Kamis, 11 November 2010

Regulasi Akses Seksual di Lingkar Takdir Napi

 Regulasi Akses Seksual di Lingkar Takdir Napi
Jumat, 12 November 2010 00:00 WIB
Seks di ruang pengap penjara konon lebih sering diakses sebagai tarian imajiner liar yang pedih. Mereka tersekat dalam gelap, nasib buruk menelikung, duduk meringkuk di sudut sempit: ereksi sunyi pun menjadi kegelisahan air mata cinta yang jauh. Maka, ketika seks begitu mudah diakses baik melalui ponsel, internet, media elektronik, dan entah apalagi, kegelisahan seksual di penjara pun kian mencuat signifikan.

Tulisan ini membahas seputar perlunya regulasi seksual di lingkar takdir napi. Kebutuhan biologis di ruang penjara mengingatkan saya bahwa pancaran intersubjektivitas sejatining manusia juga melekat pada kemampuan manusia dalam mengakses seksual dalam ruang pribadi yang fitri. Manusia adalah mahkota kultural. Ketika nasib buruk menelikung, mahkota kultural itu pun terjerat oyod mingmang kepenjaraan. Tak aneh bila almarhum pendekar hukum Burhanudin Lopa bertutur akses seksual bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan laku kultural sekaligus kesucian fitri dalan jaring pengaman HAM.

Hal itu pernah dilakoni Bill Cord. Konon di sel sempit ADX Supermax—-The Alcatraz of the Rockies—-penjara di Kota Florence, Negara Bagian Colorado, Amerika Serikat, Bill Cord kerap kali menelusuri garis tangannya tiap kali hentakan-hentakan ereksi bergerak di jalur anomali. Tak aneh ketika Alcatraz berubah menjadi tujuan wisata internasional dan domestik, saya lihat masih ada sisa coretan berahi yang pedih di tembok-tembok pucat. Ada lukisan kuku yang menuturkan panggilan persetubuhan aneh. Di sini dalam Rita Hayworth and The Shawshank Redemption, Stephen King menuturkan para narapidana bertaruh saat menyaksikan narapidana baru keluar dari bus tahanan. "Siapa di antara orang-orang baru itu yang menangis pada malam pertama di penjara."

Dari deskripsi tersebut, saya tertarik dengan konsep Josef Hohensinn, ahli struktur dan rancang bangunan yang memperkenalkan The Justice Center Leoben. Adalah sebuah ruang peradilan, kejaksaan, dan penjara dalam desain kearifan kontemplasi sekaligus pusat rehabilitasi. Leoben tidak menempatkan penjara identik dengan kekerasan, siksaan, dan juga kengerian. "Untuk mengubah perilaku keras narapidana," ucap Josef Hohensinn, "dibutuhkan tempat yang baik dan berlimpah cahaya."

Josef Hohensinn benar. Cahaya bagi narapidana adalah harapan. Cahaya itu di Indonesia bernama lembaga pemasyarakatan. Kenapa? Penjara tidak lagi menjadi penjera. Tapi, sebuah institusi pemasyarakatan dari ruang muram menuju ruang bercahaya kinasih. Sebuah upaya istikamah elite LP, agar orang menyesali perbuatannya dan menghantarkannya kelak ke ruang bebas terintegrasi dengan masyarakat dan tentu saja, tidak melanggar hukum lagi, dan bisa memenuhi kehidupannya dengan layak.

Penjara berfasilitas luar biasa itu tentu saja hasil dari perjalanan panjang sejarah kepenjaraan. Itu bermula ketika The International Penal dan Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana itu pada 1933. Terus? IPPC ajukan ide itu untuk disetujui The Assembly of the Leaque of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Lantas pada 1955, naskah IPPC disetujui Kongres PBB, yang dijadikan standard minimum rules (SMR) dalam pembinaan napi. Hingga pada 31 Juli 1957, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan kepada pemerintahan setiap negara untuk menerima dan menerapkannya. Indonesia mengapresiasi Resolusi No 663C XXIV dan mengganti penjara menjadi lembaga pemasyarakatan (LP). Bagi Menteri Kehakiman dan HAM, penjara tidak lagi disebut sebagai institusi penjera. Kedudukan LP atau rutan lebih diposisikan sebagai ruang cuci moral ketika napi diadopsi sebagai manusia tersesat yang perlu diluruskan. Itulah sebabnya pada lambang LP tertulis aksara 'Griya Winaya Jamna Miwarga Laksa Dharmmesti'. Artinya, rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. "Pembinaan terbaik terhadap narapidana adalah di tengah-tengah masyarakat (face treatment)," ungkap Untung Sugiyono, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, "sehingga orang yang berpendapat bahwa lembaga pemasyarakatan harus berlokasi di tempat yang kecil, terisolasi, itu adalah konsep yang kuno." Hal lainnya tugas suci LP kerap berhubungan dengan upaya pembangunan manusia.

Lembaga pemasyarakatan yang ideal tentu sebuah ruang dengan cahaya, udara, keleluasaan bergerak, ruangan 4-5 meter untuk satu orang, dan harus ada teras. Juga LP membutuhkan guru profesional, psikolog, dokter, atau perawat. Asupan makan jatah 450 gram beras, lauk pauk, dan hal lainya per orang untuk tiga kali makan. Tidak cuma itu, juga harus ada telur, daging, sayur, dan entah apalagi agar memenuhi standar kalori yang dibutuhkan tubuh setiap harinya. Juga adanya interaksi kreatif antara LP dan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, perguran tinggi. Sebagai contoh kita kerja sama dengan Kementerian Kesehatan memberikan asuransi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi narapidana yang sakit.

LP dalam lanskap catatan tersebut tentu akan menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya kreativitas dan aktivitas religius, budaya, sosial, ekonomi, sastra, dan disiplin ilmu lainnya. Akan adakah LP seideal itu? Tentu awalnya sulit. Sangat banyak kendala untuk memenuhi standar minimal internasional pengoperasian lembaga pemasyarakatan. Dilema penghuni LP adalah dilema holistik: pelarian, perkelahian, sakit, meninggal, pungli, narkoba, dan penyimpangan seks. Meski begitu, sepertinya elite LP Indonesia terus-menerus mengadakan melalui gerakan budaya tertib: tertib keamanan, tertib perilaku penghuni, tertib perilaku petugas, dan tertib menabung juga pilar indah untuk memanusiakan narapidana.

Seks bagi narapidana juga hal yang esensial. Kebebasan seksual yang terampas ini menjadi nomena menarik yang rumit. Untuk itu, perlu regulasi pemenuhan kebutuhan biologis dengan dukungan fasilitas yang dibenarkan sesuai aturan yang berujung pada pemenuhan hak asasi manusia. Para pemerhati LP menyebutnya Rules for the Treatment of Offenders. Adalah tata atur sekaligus pengoperasian lembaga pemasyarakatan bersifat holistik baik berupa kebutuhan sarana, kebutuhan pembinaan, dan kebutuhan kesehatan.

Ini tentu tidak mudah. Maka siapa yang mencuri mimpi narapidana ketika akses seksual menjadi lahar yang melahirkan resah? Saya diam. Diam-diam saya teringat sahabat saya. Karena korupsi, ia dipenjara.

Pria kurus bermata sepi yang juga penyair itu baru saja keluar dari LP. Ia ceritakan hari-hari sunyi tanpa seks, "Tiap kali malam melipat rindu, apa boleh buat, ajaran purba tentang kesucian hubungan suami istri saya abaikan. Seks yang normal, indah, dan penuh kasih sayang itu tidak saya dapatkan di sel pengap penjara."

Oleh Tandi Skober
Budayawan/pengamat sosial
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/12/181220/68/11/Regulasi-Akses-Seksual-di-Lingkar-Takdir-Napi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar