Kamis, 11 November 2010

Manuskrip Aceh di London

Kamis, 11 November 2010 pukul 10:43:00
Manuskrip Aceh di London

Oman Fathurahman
Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara

Saya tidak tahu harus bersukacita atau malah berduka ketika Senin (1/11) lalu berkunjung dan membaca sekitar lima belas manuskrip di salah satu perpustakaan terbesar di London, British Library. Saya 'dipertemukan' oleh Annabel Teh Gallop, kepala koleksi Asia Tenggara, dengan belasan manuskrip asal Aceh yang baru dibeli tahun 2004 lalu oleh British Library dari sebuah toko buku antik di London, Arthur Probsthain.
Mengenai aktivitas perdagangan yang memperjualkan manuskrip-manuskrip kuno nusantara dari Indonesia ke mancanegara, saya sudah sering mendengarnya. Bahkan, beberapa kawan yang saya kabari hanya bergumam datar, "Itu kan sudah biasa." Tapi, saya tetap saja terkejut ketika membuka lembaran manuskrip-manuskrip tua abad ke-19 itu yang beberapa di antaranya cukup penting.

Salah satu manuskrip itu berjudul al-Haqiqah al-Muwafaqah lil-Syariah (Ilmu Tasawuf yang Selaras dengan Syariat). Manuskrip itu adalah karangan seorang ulama India, Fadlullah al-Hindi al-Burhanpuri (w 1620). Karya ini merupakan komentar atas kitab goresan pengarang yang sama, al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (Persembahan untuk Roh Nabi). Jujur, saya-entah Anda-belum pernah menjumpai karya ini dalam katalog manuskrip nusantara mana pun.

Kitab ini memang bukan karangan ulama Aceh, tidak pula berbahasa nusantara, melainkan Arab. Tapi, bagi mereka yang paham sejarah Aceh, teks yang disebut kedua itu pernah menyebabkan tragedi intelektual dan bahkan kemanusiaan di Kesultanan Aceh abad ke-17. Saat itu, timbul polemik keagamaan antara Nuruddin al-Raniri dengan para pengikut paham wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sehingga al-Raniri mengeluarkan fatwa sesat serta membakar kitab-kitab berisi paham tersebut di depan Masjid Baiturrahman.

Dalam koleksi tersebut, terdapat sebuah manuskrip berjudul al-Risalah al-Syattariyah dan silsilah mata rantai tarekat Syattariyah berbahasa Melayu yang menghubungkan murid Aceh dengan ulama terkemuka di Madinah abad ke-17, tapi tidak melalui jalur khalifah utamanya, Abdurrauf al-Sinkili, seperti sering disebut oleh para sarjana (Azra, 1994).

Lembaran manuskrip lainnya tidak kurang bernilai karena berisi 'catatan harian' seorang pimpinan Dayah terkemuka di Aceh awal abad ke-19. Naskah itu berbahasa Melayu, yang antara lain menulis hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak laki-lakinya yang kelak hingga awal abad ke-19 menggantikan posisinya sebagai pimpinan tertinggi Dayah tersebut dan turut berjuang melawan kolonialisme Belanda.

Dalam pandangan sejarawan mazhab Annales, catatan-catatan 'ringan bersejarah' semisal ini jelas cukup penting untuk merekonstruksi aneka aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari pada masa lalu. Aceh memiliki kekhasan tersendiri karena menyimpan kategori manuskrip seperti itu yang sepertinya masih banyak tercecer.

Zawiyah Tanoh Abee di Seulimeum Aceh Besar misalnya. Sejumlah koleksi manuskrip yang pernah kami deskripsikan (Fathurahman dkk, 2010) memuat informasi sejenis dan syukurnya sampai saat ini, setahu saya, manuskripnya masih tersimpan dengan baik di tempatnya.

Mengapa saya perlu bersukacita? Karena, saya seorang peneliti. Tidak ada kepuasan tertinggi selain menjumpai sumber data autentik yang berguna buat penelitian dan kemudian menerbitkannya.

Namun, mengapa saya perlu berduka? Karena, kita masih juga tidak berdaya melindungi benda-benda cagar budaya semacam itu agar tidak beranjak dari bumi pertiwi!

Kita tidak bisa menyalahkan lembaga atau negara, seperti British Library atau Perpustakaan Negara Malaysia yang dengan sah membeli manuskrip-manuskrip nusantara dari tangan penjual atau toko buku yang jelas-jelas memiliki izin usaha. Bahkan, mungkin kita patut berterima kasih karena manuskrip-manuskrip itu kemudian dirawat dengan baik, 'naik pangkat' menjadi bagian dari koleksi perpustakaan ternama dunia, dan yang penting: aksesnya terbuka untuk umum. Ini belum tentu dilakukan jika manuskrip itu berada di 'kampung halamannya' sendiri.

Kita juga tidak bisa menghardik para pedagang benda antik yang menjajakan manuskrip kepada pembeli mancanegara karena mereka tidak punya pilihan pembeli pribumi yang berani menawar dengan harga sepadan. Pun, kita tidak berhak menyudutkan para ahli waris yang terpaksa melego manuskrip miliknya sebagai barang dagangan selama kita tidak melakukan penghargaan dan perhatian apa pun untuk membantu melestarikan dan merawatnya. Apalagi, biasanya mereka harus bergulat dengan kebutuhan dasar yang belum tersantuni dengan baik.

Yang harus dipikirkan adalah mengapa kita belum punya sistem yang efektif agar masyarakat lebih memilih menjual manuskripnya ke museum atau perpustakaan di negeri sendiri? Saya yakin haqqul yakin, para pemilik manuskrip itu masih punya rasa nasionalisme jika mereka punya pilihan!

Apakah kita belum mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan pedagang luar? Saya tidak terlalu yakin! Buktinya, beberapa tahun setelah tsunami, melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), Museum Negeri Aceh mampu membeli sejumlah manuskrip dari masyarakat dengan harga yang cukup tinggi dan kini menjadi tambahan koleksinya. Tentu, kita tidak perlu menunggu datangnya tsunami untuk menjadi sebuah bangsa yang beradab! Ini soal political will saja.

Kita sudah beruntung mewarisi budaya tulis yang mahakaya, yang mencirikan sebagai masyarakat beradab (civilized) pada masa lalu. Tapi, itu tidak berarti apa-apa, jika secara perlahan, kita sendiri 'menghancurkannya'.
http://koran.republika.co.id/koran/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar