Kamis, 11 November 2010

Rekonsolidasi Ekonomi Global

Rekonsolidasi Ekonomi Global
Jumat, 12 November 2010 | 03:08 WIB

Syamsul Hadi

Dalam kurun 11-12 November berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Seoul, Korea Selatan, dengan tema ”Shared Growth Beyond Crisis”.
Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.

Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.

Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.

Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.

Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.

Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.

Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.

Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Merkantilisme baru

Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).

Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).

Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.

Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.

Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.

Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.

Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.

Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global

Tidak ada komentar:

Posting Komentar