Kamis, 11 November 2010

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascaletusan Merapi

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascaletusan Merapi
Friday, 12 November 2010
Boleh dibilang, semua pihak yang saat ini bekerja dalam penanganan darurat erupsi Gunung Merapi sedang menunggu erupsi reda.Bila erupsi reda,setiap pihak akan melakukan langkah berikutnya.
Salah satu hal yang pasti akan dilakukan adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Rehabilitasi dan rekonstruksi harus diupayakan demi kepentingan pengungsi yang telah kehilangan harta bendanya akibat bencana. Karena itu, sambil menunggu erupsi mereda, kita semua bisa memikirkan hal-hal yang baik untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Adapun upaya itu harus diarahkan pada pembukaan berbagai peluang bagi masyarakat, memperkenalkan tindakan-tindakan mitigasi bencana, serta memberikan stimulus untuk pemulihan ekonomi dan fisik. Pandangan umum akan mengatakan bahwa bencana sebagai musibah.

Letusan Merapi barubaru ini telah menarik simpati dan empati banyak orang.Namun,pada dasarnya rasa simpati dan empati tersebut tidak sepenuhnya menjadi jaminan bahwa tahap rehabilitasi dan rekonstruksi akan dapat dilakukan dengan mudah.Asumsi yang cenderung muncul pascabencana ialah, ketika ada dukungan politik, dukungan dan komitmen banyak pihak, serta dana telah dijanjikan akan disediakan oleh pemerintah, proses rehabilitasi dan rekonstruksi akan berjalan lancar. Namun,kenyataannya tidak demikian. Berdasarkan pengalaman kami dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, ada sejumlah dilema yang dihadapi dalam perencanaan sosial pascabencana.

Dilema ini ialah kondisi ideal yang diharapkan bagi masyarakat yang terdampak bencana versus kebutuhan mendesak serta ketersediaan sumber daya di lapangan. Namun, dilema paling pokok ialah apakah perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi ini akan berjalan secara partisipatif atau tidak? Perencanaan dan pelaksanaan program yang partisipatif akan berorientasi pada proses dan hasil yang sepenuhnya untuk kebutuhan penyintas (pengungsi).

Sementara perencanaan dan riset yang tidak partisipatif akan berorientasi pada pihak-pihak pendukung yang biasanya berasal dari eksternal. Turunan dari partisipatif atau tidaknya program rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana itu akan memunculkan dilema turunan. Misalnya, antara memperbaiki atau membangun kembali, membangun kembali atau merelokasi, menciptakan organisasi baru atau mengandalkan pada organisasiorganisasi yang sudah ada, mengandalkan investasi publik atau swasta, rekonstruksi fisik atau rekonstruksi ekonomi.

Untuk menghindari munculnya permasalahan baru dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, terdapat sejumlah prinsip yang dapat dipelajari dari berbagai pengalaman aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi bencana sebelumnya. Pada dasarnya tidak ada resep yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Proses tersebut dapat diterapkan dengan mudah dan sederhana.Namun, masalahmasalah kunci yang terkait erat dengan rehabilitasi dan rekonstruksi harus memperhatikan berbagai hal. Pertama ialah masalah relokasi. Relokasi seluruh masyarakat biasanya gagal dan akan terkait dengan isu-isu hak atas lahan. Rekonstruksi yang baik harus dapat memaksimalkan penggunaan berbagai sumber daya lokal sehingga mendorong rekonstruksi ekonomi dan sosial.

Kedua, rekonstruksi harus menyeimbangkan kebutuhan psikologis, sosial,dan ekonomi dengan kebutuhan fisik masyarakat.Tingkat kerusakan fisik yang parah di seputar Merapi tentu akan membuat sejumlah pihak berpikir bahwa yang diperlukan hanya pembangunan kebutuhan fisik atau infrastruktur yang tampak dan dapat dilihat.Kita tidak bisa hanya memfokuskan kebutuhan pembangunan rumah,tetapi di sisi lain melupakan pembangunan perekonomian yang barangkali harus dimulai dari nol. Ketiga, upaya rekonstruksi harus mengenali bahwa karakteristik masyarakat yang terkena bencana tidaklah sama.

Beberapa kelompok masyarakat mungkin punya akses ke jalur politik atau lebih mapan secara ekonomi sehingga mampu menyuarakan kepentingan dan kebutuhan mereka. Dari sisi ekonomi, kita bisa membandingkan kondisi masyarakat lereng Merapi bagian selatan dan barat. Masyarakat lereng selatan Merapi kehidupannya boleh dikatakan bertumpu pada kepemilikan sapi perah,yang dalam kasus ini sebagian besar dapat diselamatkan. Sementara sisi barat lebih bertumpu pada kebun salak yang hancur total. Karenanya pendekatan tambahan mungkin diperlukan untuk mendata kebutuhan khusus dari kelompok-kelompok yang tidak seberuntung kelompok pertama. Pendekatan partisipatif merupakan jawaban atas kebutuhan tersebut.

Jangan sampai masyarakat tidak mendapatkan hak atas kebutuhan ekonomi mereka. Mungkin diperlukan investasi yang tinggi untuk memenuhi seluruh kebutuhan ekonomi masyarakat tersebut. Selain itu,pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebutuhan- kebutuhan lain yang tidak kasatmata. Sebagai contoh, bagi masyarakat di Kinahrejo dan Kaliadem, bila mereka merasa tidak nyaman lagi, mereka perlu dipersiapkan lapangan kerja baru dan keterampilan baru. Kegiatan penguatan kapasitas masyarakat lokal itu bisa dimulai dari sekarang sambil menunggu dinamika Merapi turun. Keempat, terkait dengan poin sebelumnya, pemerintah dalam proses rekonstruksi pascabencana perlu melakukan identifikasi kapasitas dan sumber daya komunitas penyintas.Korban bencana pada dasarnya seperti kita juga.

Sebelum kondisi darurat ini, mereka mempunyai kapasitas yang andal untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan melebihi kemampuan kita.Adalah salah besar bila kita berasumsi bahwa mereka adalah korban yang sama sekali tidak berdaya. Oleh karenanya,pemerintah perlu mengarahkan kekuatan apa yang masih tersimpan dalam diri mereka untuk meningkatkan kemandirian mereka. Kelima, pengambil keputusan harus melakukan rehabilitasi ekonomi secara merata bagi seluruh masyarakat di semua sektor. Perkembangan kondisi di lapangan nanti pasti akan menemui kendala kesetaraan, misalnya yang disebabkan alokasi sumber daya yang tidak merata. Pastikan bahwa kebutuhan- kebutuhan di semua sektor dan wilayah yang terkena dampak bencana telah masuk dalam program.

Sering kali muncul kecenderungan untuk hanya memusatkan perhatian pada wilayah yang paling parah menderita dampak bencana disebabkan tingkat kerusakan yang paling mudah terlihat dan diukur.Pada kasus kali ini misalnya, orientasi kita jangan sampai hanya ke Sleman, tetapi juga ke Magelang, Boyolali, dan Klaten. Keenam, persiapkan infrastruktur penunjang untuk memenuhi kebutuhan mendesak dalam proses pemulihan.Pastikan semua sektor yang akan direhabilitasi dan direkonstruksi ditunjang oleh infrastruktur yang memadai.Faktor penunjang yang paling menentukan di antaranya sektor komunikasi, transportasi, dan penyediaan energi.

Berbagai infrastruktur di atas sudah banyak yang rusak sehingga perlu diperbaiki secepatnya sehingga menunjang proses pemulihan. Patut diingat, keberlanjutan sistem perekonomian tidak dapat berjalan tanpa keberadaan fungsi-fungsi di atas. Ketujuh, proses rekonstruksi juga perlu memperhatikan aspek psikologis masyarakat. Bencana dan berbagai janji-janji manis pemerintah dapat meningkatkan harapan komunitas pengungsi. Saat ini, harapan masyarakat kepada otoritas terkait seperti pemerintah setempat, pemerintah pusat, dan lembaga donor internasional sangat tinggi.Apabila janji-janji manis yang pernah dilontarkan selama kondisi krisis ini tidak dapat diwujudkan pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi,masyarakat akan kecewa dan memengaruhi psikologis masyarakat.

Berbagai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di atas bisa dimulai dari sekarang sesuai dengan prioritas dan tingkat kebutuhan yang paling mendesak bagi masyarakat. Sambil menunggu dinamika erupsi Merapi berkurang, masih banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat pascaletusan Merapi.Mari kita pikirkan bersama.(*)

Dr Eko Teguh Paripurno
Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana UPN Yogyakarta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363545/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar