Senin, 08 November 2010

Resolusi konflik dan kekerasan massa di Indonesia


Monday, 08 November 2010
SEBAGAIMANA kita saksikan di media cetak maupun elektronik, dalam dua dekade terakhir terjadi banyak konflik sosial terjadi di Indonesia. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para peng - anut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut Ahmadyah versus non-Ahmadyah), konfliik Poso, tawuran antarsuporter klub sepak bola, dan barubaru ini aksi brutal mahasiswa di berbagai daerah, yang semuanya berujung pada kekerasan massa.Dalam perspektif psikologi sosial hal ini disebakan salah satu - nya karena setiap anggota yang berada dalam ikatan sosial tersebut akan selalu memandang bahwa kelompoknyalah yang paling baik dan paling beradab dibanding warga dari kelompok lain, yang disebut komunalisme ekstrim.
Salah satu cirinya adalah adanya perasaan in group feeling yang sangat kuat (bahkan cenderung berlebih-lebihan) dan menafikan eksistensi kelompok lain dalam jejaring hubungan sosial masyarakat yang dibangunnya.
Dengan mengutip Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI, dapat diketahui bahwa massa cenderung bersifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif. Suatu komunitas masyarakat bisa tiba-tiba menjadi beringas jika ada pemicu.
Hal ini terjadi karena kelompok masyarakat tersebut juga mempunyai ingatan mengenai pengalamanpengalaman tidak menyenangkan yang tidak terselesaikan, sehingga menumpuk dan mengendap dalam ketidak sadaran kolektif kelompok tersebut.
Hal ini senada dengan teori perilaku massa yang dikemukakan oleh N Smester, bahwa pemicu hanya salah satu faktor, sekaligus faktor terakhir dari seluruhan enam faktor yang menjadi prasyarat untuk terjadinya perilaku massa. Kelima faktor lain di luar faktor pemicu itu adalah (1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; dan (5) ingatan kolektif.
Dalam kondisi normal, tingkat kesadaran manusia berada dalam kesadaran individu ( individual mind ) yang bisa dikatakan rasional dalam melihat berbagai persoalan. Namun ketika terlibat dalam suatu tindakan kolektif, manusia cenderung kehilangan identitas, tidak lagi menganggap dirinya sebagai dirinya sendiri sehingga tingkat kesadarannya tidak lagi berada dalam indivisual mind namun hanyut dalam gelombang psikologi massa.
Dengan kata lain, manusia tersebut mengalami deindividuasi. Insting thanatos (konsep psikologi yang dicetuskan oleh Sigmund Freud) yang bersifat laten dalam diri manusia mengambil kendali pada setiap tindakan yang dilakukan, sehingga timbul perilaku-perilau agresif dan cenderung destruktif.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk meredam tindakan destruktif tersebut, adalah dengan mengembalikan tingkat kesadaran setiap individu yang tergabung dalam kelompok massa tersebut kembali pada tingkat kesadaran individualnya masing-masing. Secara praktis langkah yang bisa diambil misalnya, melakukan tembakan peringatan agar setiap individu merasa takut dan terancam keselamatannya secara personal. Langkah semacam ini perlu dilakukan, karena pada dasarnya manusia juga memiliki sifat eros, yaitu insting bertahan hidup (yang menjadi oposisi dari thanatos) yang terwujud dalam sifat kecenderungan egoistik terhadap keselamatan dirinya sendiri.
Namun hal semacam ini saja belum cukup, karena konflik sosial lebih sering memberikan dampak negatif terhadap masyarakat secara luas. Persoalan di atas memerlukan kajian yang lebih mendalam dengan bertitik tolak dari pandangan makro dan lebih menyeluruh, agar dapat diketahui secara garis besar penyebab dan sumber konflik, sebagai dasar untuk membuat formulasi yang tepat untuk mengelola aksi massa dan konflik sosial tersebut.
Dalam beberapa penelitian mengenai konflik-konflik sosial di Indonesia secara umum disebabkan oleh pandangan yang terlalu fanatik terhadap kelompok sendiri, ”pelestarian” stereotype dan prejudice kurang baik terhadap kelompok lain, persaingan atau kompetisi, dan penyelesaian yang lambat terhadap konflik-konflik yang terjadi. Sebenarnya Bangsa Indonesia telah mempunyai konsepsi resolusi konflik yang telah menjadi bagian dari khasanah kebudayaan, yaitu musyawarah mufakat. Namun sayangnya hal tersebut pada saat ini telah banyak ditinggalkan, dan digantikan oleh mekanisme voting yang sebenarnya justru sangat rentan terhadap konflik itu sendiri.
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu pro - ses terbuka dan membagi proses pe nyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan.
Beberapa perihal lain yang perlu dikembangkan adalah me ning - katkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok, mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak (melalui jalan musyawarah mufakat yang merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia), dan mengurangi stereotip negatif yang dimiliki tentang pihak lain.
Di atas itu semua, terdapat hasil penelitian yang cukup mengejutkan, bahwa ternyata orang-orang melayu mempunyai ciri kepribadian amok, yaitu kecenderungan untuk ngamuk dan bertindak brutal secara kolektif, yang juga ditemui pada orang-orang viking. Sehingga, sebenarnya secara naluriah orangorang Melayu cukup berpotensi terlibat dalam konfrontasi sosial yang berujung pada kekerasan massa. f Ahmad Fahmi Mubarok Mahasiswa Psikologi Unnes
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42679&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar