Senin, 08 November 2010

Sistem Kepercayaan terhadap Merapi


Selasa, 09 November 2010 00:01 WIB
Oleh Lucas Sasongko Triyoga, Penulis buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya

PADA 26 Oktober 2010 ketika Gunung Merapi meletus dan memuntahkan awan panas setinggi 1,5 kilometer, juru kunci Merapi, Mbah Maridjan alias Raden Ngabehi Surakso Hargo, tetap bertahan di rumahnya di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, untuk menjaga Gunung Merapi. Sempat diberitakan hilang dan ditemukan selamat, namun akhirnya berita itu ditepis dengan penemuan jenazahnya dalam posisi sujud pada hari berikutnya bersama 16 warga lainnya, tersapu badai pyroclastic atau wedus gembel.
Sehari sebelum terjadi letusan, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta menyatakan status awas Merapi, yang ditindaklanjuti pemerintah dengan mengungsikan penduduk di lereng-lereng Merapi ke daerah aman. Namun, setelah memerintahkan keluarga dan warga untuk mengikuti perintah mengungsi dari pemerintah, Mbah Maridjan masuk ke rumahnya karena tanggung jawab dan kesetiaannya sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta untuk memanjatkan doa. Lelaki lugu berusia 83 tahun itu tahu apa yang harus ia lakukan di saat Merapi meletus, yaitu berdoa memohon kepada Allah dan leluhur di Merapi untuk keselamatan bagi warga dan desanya serta Keraton Yogyakarta. Baginya, Merapi adalah surga perantauan leluhur Mataram yang harus dijaga dan diuri-uri atau dilestarikan meski taruhannya nyawa. Itu adalah salah tugas yang disanggupinya sebagai juru kunci ketika ia diangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sikap 'keras kepala' dengan tidak mau turun gunung ini ditunjukkan pula pada erupsi Merapi tahun 2006 meskipun ia dibujuk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. 'Pembangkangan' ini menjadikannya populer secara nasional sebagai juru kunci Merapi dan dicitrakan sebagai 'pemberani'. Maka, tak mengherankan ketika jasadnya dikuburkan, ribuan pelayat dari masyarakat, artis, pejabat pemerintahan, dan tokoh partai ikut menghadirinya.

Keraton Merapi
Sepanjang sejarah, Gunung Merapi dipadati permukiman penduduk karena merupakan sumber kehidupan, meski juga sumber petaka dan kematian. Merapi bukanlah suatu halangan bagi manusia untuk menetap dan bercocok tanam demi melangsungkan kehidupan di situ. Bahaya yang mengancam kehidupan manusia sesungguhnya muncul dengan sendirinya sebagai akibat adanya interaksi manusia dengan Merapi dan mendayagunakan sumber-sumber daya Merapi.

Sejak kecil, Mbah Maridjan dan penduduk lereng Merapi telah akrab bergaul dengan alam Merapi yang melingkungi dirinya. Pergulatan dengan alam secara terus-menerus, lewat proses belajar dan pengalaman, mereka sadari bahwa Merapi dapat mengancam dan menghancurkan kehidupan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa keberhasilan hidup mereka bergantung pada Merapi. Ketergantungannya terhadap alam merupakan ungkapan dari kekuasaan adikodrati/supranatural yang tak dapat diperhitungkan dan serbagaib atau angker ini dipersonifikasikan sebagai makhluk halus atau roh-roh leluhur yang tak kelihatan. Dengan demikian, gejala-gejala alam yang tampak olehnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa adikodrati.

Bagi Mbah Maridjan dan kebanyakan penduduk di lereng Merapi, selama berabad-abad, turun-temurun, mereka dapat melangsungkan kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap gunung yang dianggap sangat berbahaya; segala petaka Merapi adalah berkah untuk kehidupan karena menyuburkan tanah pertanian melalui air, mineral, abu vulkanis. Mereka juga memercayai letusan Merapi sebagai kotoran yang dibuang keraton makhluk halus Merapi karena sedang ada perhelatan di sana. Keraton ini dipimpin Eyang Rama dan Permadi yang dibantu Kyai Sapujagad, Nyai Gadung Melati, Kyai Krincing Wesi, Eyang Megantara, dan masih banyak lagi. Kepercayaan yang sama dengan varian yang sedikit berbeda juga dianut warga di lereng utara dan barat. Mereka meyakini Kyai Petruk yang bergelar Handokokusuma adalah Bupati Keraton Merapi yang bertugas menjaga Gunung Bibi untuk melindungi mereka dari amukan Merapi.

Selain dihuni roh leluhur sebagai surga perantauan sebelum kiamat, Merapi dipercayai dihuni berbagai makhluk halus seperti danyang, lelembut, yang menghuni tempat-tempat angker dan binatang-binatang sakral. Banyak pantangan dan aturan yang harus ditaati agar tidak menimbulkan petaka. Mereka sudah hafal bahwa setiap tahun Merapi akan meletus kecil dan setiap 7-8 tahun sekali meletus besar, yaitu pada tahun Wawu. Sebelum meletus, biasanya para leluhur akan memberi tahu juru kunci dan para tetua kapan dan bagaimana cara menyelamatkan diri. Mereka meyakini kalaupun Merapi meletus besar, pasti berkat kebaikan dan ketenangan akan berlipat seusai letusan.

Penduduk di lereng selatan memercayai bahwa letusan, lahar, awan panas, tak akan menghanguskan Kinahrejo dan Keraton Yogyakarta karena terlindung Gunung Wutoh yang merupakan pintu gerbang Keraton Merapi. Selain itu, seperti orang Jawa umumnya, memercayai adanya keraton di laut selatan yang ada tautannya dengan Merapi. Kedua keraton makhluk halus tersebut secara mitologi mempunyai hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta yang diwujudkan dalam upacara labuhan dan adanya juru kunci di Parangtritis (laut selatan) dan Kinahrejo (Merapi). Selain upacara labuhan, banyak upacara atau selamatan dan aturan yang tak tertulis di lereng Merapi. Ini menggambarkan tingginya risiko dari Merapi terhadap keselamatan mereka.

Sistem pengetahuan untuk adaptasi
Sistem kepercayaan tersebut tidak hanya sebagai ketakhayulan atau sebagai religi, tetapi lebih sebagai sistem pengetahuan atau sistem nilai untuk beradaptasi dengan lingkungan alam Merapi. Sistem kepercayaan seperti ini hampir bisa ditemui di setiap gunung di dunia dengan variannya sesuai dengan tradisi atau kebudayaannya. Dengan kata lain, jenis kebudayaan yang dapat dikembangkan masyarakat tertentu akan dipengaruhi lingkungan mereka, sama seperti cara manusia beradaptasi dengan lingkungan mereka akan dipengaruhi kebudayaan mereka.

Kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan: sosial, alam lingkungan, dan adikodrati/supernatural. Oleh karenanya, hal yang paling penting dalam hubungan penduduk lereng Merapi dengan lingkungan mereka ialah sarana keseimbangan. Penduduk lereng Merapi diajar bukan untuk menguasai alam, tetapi bagaimana menyesuaikan diri dengan kehidupan alam yang serbagaib dan menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan Merapi. Pelanggaran terhadapnya dengan menempati tempat yang tidak semestinya akan menyebabkan keguncangan kosmos. Dengan mengadakan selamatan, sesajen, membaca mantra-mantra dan doa-doa, ziarah ke petilasan-petilasan dan makam-makam leluhur, bersemadi dan berpuasa, yang berpangkal pada sistem kepercayaan Kejawen, maka keselarasan kosmos akan terjaga dan pulih kembali. Jadi, penduduk di lereng Merapi mengalami alam sebagai tempat kesejahteraan hidupnya bergantung pada keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan gaib atau angker yang ada di sekelilingnya.

Bahan pertimbangan
Semoga tulisan kecil ini bisa menjadi referensi untuk memahami sistem kepercayaan penduduk di lereng Merapi dan cara-cara mereka mempraktikkannya untuk beradaptasi terhadap Merapi. Juga sebagai bahan pertimbangan para pengambil keputusan di daerah ataupun nasional bagaimana menekan jumlah korban jiwa akibat bencana Merapi dan bagaimana mengosongkan daerah-daerah permukiman yang ditaksir berbahaya dan tak layak huni untuk dihutankan dan memindahkan/ merelokasi/mentransmigrasikan penduduk lereng Merapi.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/09/180557/68/11/Sistem-Kepercayaan-terhadap-Merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar