Kamis, 11 November 2010

TAJUK, Gayus dan Perlunya Efek Jera

TAJUK, Gayus dan Perlunya Efek Jera
Friday, 12 November 2010
KASUS melenggangnya tersangka mafia pajak Gayus Tambunan dari tahanan Rutan Brimob membuat kita semua geleng-geleng kepala.
Jika Gayus keluar untuk berobat, sesuai dengan alasannya, mungkin bisa disisakan toleransi. Tapi, jika benar kabar Gayus sempat menonton pertandingan tenis di Bali,ini sudah jauh di luar kewajaran. Apalagi didapati fakta hasil penyelidikan polisi, Gayus keluar dari tahanan nyaris setiap pekan sejak Juli 2010.Untuk memuluskan aksinya, Gayus menyuap polisi penjaga Rutan Brimob dengan jumlah beragam. Kepala Rutan Mako Brimob Kelapa Dua mengaku menerima sekitar Rp50 juta–60 juta dari Gayus. Adapun delapan anggota polisi petugas rutan mengaku menerima Rp5 juta – 6 juta.Ini sungguh di luar akal sehat kita. Ada banyak catatan yang bisa diambil dari kasus ini. Pertama, suap masih terjadi di mana-mana.

Yang lebih parah, suap melibatkan aparat penegak hukum. Kasus berkeliarannya Gayus lepas dari tahanan akan menjadi ujian penting bagi polisi untuk membersihkan jajarannya yang bermental korup.Tidak ada pilihan lain bagi polisi kecuali hukuman dan sanksi tegas bagi mereka yang terbukti membantu Gayus keluar dari tahanan. Tidak boleh ada toleransi dalam kasus ini. Penanganan hukum terhadap kasus yang menimpa anggota polisi harus transparan. Masyarakat sudah lelah dengan berbagai macam kasus mafia peradilan, kasus indisipliner,dan kasus pungli dari oknum penegak hukum.Yang sekarang ditunggu adalah penyelesaian kasus yang tuntas dan transparan dengan hukuman setegak-tegaknya.

Tidak boleh juga dilupakan tindakan terhadap Gayus.Perilaku yang ditunjukkan Gayus seperti menyepelekan polisi.Gayus tampak tidak punya rasa malu dan sudah tidak punya nilai moral lagi. Jika terbukti kembali menyuap, hukuman terhadap Gayus perlu diperberat. Kasus Gayus juga kembali mengingatkan pentingnya memberi efek jera terhadap pelaku kasus suap dan korupsi. China adalah negara yang perlu dicontoh dalam menghukum pelaku korupsi. Secara lebih luas, apa yang dilakukan Gayus sudah menunjukkan pelanggaran prinsip-prinsip negara hukum. Kasus Gayus menjadi contoh bahwa tidak ada equality before the law, semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

Kita sering kali disuguhi informasi rakyat kecil banyak yang menjadi korban ketidakadilan. Ketika pelanggaran dilakukan oleh rakyat kecil, rakyat miskin, hukum seperti tegak. Sebaliknya, hukum menjadi lunglai ketika bertemu mereka yang berkuasa dan memegang uang. Menempel di ingatan kita kasus yang dihadapi oleh nenek Minah. Wanita yang sudah renta itu divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan karena mencuri 3 buah kakao. Setelah nenek Minah, kita ingat kakek Rasjo yang berusia 77 tahun ditahan karena mencuri dua batang sabun mandi dan kacang hijau senilai Rp13.000. Ada pula Manisih, 40, yang dihukum penjara 24 hari hanya karena mencuri buah pohon randu.

Belum pula hilang dalam ingatan perlakuan terhadap terpidana kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan,Artalyta Suryani alias Ayin yang mendapat sel mewah di Rutan Pondok Bambu.Lantas Gayus yang mudah melenggang keluar tahanan. Deretan cerita itu mengusik rasa keadilan kita.Wajar jika banyak pihak menyuarakan pandangan dari begawan hukum Satjipto Rahardjo (almarhum) tentang perlunya hukum progresif. Kasus suap oleh Gayus, mafia peradilan, korupsi, dan banyak lagi yang mengganggu penegakan hukum di Indonesia seperti terus berulang.

Menurut Satjipto, ini terjadi karena penegak hukum dan semua elemen masyarakat tidak pernah berani keluar dari tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundangundangan. Hukum progresif artinya melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum,sehingga mampu membiarkan hukum itu menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.(*)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363543/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar