Kamis, 11 November 2010

Kontroversi IPO Krakatau

TAJUK RENCANA
Jumat, 12 November 2010 | 03:05 WIB

Kontroversi IPO Krakatau

Harga saham Krakatau Steel di hari pertama perdagangannya di Bursa Efek Indonesia, Rabu (10/11), meroket. Aneka macam kontroversinya pun berlanjut.Lonjakan tajam harga saham PT Krakatau Steel berkode KARS, yang mencapai 49,41 persen dalam sehari, menimbulkan pertanyaan, sedemikian hebatkah kinerja dan prospeknya sehingga sahamnya diburu habis investor?

Sorotan tajam lainnya, mengapa investor asing berlomba melepas sahamnya ketika harga sudah berada di puncak pada hari perdana transaksi di pasar sekunder? Padahal, penetapan harga ”rendah” semula untuk mengakomodasi keinginan investor asing yang dinilai lebih berkualitas dan berjangka panjang (time horizon) investasinya.

Keputusan pemerintah menetapkan harga perdana senilai Rp 850 per saham KS sejak semula dinilai terlalu murah oleh banyak kalangan. Berbagai indikator dan argumentasi pembenaran penilaian tersebut. Ada yang menyuarakan harga saham KS bisa mencapai lebih dari itu, misalnya seharga Rp 1.000 per saham.

Lebih kontroversial lagi karena muncul dugaan bahwa ada sekelompok pihak tertentu yang mendapatkan alokasi saham secara tidak wajar. Hal lain yang digugat, mengapa penjamin emisi (underwriter) saham ketiga-tiganya berasal dari kalangan perusahaan efek milik pemerintah?

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membantah semua kecurigaan itu. Mereka menyatakan, penetapan harga saham sudah sesuai prosedur, begitu pula allotment (penjatahan) saham. Untuk melengkapi tampikan itu, dibentuk tim independen.

Semua itu tidak cukup bagi publik. Tetap ada saja ganjalan yang harus diklarifikasi dan diverifikasi. Hasil penilaian tim independen tidak boleh dijadikan satu-satunya acuan, apalagi dianggap kebenaran mutlak, mengingat waktu penelitiannya sangat singkat untuk memastikan tata kelola IPO KS berjalan tanpa kecurangan.

Oleh karena itu, melalui forum ini, kita berpendapat, otoritas pasar modal, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, mesti melakukan pemeriksaan. Lembaga ini memiliki kewenangan luas dan paling kompeten memeriksa kontroversi ini. Bukan tim independen bentukan Menteri BUMN.

Pada saat rapat penentuan harga, siapa mengatakan apa dan melakukan apa, sehingga Menteri BUMN sampai pada keputusan harga Rp 850, perlu diinvestigasi. Mereka yang mendapatkan saham saat penjatahan, terutama yang dicurigai karena jumlah besar, harus diselidiki. Apakah betul sesuai dengan prosedur, semisal mengisi formulir dan menyetor dana. Apakah mereka benar-benar investor yang sudah punya rekening efek atau baru kali ini muncul sebagai investor? Jumlah investasinya wajar atau tidak?

Banyak pertanyaan atau gugatan untuk membuktikan tata laksana penjualan perdana saham KS memang berjalan sesuai dengan praktik terbaik dan prosedur yang tidak melanggar aturan, norma, dan etika di pasar modal.

***

Indonesia dan G-20

Setelah maju-mundur karena pertimbangan bencana di dalam negeri, Presiden SBY memutuskan hadir pada KTT G-20 di Seoul, 11-12 November.

Tema besar KTT, Shared Growth Beyond Crisis, rasanya sangat relevan dengan kondisi dunia yang tengah dalam pemulihan dari krisis global 2008. Demikian pula agenda penting KTT: isu pembangunan, yang diperjuangkan Korea Selatan sebagai tuan rumah, dan isu antikorupsi.

Sebagai sebuah forum kerja sama ekonomi negara-negara yang mewakili 90 persen PDB dunia, G-20 berpeluang menjadi forum pengambilan keputusan penting bersama dalam rangka penguatan momentum pemulihan ekonomi global, sebagai kelanjutan hasil KTT G-20 di Toronto.

Sayangnya, meski G-20 sebagai pengganti G-8 mewakili konstelasi ekonomi dunia yang lebih berimbang dan peran besar negara berkembang dalam upaya pemulihan global sangat diakui, kepentingan negara maju seperti AS tetap saja menyerobot panggung utama pertemuan G-20 Seoul.

Ini tecermin dari dominannya isu perang kurs dan ketimpangan perdagangan—yang terutama menjadi kepentingan AS—di Seoul. Isu-isu lain yang lebih langsung berkaitan dengan negara berkembang praktis tenggelam.

Masih menjadi pertanyaan, bisakah G-20 menjadi forum yang efektif untuk mencegah perang kurs, tanpa mengesampingkan agenda penting lain memperkuat pemulihan global serta mendorong penciptaan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan negara berkembang?

Banyak kalangan sekarang ini mulai mengkhawatirkan KTT G-20 telah kehilangan momentum dalam upaya memulihkan global karena isu perang kurs menyerobot agenda mendesak stimulus ekonomi dan reformasi sektor finansial. Yang terjadi, justru ancaman baru tsunami moneter global dalam bentuk serbuan hot money skala masif, lewat ekspansi moneter Fed yang sejauh ini sebagian dampak positif dan negatifnya sudah dirasakan kalangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sebagai satu-satunya negara berpendapatan menengah di G-20, Indonesia berpeluang menyuarakan banyak inisiatif di G-20. SBY sendiri bertekad memperjuangkan pembangunan ekonomi dunia yang lebih berkeadilan dan berimbang bagi semua dalam forum G-20. Sayangnya, kita belum mampu menunjukkan kemampuan diplomasi optimal dalam memperjuangkan isu-isu yang menjadi kepentingan kita dan juga negara berkembang pada umumnya, dan lebih sering hanya menjadi pengekor.

Dalam percaturan global, kita tak jarang dengan sangat telanjang mempertontonkan diplomasi yang kedodoran di segala bidang, mulai dari perdagangan, utang dan investasi, ketenagakerjaan, pertahanan, keamanan, hingga perubahan iklim, sehingga sering kita pada posisi dirugikan. Perkuatan diplomasi dan daya tawar juga tak cukup tanpa dibarengi kebijakan dan strategi jelas di dalam negeri.
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03053719/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar