan lebih mulia lagi. Ketika memindahkan Ibu Kota dan atau kota pemerintahan atau kota bisnis orientasi keindonesiaan bukan lagi harus berpusat di Jawa.Menyelamatkan Jawa dengan memindahkan penduduk ke luar Jawa dengan transmigrasi terbukti gagal dan menambah sibuk.

Menyelamatkan Jawa dengan membangkitkan daerah luar atau mempercepat pembangunan daerah tertinggal, dalam hal tertentu, malah memperlihatkan betapa makin cepatnya daerah itu tertinggal dan tertanggalkan dalam makna kebersamaan yang bernama Indonesia Raya. Mengubah orientasi lama bahwa Indonesia adalah Jawa—termasuk pemimpin-pemimpinnya, termasuk busana kebaya yang dinobatkan jadi pakaian nasional, termasuk memakai konde atau juga berkain—adalah orientasi baru. Yang perlu menjadi kesadaran, menjadi pemahaman baru, sebagaimana kita dulu menerima bahwa pusat planet adalah matahari dan bukan bumi.

Sesungguhnya ini pendekatan yang berat, lama, dan perlu kompromi di sana-sini,selain sosialisasi tanpa henti. Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini sangat luwes menerima perubahan dan dengan dinamika yang dimiliki mampu menyesuaikan diri.Terbukti sudah semboyan budaya “belum disebut makan kalau belum makan nasi” bisa berubah menjadi makan mi,semboyan “banyak anak banyak rezeki” bisa berganti dengan mengikuti Keluarga Berencana atau kebiasaan membeli minuman teh dan air yang sebelumnya diberikan gratis. Atau yang lebih sederhana seperti penggunaan helm atau kondom.Dengan pemahaman ini, apa yang sedang terjadi bukan sekadar pemindahan letak secara geografis belaka, melainkan mencoba memahami kembali keindonesiaan kita.

Pemberontakan dan Dinasti

Memakai perumpamaan Palangkaraya sebagai bini kedua hanya “jualan”, hanya gimmick semata. Karena menyebutkan sebagai ibu (kota) kedua, kok kurang seksi.Kepekaan ini menurut saya sangat perlu untuk menjajakan peristiwa besar seperti ini. Bukan mendengungkan “memindahkan ibu kota”dalam arti meninggalkan sama sekali atau menceraikan atau melakukan cut off total atau meniadakan sama sekali. Pada saat yang sama masyarakatkan diingat- ingatkan bahwa ini bukan sekadar persoalan melarikan diri dari banjir dan kemacetan, melainkan lebih luas dan lebih luhur dari itu.

Kalau Palangkaraya dise-butkan karena agaknya masyarakatnya disiapkan dan berhasil memosisikan diri sebagaimana lirik lagu “jadikan aku yang kedua”.Tidak tertutup kemungkinan kota lain non-Jawa seperti Makassar atau Maumere misalnya. Pada titik itulah kompetisi untuk menjadi “bini kedua Indonesia” menjadi pemicu dan pemacu dinamika. Menjadi penggerak untuk mencapai sesuatu yang layak diperhitungkan atau digunjingkan. Dengan demikian tiap daerah mempunyai dorongan untuk berbenah dan bermegah dengan menggali potensi yang ada.

Dalam sejarah kita memindahkan ibu kota,pusat kekuasaan,hal itu lebih didesak karena adanya faktor kraman atau pemberontakan. Keraton Kartasura dipindah ke Surakarta karena ancaman besar terjadi kemelut besar di mana masyarakat dan terutama ma-syarakat China mengangkat senjata melawan kompeni. Sejarah lebih jauh lagi dengan dipecahkan Keraton Kediri menjadi dua, juga karena ancaman perpecahan saat suksesi. Dalam kasus ini, ancaman itu bukanlah adanya pemberontakan bukan demi kelangsungan dinasti, melainkan ancaman adanya ketimpangan merata dalam menyatukan dan meratakan kemakmuran dalam keindonesiaan.

Maka, sesungguhnya mereka yang berhati mulia melihat visi ke depan dan bukan untuk kepentingan sendiri ketika berupaya memahami kebersamaan dalam satu negara, satu bangsa, dan memberi makna baru. Bukan untuk kepentingan sendiri karena ini mungkin terjadi di saat para pemimpin tak lagi menjabat meskipun kadang saya berharap, saya sempat melihat permulaan pelaksanaan program besar ini.Secara pribadi saya takut mengambil bini kedua, tapi untuk Palangkaraya, saya tidak malumalu berkata mauuuuuu….(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363542/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar