Senin, 08 November 2010

Awasi Dana Bencana


Senin, 08 November 2010 pukul 11:09:00

Begitu rezim Orde Baru jatuh pada 1998 silam, muncul harapan besar bahwa korupsi akan segera menghilang dari negeri ini. Semangat pemberantasan korupsi tampak begitu tinggi, apalagi memang menumbangkan Orde Baru itu salah satunya dipicu oleh budaya korupsi yang sudah karatan di aparat pemerintah.
Namun, rupanya harapan besar itu tinggal harapan. Bahkan, setelah belasan tahun berlalu pun korupsi masih menjadi budaya di negeri ini. Tidak takut-takutnya para birokrat dan penyelenggara negara melakukan korupsi. Wajar jika survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Oktober silam yang dirilis Ahad kemarin menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap penegakan hukum makin buruk. Termasuk dalam pemberantasan korupsi.

 Hasil dari indeks persepsi korupsi yang disurvei oleh Transparansi International juga menunjukkan hal serupa. Pada intinya, persepsi masyarakat internasional terhadap korupsi di negeri ini tidak banyak berubah. Ada kemajuan, tapi sangat tidak signifikan.

 Ada pengalaman sebuah perusahaan penerbitan yang memperoleh proyek penerbitan buku untuk anak usia dini di sebuah provinsi. Nilai proyek itu dalam anggaran ialah Rp 1,2 miliar, tetapi ternyata yang jatuh ke perusahaan tersebut sekitar Rp 500 juta. Jadi, ada dana senilai Rp 700 juta yang dikorupsi dan entah dibagi-bagi untuk siapa saja.

 Kondisi tersebut adalah kondisi riil sehingga dari situ bisa terlihat bahwa dana yang dikorupsi dalam sebuah anggaran itu bisa hampir 60 persen. Persentase itu jauh lebih tinggi dari kebocoran anggaran pada masa Orde Baru yang menurut ahli ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, mencapai 30 persen dari anggaran.

 Jika saja korupsi tersebut bisa diberantas, boleh jadi anggaran di negeri ini tidak defisit. Dan jika tidak defisit, kita tidak perlu lagi menerbitkan surat utang atau berutang kepada asing yang buntutnya justru mengantarkan kita pada jebakan utang mereka. Karena korupsi yang begitu membudaya itu, kini kita harus membayar bunga utang sampai ratusan triliun.

 Celakanya, budaya korupsi ini sudah tidak pandang bulu lagi. Begitu ada kesempatan ambil. Bahkan, dana untuk korban bencana pun dikorupsi juga. Tak sedikit pejabat di berbagai daerah yang menyelewengkan dana bantuan. Dana yang semestinya untuk mengurangi penderitaan para korban bencana justru dibuat 'bancaan' oleh para pejabat.

 Di Cianjur, seorang camat telah divonis karena mengambil dana bencana yang semestinya untuk lauk-pauk dan perbaikan rumah ringan. Kasus serupa yang berupa penilapan dana bencana juga terjadi di beberapa daerah, seperti Talaud, Sulawesi Utara, Manokwari Papua, Jember, Garut, dan masih banyak lagi.

 Dalam sebulan terakhir ini ada tiga bencana besar yang merenggut ratusan nyawa dan puluhan ribu mengungsi, yakni banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Melihat begitu besarnya bencana tersebut, sudah dipastikan akan banyak dana berseliweran yang dialokasikan untuk para korban.

 Untuk itu, kita harus bersama-sama mengawasi agar dana untuk korban bencana benar-benar sampai kepada mereka. Jangan sampai ada satu rupiah pun yang dikorupsi oleh pejabat yang berwenang membaginya. Jika ada pejabat yang berani mengorupsi dana bencana, mereka harus dihukum dengan seberat-beratnya.
http://koran.republika.co.id/koran/47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar